Site icon PinterPolitik.com

Siapa Capres Dukungan CIA di 2024?

Anies Prabowo

Anies dan Prabowo (Foto: Istimewa)

Isu tentang kepentingan Amerika Serikat di sekitaran Pilpres 2024 memang menjadi salah satu perdebatan yang menarik di Indonesia. Secara spesifik, poin perbincangannya membawa-bawa nama badan intelijen negeri Paman Sam itu, CIA. Ini karena sepanjang sejarah Indonesia, CIA memang kerap ikut campur dalam urusan-urusan politik di Indonesia, utamanya ketika berkaitan dengan pergantian kepemimpinan. Pertanyaannya adalah capres mana yang akan mendapat dukungan dari AS – secara spesifik CIA – dalam Pilpres 2024 mendatang?


PinterPolitik.com

Bicara soal Central Intelligence Agency (CIA) sebagai entitas lembaga intelijen Amerika Serikat (AS) memang selalu jadi topik yang menarik, apalagi jika dikaitkan dengan Pemilihan Umum. Bukan rahasia lagi jika CIA kerap dituduh selalu menjadi aktor penting yang ikut mempengaruhi dimensi dan dinamika yang terjadi dalam setiap pergantian kepemimpinan, termasuk di Indonesia.

Ini karena sejak era awal republik ini, CIA telah cukup banyak terlibat di Indonesia, utamanya dalam mengupayakan tercapainya kepentingan AS di republik ini. Sudah banyak sumber yang mengulas operasi CIA di balik tragedi 1965 yang berujung pada pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Demikianpun dengan pemberontakan-pemberontakan – macam PRRI dan Permesta – yang memang di dalamnya CIA ikut andil.

Ulasan di Historia misalnya menyebut pada Pemilu 1955, CIA membantu partai-partai Islam untuk menghadapi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu tengah kuat-kuatnya. CIA pun dipercaya ikut mempengaruhi hampir setiap pergantian kepemimpinan di republik ini, baik saat Reformasi 1998, maupun di tahun-tahun setelahnya.

Kini di tengah memanasnya tensi politik jelang Pilpres, banyak pertanyaan menyeruak soal siapa calon presiden yang mendapatkan “restu” dari negeri Paman Sam, khususnya dari Amerika Serikat? Apakah Prabowo Subianto, Anies Baswedan, atau Ganjar Pranowo?

Menebak CIA

Sejarah politik Indonesia sejak kemerdekaannya pada tahun 1945 hingga saat ini telah mencatat berbagai pergantian presiden yang sering kali disertai dengan kontroversi dan spekulasi. Salah satu aspek yang kerap menjadi perbincangan adalah kemungkinan keterlibatan CIA dalam pergantian presiden di Indonesia.

Beberapa peristiwa dan kisah yang berseliweran dalam sejarah memang menimbulkan tanda tanya. Era Soekarno, yang merupakan presiden pertama Indonesia, diwarnai oleh ketegangan politik dan ekonomi yang kuat. Pada tahun 1957, Soekarno mengumumkan konsep “Nasakom,” singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, sebagai dasar ideologi negara.

Salah satu peristiwa yang sering dihubungkan dengan keterlibatan CIA adalah pemberontakan PKI pada tahun 1965. Pemberontakan ini diikuti oleh kudeta militer yang menggulingkan Soekarno dan membawa Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Banyak yang menduga bahwa CIA memiliki peran dalam mendukung atau setidaknya mengetahui tentang rencana kudeta tersebut. Sebagai bagian dari operasi anti-komunis di Asia Tenggara, CIA dituding terlibat dalam upaya pembubaran PKI.

Pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membawa dampak signifikan terhadap hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat. Meskipun Pemerintahan Soeharto dianggap sebagai mitra yang stabil dan anti-komunis oleh Amerika Serikat, tetapi banyak juga yang menilai bahwa keterlibatan CIA mungkin telah membantu dalam penggulingan Soekarno.

Selanjutnya, era Orde Baru Soeharto diwarnai oleh kontrol ketat terhadap politik dan media. Pemerintahan Soeharto dituduh menggunakan kekuasaan untuk menekan oposisi dan melanggar hak asasi manusia. Beberapa aktivis dan kelompok oposisi, seperti mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil, menjadi sasaran rezim Soeharto.

