Keganjilan terkait program Kartu Prakerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah diungkap dengan sangat lengkap oleh berbagai pihak. Namun demikian, mengapa belum terlihat pihak-pihak yang berusaha untuk segera menghentikan program hasil kampanye tersebut melalui mekanisme hukum yang ada?
PinterPolitik.com
Geregetan. Itulah ekspresi yang terekam saat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat menguak keganjilan konten pelatihan Kartu Prakerja di tengah rapat dengar pendapat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin. Usulan agar lembaga anti rasuah untuk menyelediki potensi ketidakberesan di dalam program tersebut kemudian berhembus dari beberapa wakil rakyat.
Ekspresi serupa mungkin sejak awal telah publik utarakan terkait polemik Kartu Prakerja, namun kebanyakan hanya sebatas dalam forum non formal. Karenanya, keselarasan “langka” antara kegelisahan rakyat dan wakilnya di parlemen itu dinilai membuka sedikit harapan agar program berbanderol Rp 20 triliun kas negara itu tidak sia-sia atau hanya menguntungkan segelintir pihak saja.
Sedikit merangkum keganjilan perjalanan program Kartu Prakerja, publik telah mengetahui bahwa program yang merupakan janji kampanye Presiden Jokowi ini telah dipertanyakan ketersediaan anggarannya oleh “sang bendahara” Sri Mulyani, bahkan sebelum dikampanyekan.
Setelah Jokowi memastikan singgasana kepresidenan, faktanya, Kartu Prakerja bersama kartu-kartu lainnya dianggap sebagai solusi ampuh untuk memenangkan hati rakyat. Untuk program Kartu Prakerja sendiri awalnya akan diluncurkan paling lambat Februari 2020, sebelum kemudian entah mengapa tertunda dan menyelinap sebagai stimulus keuangan penanganan Covid-19.
Payung hukum program tersebut juga diketahui baru diteken Presiden Jokowi pada akhir Februari lalu dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 36 tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja.
Michael Cohen dalam “A Garbage Can Model of Organizational Choice” mengemukakan istilah garbage can model bagi sebuah regulasi atau kebijakan. Istilah ini menggambarkan regulasi atau kebijakan yang diformulasikan secara sembrono oleh berbagai kepentingan dan agenda yang saling bercampur, tanpa pemahaman penuh tentang konteks permasalahan yang harus di atasi.
Istilah garbage can model dari Cohen itu dinilai identik dengan perumusan hingga eksekusi program Kartu Prakerja melalui Perpres No. 36 tahun 2020. Letupan kecil berupa keganjilan awal mengenai Kartu Prakerja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga memberikan efek domino berupa persepsi minor dan polemik konkret yang meluas.
Mulai dari indikasi konflik kepentingan akibat keterlibatan perusahaan, yang ketika itu masih merupakan, salah satu Staf Khusus Presiden dalam program pelatihan Kartu Prakerja, hingga indikasi adanya permainan dana dan kepentingan seperti yang belakangan disampaikan DPR kepada KPK.
Dari elaborasi polemik Kartu Prakerja tersebut, paling tidak ada dua teka teki yang menarik untuk didalami. Pertama, ihwal apakah sesungguhnya dibalik program Kartu Prakerja di mana seolah merupakan kebijakan yang jauh dari kata pantas? Lalu mengapa sampai saat ini belum ada pihak yang secara gigih menggugat program kontroversial tersebut?
Ordinansi Pragmatis?
Sebuah publikasi berjudul “Understanding Policy Making in Indonesia: In Search of a Policy Cycle” yang ditulis oleh Emma Blomkamp dan kawan-kawan menggambarkan secara komprehensif mengenai siklus berbagai jenis regulasi yang ada di Indonesia. Secara umum, siklus kebijakan atau policy cycle terdiri dari: indentifikasi masalah, analisa kebijakan, formulasi dan konsultasi kebijakan, koordinasi kebijakan, implementasi, serta evaluasi.
Khusus untuk siklus pembuatan Perpres, yang menjadi landasan hukum program Kartu Prakerja, dinilai terdapat satu elemen siklus berdasarkan tulisan Blomkamp tersebut yang tidak secara maksimal dipenuhi persyaratannya sehingga kemudian menimbulkan polemik seperti saat ini.
Elemen tersebut ialah proses awal indentifikasi masalah atau agenda setting yang terindikasi melongkapi peran secara komprehensif dari berbagai stakeholder terkait dalam kebijakan yang bermuara pada Perpres No. 36 tahun 2020.
Selain indikasi tidak terpenuhinya salahs satu elemen policy cycle dalam Perpres No. 36 tahun 2020 secara menyeluruh, implementasi regulasi tersebut juga dinilai menegaskan kesan pragmatis Presiden Jokowi dalam keputusan terkait ordinansi untuk kesekian kalinya.
