Site icon PinterPolitik.com

Siapa Berani Guncang Ideologi?

Sebagai Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), kekhawatiran Budi Gunawan mengenai ideologi yang mengancam Pancasila tentu wajar adanya. Tetapi apa modal yang dimiliki untuk melindungi Pancasila?


PinterPolitik.com

Di sebuah kampus di daerah Semarang, Jawa Tengah, Budi Gunawan (BG) menyerukan bahwa ketahanan ideologi Pancasila sangatlah vital dan penting adanya. Tak hanya itu, lelaki kelahiran Surakarta tersebut juga mengatakan ada tiga ideologi yang menurutnya, saat ini sedang berebut ruang dan berusaha mempengaruhi masyarakat, yakni ideologi Pan Islamisme, Komunisme, dan Ultranasionalisme.

Ketiga ideologi yang dikhawatirkan ini memiliki tujuan dan paham yang memang bertolak belakang dengan Pancasila, ideologi yang menjadi landasan NKRI. Pan Islamisme mengupayakan pendirian sebuah negara yang bergerak dalam sistem khalifah. Ini bertolak belakang, sebab penduduk Indonesia tentu tak hanya beragama Islam, tetapi juga Kristen, Budha, Hindu, hingga aliran kepercayaan.

Lalu ideologi Komunisme, adalah paham yang punya tujuan untuk menciptakan tatanan sosial ekonomi masyarakat berdasarkan kepemilikan bersama alat produksi (tanpa adanya kelas sosial, uang, dan negara). Ideologi tersebut sulit diaplikasikan mengingat sejak awal Indonesia berpegang pada sistem pasar bebas dan mendapatkan keuntungan pula dari sistem ekonomi yang sudah berjalan.

Lalu Ultranasionalisme adalah paham yang meletakkan negara di atas kepentingan apapun. Dalam beberapa titik, ideologi ini sangat erat pula dengan fasisme yang sangat menjunjung tinggi identitas bangsa dan ras.

Ketiga paham yang dikhawatirkan oleh BG, memang nyatanya sulit diaplikasikan karena perbedaan kultur dan histori masyarakat yang sudah ada. Ultranasionalisme sulit berada di tengah masyarakat karena pluralitas masyarakat dan identitasnya. Bagaimana bisa menghomogenkan masyarakat di bawah satu ras, suku, agama, bahkan identitas, bila Indonesia begitu ‘berbeda’?

Kekhawatiran yang melanda BG, mau tak mau mengingatkan pada apa yang pernah dikatakan oleh Slavoj Zizek, seorang kritikus budaya sekaligus filsuf asal Slovenia. Pria nyentrik ini berkata bahwa masyarakat post-modern, atau masyarakat yang hidup pasca Revolusi Industri Inggris, cenderung memiliki pandangan yang dalam soal ideologi. Tak hanya kedalaman, tetapi juga kebutaan, sehingga kesadaran dan sinisme palsu (false cynicism), makin menutup kesempatan untuk melihat ideologi sebagai hal yang objektif, bisa mengalami ‘ketidaksempuraan’, dan juga bisa berkembang kuat. Ungkapan Zizek ini pada dasarnya memang mengkritik ideologi dan isme yang ada.

Jika mengaitkan teori yang ada dengan pernyataan BG, maka tak sulit mengelompokkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat post-modern yang begitu kaku, tidak objektif, namun memiliki kedalaman saat memandang ideologi yang berbeda. Padahal bila mengaca pada Amerika dan Inggris, perbedaan ideologi yang ada, justru dalam beberapa titik membuat gerakan politik di masyarakat meningkat aktif.

Amerika Serikat dan Inggris ‘Bergerak’

Zizek memang mengundang kontroversi saat ditanya siapa yang akan dipilihnya jika punya hak Pemilu Amerika, dengan tegas lelaki berusia 69 tahun tersebut menjawab “Trump!” Ia beralasan, jika Trump menang, maka kedua partai yang sedang berlaga, yakni Republik dan Demokrat, akan kembali ke dasar dan mengevaluasi diri. Tetapi Zizek juga menambahkan, bila itu adalah alasan yang sangat ‘depresif’. Sisi positifnya, Zizek melihat akan adanya proses politik baru yang menggema di Amerika untuk ‘menyambut’ kemenangan Trump, yang sering dianggap sebagai pengejawantahan ideologi politik konservatif dan supremasi kulit putih.

Ternyata apa yang diucapkannya terbukti. Sejak kenaikan Trump, dalam beberapa bulan organisasi berbasis grass roots (masyarakat bawah) satu persatu muncul di Amerika. Warga mulai mengadvokasi diri dan ikut terjun ke dalam proses politik yang ada, baik berorganisir, mempelajari berbagai teori politik, dan menggelorakan aktivisme. Kenaikan Trump, nyatanya memang menakutkan bagi warga Liberal Amerika.

Kebanyakan organisasi yang ada merupakan respon dari sikap anti-Trump, baik personalitas dan kebijakannya. Kebijakan membatasi imigran dan membangun tembok untuk membatasi Meksiko, hingga kebijakan untuk menutup ObamaCare, yang serupa dengan BPJS Indonesia, berhasil membuat warga Amerika ‘turun ke jalan’ dan terlibat lebih jauh dengan politik. Keadaan tersebut tak terlihat di masa Kepresidenan Obama sebelumnya.

