Secara de jure, FPI sebenarnya telah bubar sejak 21 Juni 2019. Namun kemarin pemerintah memberi penegasan penting bahwa FPI telah ditetapkan sebagai ormas terlarang. Lantas, apakah keputusan tersebut menjadi akhir bagi FPI?
“What doesn’t kill you, makes you stronger” – Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman
Seperti déjà vu, penetapan Front Pembela Islam (FPI) sebagai ormas terlarang disebut membuat publik teringat kembali pada pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017 lalu. Menilik argumentasi pemerintah terkait pelarangan FPI, kita dapat membedakannya menjadi dua macam, yakni alasan yang sulit dibantah dan yang masih terbuka untuk diperdebatkan.
Terkait yang sulit dibantah, mungkin akan banyak yang menyebutkan itu terkait persoalan hukum atau legalitas, di mana secara de jure FPI sebenarnya sudah bubar sejak 21 Juni 2019, ataupun AD/ART-nya yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Itu tepat jika kita menggunakan kacamata positivis. Namun persoalannya, klaim hukum semacam itu dapat saja dibantah dengan menyebut pemerintah telah berlaku sewenang-wenang menetapkan hukum. Menimbang pada potensi distrust semacam itu, alasan yang sulit dibantah menurut penulis justru pada video yang ditampilkan pemerintah setelah memaparkan poin-poin argumentasinya.
Cukup mengejutkan ternyata ada bukti empiris bahwa Habib Rizieq Shihab (HRS) dan FPI memberi dukungan kepada ISIS. Apalagi, HRS sempat memberi penegasan agar jangan sampai mau diadu domba untuk membenci ISIS.
Sebagaimana diketahui, merupakan suatu hal yang tidak dibantah apabila ISIS telah ditetapkan sebagai teroris oleh masyarakat internasional. Oleh karenanya, jika video tersebut benar adanya, maka itu menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk menyebut FPI sebagai ormas yang mendukung terorisme.
Namun itu tentunya dapat dibantah dengan membuktikan video tersebut palsu ataupun adanya usaha framing. Pasalnya, video yang ditampilkan hanyalah cuplikan singkatan orasi pada 2014 lalu, sehingga masih terbuka kemungkinan bahwa konteks video tersebut bukanlah dukungan terhadap ISIS. Pun begitu dengan video-video lainnya, perlu dibuktikan validitasnya.
Disayangkan memang, konferensi pers kemarin ditutup tanpa adanya sesi tanya jawab. Di sana, rekan-rekan media seolah hanya dijadikan perpanjangan “mulut kekuasaan”.
Baca Juga: Rizieq Selesai, Sandi Cari Kuda Baru?
Sementara yang masih terbuka untuk diperdebatkan, ini terkait dengan FPI yang disebut kerap melakukan tindakan melanggar hukum dan persoalan AD/ART yang sebelumnya telah dibahas.
Di luar perdebatan terkait kuat tidaknya argumentasi pemerintah, sekarang pertanyaannya adalah, apakah pembubaran ini akan menjadi penanda berakhirnya ormas yang identik dengan HRS tersebut?
Ada Kejanggalan Menarik?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terdapat variabel-variabel menarik yang dapat dilihat dari konferensi pers kemarin. Terkait hal ini, sekali lagi mungkin akan banyak yang merujuk pada persoalan hukum. Ini misalnya diungkapkan oleh pengamat politik Universitas Nasional, Andi Yusran.
Di sini, Andi mempertanyakan dasar diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang digunakan untuk membubarkan FPI. Menurutnya, untuk membubarkan ormas seharusnya melalui pengadilan, bukannya melalui SKB.
Penegasan doktor politik Universitas Padjajaran ini tentu tepat. Namun, Andi sepertinya lupa, ketika pemerintah membubarkan HTI pada 2017 lalu, pemerintah menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 (Perppu Ormas).
Nah, Perppu tersebut telah menghapus 18 pasal yang mengatur proses pembubaran ormas dalam UU Ormas. Dengan demikian, pemerintah dapat membubarkan suatu ormas tanpa melalui proses pengadilan.
Variabel menarik yang penulis lihat adalah cara pemerintah menampilkan bukti-bukti yang mendukung tesisnya bahwa FPI adalah ormas yang berbahaya. Seperti yang dibahas sebelumnya, mudah memahami bahwa pemerintah hendak menyebutkan bahwa FPI memiliki hubungan dengan ISIS.
Namun yang menjadi pertanyaan serius adalah, mengapa video itu baru ditampilkan sekarang? Lalu, dengan fakta secara de jure FPI telah bubar sejak 21 Juni 2019 mengapa penegasan kemarin baru diutarakan? Faktor momentum ini adalah yang paling menarik.
Momentum Power?
Dengan adanya kejanggalan tersebut, maka patut diduga bahwa sebelumnya pemerintah tidak memiliki kekuatan politik yang cukup untuk melakukan pelarangan. Nah, jika dugaan itu benar, maka saat ini pemerintah tengah mengalami surplus kekuatan politik.
Konteks tersebut dapat kita tarik dengan adanya analisis yang menyebutkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tengah melakukan buyback “saham politik” saat ini, khususnya sejak pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, di periode keduanya, pemerintahan Jokowi tengah mempertontonkan koalisi raksasa – disebut sebagai koalisi terbesar sejak Reformasi.
Baca Juga: Jokowi Sedang Buyback Saham Politik?