Sebelumnya, publik bahkan masih resah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Regulasi ini dinilai rawan akan sejumlah penyimpangan yang berlawanan dengan regulasi lainnya.
Untuk Perpres No. 36 tahun 2020 tentang Kartu Prakerja sendiri, nyatanya terdapat beragam stakeholder berkepentingan yang seharusnya dilibatkan Presiden Jokowi. Mereka di antaranya ialah serikat buruh, Lembaga Bantuan Hukum bidang ketenagakerjaan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), hingga media.
Namun demikian, luputnya pelibatan tersebut sesungguhnya belum terlambat untuk “ditegur”. Pada posisi saat ini, berbagai stakeholder tersebut bahkan bisa melakukan challege terhadap Perpres No. 36 tahun 2020.
Mekanisme “menantang” Perpres tersebut nyatanya masih terbuka dan tersedia melalui gugatan ke Mahkamah Agung (MA) serta dinilai cukup kuat posisinya dengan dukungan peraturan perundangan di atasnya yang disinyalir menyalahi.
Regulasi tawar tersebut antara lain terkait konflik kepentingan melalui UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Negara, hingga yang lebih kompleks pada UU No. 31 tahun 1999 juncto UU no. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan posisi tawar di depan hukum yang dinilai lebih kuat dibanding Perpres No. 36 tahun 2020 tentang Kartu Prakerja dengan segala kontroversinya, ada keanehan tersendiri mengapa stakeholder terkait yang telah di jelaskan sebelumnya sebagai pihak berkepentingan sampai saat ini belum menggunakan hak gugatnya ke MA. Seperti apa keanehan itu?
Akankah Digugat?
Seperti yang telah diketahui, belum lama ini gugatan ke MA berhasil menganulir kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Perpres No. 75 tahun 2019. MA mengabulkan permohonan melalui putusan Nomor 7P/HUM/2020 di mana proses gugatan itu sendiri telah diajukan sejak November tahun lalu.
Mengacu pada kesuksesan tersebut, semestinya para stakeholder berkepentingan bisa dengan percaya diri melenggangkan gugatan ke “tetangga sebelah” Istana. Hal ini ditambah fakta bahwa dalam UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, pada pasal 31A mengenai pemohon, para stakeholder dinilai telah menggenggam seluruh unsur prasyarat di dalamnya.
Virginia Oliveros dalam publikasinya yang berjudul “Police Violence and the Underreporting of Crime” menyoroti fenomena under-reporting atau tidak adanya pelaporan atas terjadinya kejahatan. Dalam tulisannya, Oliveros mengatakan bahwa sebelum melapor kepada pihak berwenang, ada kecenderungan pihak terkait untuk mempertimbangan proses, hasil, dan dampak dari pelaporan itu sendiri terlebih dahulu. Utamanya terkait dengan stigma efektivitas penanganan yang tak pasti serta dibutuhkannya energi lebih selama prosesnya.
Berangkat dari esensi tulisan Oliveros tersebut, disinyalir hal serupa menjadi salah satu faktor relevan mengenai keengganan berbagai stakeholder bekepentingan yang sampai saat ini belum menggugat Perpres No. 36 tahun 2020 tentang Kartu Prakerja ke MA.
Terlebih saat ini Program Prakerja yang telah bergulir akan secara rasional dinilai kuat hanya akan menghabiskan energi dan waktu ketika menggugat landasan hukumnya. Hal ini merujuk pula pada proses gugatan iuran BPJS yang mencapai kurang lebih empat bulan dan baru diimplementasikan perubahannya di bulan keenam sejak gugatan pertama dilayangkan.
Meskipun sangat disayangkan, ironi itulah “kesalahan” yang dibiarkan terjadi. Hal ini seketika membangunkan memori kutipan terkenal seorang Diplomat Perancis pada abad ke-18 dan 19 bernama Charles-Maurice de Talleyrand-Périgord. Kutipannya sendiri berbunyi, “c’est pire qu’un crime; c’est une faute” yang berarti “ada hal yang lebih buruk dari pada kejahatan; sebuah kesalahan”.
Pada akhirnya, rasa “geregetan” serta bombardir kritik terhadap kontroversi Kartu Prakerja dari berbagai elemen mulai dari para ahli, cendikiawan, para aktivis, hingga para buruh dinilai akan selalu bergema. Namun di sisi lain, tanpa ada langkah konkret dari pihak-pihak tersebut, ketidaksetujuan terhadap Kartu Prakerja sepertinya hanya akan menjadi bahan diskusi di sore hari. Demikianlah dinamika yang terjadi saat ini. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.