Keterlibatan politik ini tak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi juga remaja Amerika. Peristiwa penembakan yang terjadi beberapa kali di sekolah, akibat dampak dari penjualan senjata yang mudah, membuat anak-anak SMA dan SMP di Amerika terlibat aktivisme dan mengkritik kebijakan Trump yang dianggap lebih mengasihi National Riffle Association (NRA) daripada korban yang berjatuhan.

Emma Gonzales, aktivis muda AS, melakukan speech March for Our Lives, mengkritik kebijakan persenjataan AS. (sumber: cosmopolitan)

Selain itu, gerakan perempuan juga meletus pesat di Era Trump. Tak hanya mengkritik kebijakan penutupan Obamacare yang sangat dirasakan memberatkan para ibu dan perempuan pro-aborsi, kritik panjang juga hadir dari fakta komentar-komentar Trump yang seksis dan misoginis terhadap sejumlah perempuan. Dari sana, Women’s March dan gerakan #MeToo lahir, sampai memiliki efek domino di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Gerakan aktivisme Amerika, bahkan belakangan ini menjadi sebuah tren tersendiri.

Tak hanya Amerika, Inggris pun demikian. Walau tak sekental apa yang terlihat di Amerika Serikat, Inggris nyatanya juga berusaha melawan Islamophobia dan rasisme pasca Brexit. Keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa memang dianggap sebagai bentuk lain dari kemenangan ideologi konservatisme kanan. Tak hanya harus berhadapan dengan konsekuensi ekonomi, warga Inggris harus saling menjaga diri dari serangan rasisme yang meningkat pasca Brexit.

Tetapi contoh yang terjadi pada Amerika Serikat dan Inggris, tentu tak menjamin jika hal yang sama akan terjadi di Indonesia, bila kelak ideologi membahayakan mengambil alih Pemerintahan. Biar bagaimana pun, kesadaran warga Liberal AS dan warga multiras Inggris, sangat berpegang pada proses literasi politik, sosial, dan budaya yang ada. Proses tersebut juga tak berlangsung semalam saja.  

Apakah Indonesia sudah punya kemampuan untuk ‘membaca’ situasi politik, sosial, dan budaya? Nah, itu adalah hal yang perlu dan penting dijawab. Bila Pancasila yang menjadi falsafah dan dasar hidup bernegara diserang oleh ideologi lain, lantas dengan cara apa warganya akan mempertahankan diri? Bagaimana pula melindungi ideologi bila warganya belum mampu membaca polemik politik, sosial, dan budayanya sendiri?

Masih Perlu Dilindungi dan Dibina

Melindungi Pancasila sebagai sebaik-baiknya dasar negara, adalah hal vital dan memang perlu dilakukan. Sebab, seperti apa yang dikatakan oleh Soekarno, Pancasila sendiri sebetulnya sudah ada di bumi dan tradisi historis bangsa Indonesia, tetapi ia tercampakkan oleh kolonialisme dan penetrasi budaya asing. Maka melindungi dan mempertahankan Pancasila dari ide asing yang membahayakan, adalah sebuah keharusan.

Keberadaan Pancasila selama ini pun terbukti menemui tantangan. Yang paling kentara adalah dari bagaimana terorisme dan gerakan kekhalifahan ISIS sempat melanda. Warga yang berpartisipasi di dalamnya pun beragam, mulai dari petani, mahasiswa, hingga doktor.

Orasi pendukung ISIS di Bundaran HI (sumber: istimewa)

Menghadapi hal itu, Saiful Mujani Research Center (SMRC) merilis hasil survei yang memperlihatkan sekitar 90 persen warga Indonesia tak ingin ISIS hidup di Indonesia, dan ideologi Pancasila masih relevan di Indonesia. Di tahun 2017 lalu, Presiden Jokowi juga akhirnya menetapkan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni sebagai hari libur nasional. Tak hanya itu, Pemerintah juga menetapkan tanggal 29 Mei hingga 4 Juni sebagai Pekan Pancasila.

Langkah yang dilakukan Presiden untuk melindungi, menguatkan, dan memperkenalkan ulang Pancasila itu, akhirnya diikuti pula oleh gerakan viral memajang foto dengan grafis “Saya Indonesia, Saya Pancasila” di media sosial.

Dengan demikian, kekhawatiran BG akan adanya ideologi yang mengancam Pancasila sangatlah wajar adanya. Melindungi asas tunggal negara yang mampu mewadahi kehidupan bermasyarakat dan bernegara memang sepatutnya dilakukan. Mewaspadai dan melindungi ideologi pun tak hanya menjadi tugas BG atau Presiden semata, tetapi warga negara. Tapi, apakah hal itu cukup dilakukan dengan menetapkan hari libur dan memajang foto di media sosial?

BG, seperti kebanyakan dari masyarakat post-postmo (metamodern) kebanyakan, barangkali memang memandang ideologi dengan cara yang mendalam tetapi subjektif. Teoris budaya, Timothius Vermeulen bisa menyebut karakter BG sebagai seorang yang punya kenaifan informasi (informed naivety) dalam memandang ideologi.

Slavoj Zizek (sumber: Zizek Times)

Menurut Azymardi Azra untuk memutus kenaifan tersebut, kita perlu mempelajari dan menelusuri histori, serta latar belakang ideologi yang dianggap ‘membahayakan’. Sambil terus menguatkan falsafah Pancasila, sesuai dengan proses literasi politik, sosial, budaya yang riil pada keluarga dan masyarakat.

Dengan begitu, seperti apa yang diungkapkan oleh Zizek sebelumnya, ideologi Pancasila bisa berkembang dan menguatkan. (A27)

Exit mobile version