Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai “kompensasi” atas kenaikan harga BBM bersubsidi. Dengan BLT yang hanya dikeluarkan sebanyak satu kali, apakah kebijakan ini dapat dikatakan sia-sia? Kemudian, mengacu pada kritik keras Megawati terhadap BLT, mungkinkah Ketua Umum (Ketum) PDIP itu tidak setuju terhadap kebijakan BLT yang dikeluarkan Jokowi?
Jika mengingat kenangan semasa kecil, ada momen ketika kita menolak untuk minum obat ketika sakit, khususnya jika obat itu terasa pahit. Untuk menyiasatinya, orang tua kita biasanya memberikan gula atau buah-buahan seperti pisang agar rasa pahitnya tidak terasa.
Di level negara, yakni kebijakan publik, memberi permen untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi rasa pahit juga dilakukan. Terbaru, ketika pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dikeluarkan sebagai “kompensasi”.
Sekilas, pemberian BLT itu mengingatkan kita pada penjelasan John Rawls dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice. Menurut Rawls, keadilan itu hadir jika kebijakan negara berpihak kepada mereka yang paling tidak beruntung.
Menurut dosen Filsafat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Fristian Hadinata, mereka yang paling tidak beruntung itu adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Lantas, apakah BLT sebesar Rp600 ribu yang dikeluarkan Presiden Jokowi adalah bentuk keadilan negara terhadap mereka yang paling tidak beruntung?
Megawati Kritik Jokowi?
Jika bicara sejarah, BLT pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). BLT tersebut dikeluarkan pada Oktober 2005 sampai Desember 2006 dengan target 19,2 juta keluarga miskin. Setiap rumah tangga mendapatkan total 1,2 juta dengan skema tiga kali pengiriman.
Menariknya, sepuluh tahun lalu, yakni pada tahun 2012, Presiden SBY juga mengeluarkan kebijakan BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Saat itu, partai paling berkuasa saat ini, PDIP, adalah pihak yang memberikan penolakan keras.
Jika melihat track record-nya, pernyataan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri sangatlah keras terhadap kebijakan BLT. Pada 27 Mei 2008, misalnya, Megawati menyebut BLT membuat mental bangsa menjadi peminta-minta.
Setahun kemudian, tepatnya pada 20 Maret 2009, Megawati kembali memberikan kritik dengan menyebut BLT seperti merendahkan harga diri bangsa. “Apa arti BLT hanya untuk uang senilai Rp200 ribu saja berdempet-dempetan tanpa harga diri seperti pengemis?” ungkapnya.
Kendati mungkin terkesan sinis, pernyataan Megawati itu memiliki afirmasi kuat dalam teori ekonomi, khususnya Ekonomi Perilaku (Behavioral Economics). Teori ekonomi ini mempelajari dampak faktor psikologis, sosial, kognitif, dan emosional terhadap keputusan ekonomi individu dan/atau lembaga.
Studi Ekonomi Perilaku dapat kita lihat pada perbedaan ideologi ekonomi yang dianut Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS).
Kimberly Amadeo dalam tulisannya Democrats or Republicans: Which Is Better for the Economy? menyebut Partai Republik menerapkan teori supply-side economics.
Teori ini menyatakan pemotongan pajak, khususnya pada sektor bisnis, akan memberi dampak positif dengan bertambahnya jumlah pekerja, sehingga berkonsekuensi pada meningkatnya permintaan dan pertumbuhan ekonomi. Asumsinya adalah pertumbuhan ekonomi didapatkan melalui peningkatan produksi.
Menurut Amadeo, berbeda dengan Partai Republik, Partai Demokrat menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih berfokus untuk membantu kelompok berpenghasilan menengah ke bawah. Selain untuk mengurangi ketimpangan pendapatan, kebijakan tersebut juga dipercaya sebagai cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ini bertolak dari temuan bahwa kelompok berpenghasilan menengah ke bawah lebih cenderung menghabiskan uang ekstra untuk kebutuhan sehari-hari daripada menabung atau berinvestasi (lebih konsumtif). Dengan demikian, ini secara langsung meningkatkan permintaan dan memacu pertumbuhan ekonomi.