Ada klaim bahwa intelijen Amerika Serikat, termasuk CIA, memiliki informasi terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto, namun mereka memilih untuk tetap diam karena alasan politik dan strategis.

Pada akhir 1990-an, ketegangan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan krisis finansial Asia. Protes massa dan tuntutan reformasi politik meningkat, dan pada tahun 1998, Soeharto mengundurkan diri setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa. Meskipun bukti langsung tentang keterlibatan CIA dalam pengunduran diri Soeharto tidak ada, banyak spekulasi dan teori konspirasi muncul. Beberapa percaya bahwa Amerika Serikat memiliki peran tersembunyi dalam perubahan rezim untuk memastikan stabilitas politik dan ekonomi di kawasan tersebut.

Pergantian rezim ke era Reformasi membuka jalan bagi demokratisasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Namun, beberapa isu kontroversial tetap menjadi perhatian, seperti hubungan dengan Amerika Serikat dalam konteks perang melawan terorisme pasca 11 September 2001. Indonesia menjadi bagian dari koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat dalam menanggapi serangan teroris global, dan beberapa pengamat berpendapat bahwa hubungan ini mungkin memiliki dampak terhadap dinamika politik di Indonesia.

Meski belum ada bukti konkret, keterlibatan CIA dalam peristiwa-peristiwa pergantian kepemimpinan selanjutnya di Indonesia dipercaya sangat kuat.

Anies atau Prabowo?

Di antara ketiga calon yang akan bertarung, nama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan menjadi yang paling dikait-katikan dengan Amerika Serikat. Sementara Ganjar Pranowo sepertinya belum menunjukkan kedekatan atau tanda-tanda bahwa dirinya didukung AS dan cenderung dipersepsikan positif oleh negeri Paman Sam itu.

Nah, lalu bagaimana soal Anies? Well, untuk waktu yang lama mantan Gubernur DKI Jakarta itu selalu dilihat sebagai “sahabat AS”. Ini terkait bocoran kawat dari Keduataan Besar AS di Jakarta pada tahun 2009 lalu kepada CIA, Defense Intelligence Agency, National Security Council, dan kepada Kementerian Luar Negeri AS. Kawat tersebut berisi permohonan aplikasi visa.

Kawat yang kemudian dimuat oleh WikiLeaks berkode 09JAKARTA1612_a ini secara spesifik menyebut Anies sebagai “sahabat AS”, kenalan pribadi Dubes AS untuk Indonesia kala itu, serta sosok “muslim moderat yang termasyur”.

Walaupun ini hanya salah satu contoh spesifik, namun sangat mungkin menggambarkan bagaimana negara seperti AS memandang Anies. Bukan rahasia lagi bahwasanya kekuasaan di Indonesia kerap ditentukan oleh restu dari negara seperti AS. Dengan demikian, pada titik ini Anies punya modal yang besar.

Sedangkan Prabowo memang untuk beberapa waktu lamanya dianggap terganjal dalam upayanya menjadi penguasa Indonesia, utamanya terkait konteks dukungan AS ini, sebagai akibat kiprah masa lalunya di sekitaran peristiwa 1998. Prabowo dituduh melanggar HAM sehingga membuat AS berpaling darinya.

Namun, ada peristiwa menarik, ketika pada Oktober 2020 lalu, Prabowo diberikan visa dan izin kunjungan ke AS. Ini kemudian diikuti dengan banyak kunjungan dan kerja sama yang dilakukan Prabowo ke negeri Paman Sam itu. Tidak heran, banyak yang berpendapat bahwa hal ini menunjukkan perubahan persepsi dari negeri Paman Sam itu terhadap Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Perubahan pandangan tersebut bisa saja mempengaruhi perjalanan karier politik Prabowo. Ini menunjukkan bahwa AS sangat mungkin ada di belakang Prabowo untuk pemerintahan selanjutnya. Apalagi dengan poin penting bahwa besar kemungkinan Prabowo didukung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ini akan jadi kartu sakti Prabowo.

Dari poin-poin penjelasan tersebut, jelas terlihat bahwa Prabowo dan Anies-lah yang paling berpeluang mendapatkan dukungan AS. Pertanyaannya adalah akankah demikian? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version