Kendati mampu menghantarkannya ke tampuk kekuasaan, koalisi raksasa tersebut memiliki “efek samping” yang mengkhawatirkan karena Presiden Jokowi terjebak dalam spoils system. Ini adalah praktik ketika pemenang pemilu memberikan posisi kepada pendukungnya sebagai hadiah karena telah berjasa dalam menghantarkan kemenangan. Selain sebagai insentif, pemberian posisi tersebut juga ditujukan sebagai garansi kesetiaan.
Namun, sebagaimana yang dicatat oleh Kathy Sawyer dalam tulisannya Spoils System Evils Echo In Debate on Civil Service, sistem tersebut telah berkonsekuensi pada rendahnya akuntabilitas dan kontrol politik, serta meningkatkan penyalahgunaan kekuasaan.
Masalahnya, tidak seperti tujuannya, yang mana pembagian kursi ditujukan sebagai “garansi kesetiaan”, pada praktiknya dewasa ini, sistem ini justru menjadi jebakan tersendiri terhadap pemimpin terpilih dalam pemilu.
Pasalnya, dengan mahalnya biaya politik, kandidat yang berlaga kerap kali membutuhkan sokongan dana dari pihak ketiga, sehingga itu membuat pembagian kursi lebih cocok disebut sebagai praktik membayar utang. Sebagai imbasnya, Presiden Jokowi tidak memiliki “saham politik” yang besar karena terlalu banyak pihak yang harus diberikan saham.
Nah menariknya, sejak pandemi Covid-19 pemerintahan Jokowi tampaknya mendapatkan kesempatan untuk melakukan buyback saham politik. Yuval Noah Harari dalam tulisannya The World After Coronavirus menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 adalah kesempatan emas bagi berbagai pemerintahan untuk menjadi otoriter, atau setidaknya menerapkan kebijakan otoriter.
Shaun Walker dalam tulisannya Authoritarian Leaders May Use Covid-19 Crisis to Tighten Their Grip menyebut pandemi telah membuat masyarakat di berbagai belahan dunia memiliki toleransi atau penerimaan atas pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi Covid-19.
Faktor yang disebutkan Walker, serta peluang yang dilihat pemerintah seperti yang dikemukakan Harari, telah menjadi perpaduan solid yang membuat kehadiran big government atau pemerintah besar menjadi sulit terhindarkan.
Ini sejalan dengan temuan Joshua Kurlantzick dalam tulisannya Addressing the Effect of COVID-19 on Democracy in South and Southeast Asia yang secara spesifik menyebut bahwa pandemi Covid-19 telah membuat banyak negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan, termasuk Indonesia untuk menekan kebebasan dengan beberapa cara.
Baca Juga: Ketika Covid-19 Ancam Demokrasi
Singkatnya, di tengah meningkatnya pengaruh pemerintahan Jokowi akibat pandemi Covid-19, itu telah memberi momentum untuk mengeksekusi bukti-bukti yang telah didapatkan sebelumnya untuk menetapkan FPI sebagai ormas terlarang.
Tidak akan Berakhir?
Sekarang, kita baru ke pertanyaan utama dalam tulisan ini, apakah pembubaran ini akan mengakhiri FPI? Sayangnya, mengacu pada anasir-anasir yang ada, penetapan FPI sebagai ormas terlarang tampaknya adalah suatu kesia-siaan.
Yang paling sederhana misalnya, tidak lama setelah konferensi pers pemerintah, sejumlah pengurus Front Pembela Islam (FPI) mendeklarasikan berdirinya Front Persatuan Islam (FPI). Politikus Partai Gerindra Fadli Zon bahkan telah mengucapkan selamat atas lahirnya Front Persatuan Islam.
Di sini, agaknya pemerintah telah terjebak dalam category-mistake atau kekeliruan kategoris. Ini adalah kekeliruan logis yang terjadi ketika seseorang keliru dalam menentukan atau melakukan kategorisasi. Sekarang pertanyaannya, yang hendak diredam pemerintah apakah FPI atau ideologi pergerakannya?
Pasalnya, setelah HTI dibubarkan pada 2017 lalu, tokoh-tokoh eks HTI nyatanya masih dapat menyebarkan ide khilafah. Dengan kata lain, di akar rumput pergerakan HTI sebenarnya masih terjadi. Nah, besar kemungkinan hal serupa juga terjadi pada FPI.
Masalahnya, ideologi pergerakan bukanlah sesuatu yang meruang. Ia tidak menempati ruang atau organisasi tertentu. Di sini, pemerintah telah melakukan category-mistake karena gagal membedakan organisasi dengan ideologi organisasi.
Konteks kategorisasi yang tepat dapat kita lihat pada Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Di sana tidak hanya konteks ruang, yakni organisasinya (PKI) yang dilarang, melainkan juga ideologinya, yakni Komunis/Marxisme-Leninisme.
Dengan kata lain, jika pemerintah memang ingin membubarkan FPI – dan juga HTI – maka perlu ada aturan hukum yang mengatur pelarangan ideologi yang digunakan.
Baca Juga: Rizieq dan FPI Bangkitkan Islamofobia?
Seperti yang ditulis Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Principe, untuk menaklukkan kerajaan, maka harus dipastikan bahwa seluruh anggota kerajaan tersebut harus dimusnahkan.
Maksudnya, percuma saja membubarkan FPI apabila ideologi gerakannya tetap dibiarkan hidup. Mereka hanya perlu membuat ormas baru seperti yang telah dilakukan baru-baru ini. (R53)