Dari penjelasan Amadeo, kita dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat perilaku ekonomi yang berbeda antara kelompok ekonomi menengah ke bawah dan kelompok ekonomi atas. Kata kuncinya adalah perilaku investasi dan konsumsi.
Tom Corley dalam tulisannya The 1 percent will always control the wealth—and here’s how they do it juga menegaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan ekonomi, seperti menabung dan mengontrol pengeluarannya, adalah pembeda kontras kelompok ekonomi atas dengan ekonomi menengah ke bawah.
Singkatnya, bertolak pada Ekonomi Perilaku, pernyataan Megawati pada tahun 2008 dan 2009 dapat dikatakan tepat. Mengacu pada perilaku konsumtif kelompok ekonomi menengah ke bawah, BLT yang diberikan tidak akan menjadi dana investasi, melainkan hanya dilihat sebagai dana segar untuk langsung berbelanja.
Dengan demikian, jika pernyataan Megawati tersebut ditarik pada konteks kebijakan BLT Presiden Jokowi saat ini, dapat dikatakan PDIP telah melakukan autokritik alias mengkritik dirinya sendiri. Jika Megawati konsisten dengan pernyataannya, Ketua Umum PDIP itu semestinya mengkritik kebijakan BLT Jokowi.
Selain itu, dengan BLT Rp600 ribu yang dikeluarkan sebanyak satu kali, kebijakan ini dapat dikatakan sia-sia. Alasannya sederhana. Kenaikan harga BBM bersubsidi memiliki efek domino dan berjangka panjang, khususnya terhadap kenaikan harga (inflasi).
Sementara BLT memiliki dampak jangka pendek karena hanya menambah kemampuan belanja masyarakat sebanyak satu kali. Setelah itu, masyarakat harus memutar otak menghadapi inflasi yang terjadi.
Tidak Memiliki Solusi?
Artinya, kembali mengacu pada penjelasan John Rawls dalam buku A Theory of Justice, memberikan BLT yang menyasar kelompok ekonomi menengah ke bawah bukanlah justifikasi bahwa kebijakan ini berpihak kepada mereka yang paling tidak beruntung.
Senada dengan itu, menurut Fristian Hadinata, jika melihatnya dari kacamata John Rawls (Rawlsian), kenaikan harga BBM bersubsidi adalah bentuk ketidakberpihakan pemerintah kepada mereka yang paling tidak beruntung, yakni masyarakat menengah ke bawah.
Kritik yang tidak kalah menarik datang dari pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat. Menurutnya, sejak era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga Jokowi, pemerintah memiliki alasan yang sama ketika hendak menaikkan harga BBM bersubsidi. Jika tidak dinaikkan, maka APBN kita akan jebol.
Menurutnya, jika pemerintah konsisten pada argumentasi APBN jebol, kenapa bantalan sosial (BLT) mencapai Rp24,17 triliun justru disiapkan? Bukankah itu menunjukkan pemerintah memiliki anggaran? Kemudian, lanjut Hidayat, harga minyak dunia saat ini justru tengah turun.
Menurut Hidayat, digaungkannya alasan yang sama ketika menaikkan harga BBM bersubsidi menunjukkan pemerintah sebenarnya tidak memiliki solusi.
Senada, Fristian juga mengkritik keras alasan klasik kenaikan harga BBM bersubsidi demi menghindari jebolnya APBN. Mengutip studi Logika, Fristian menilai argumentasi itu sebagai kesesatan bernalar (fallacy) yang disebut dengan false dichotomy atau dikotomi palsu.
Sedikit memberi konteks, dikotomi palsu terjadi ketika terdapat dua pilihan yang bertentangan seolah harus diambil salah satu, padahal pilihan alternatif masih tersedia di luar sana.
Pada konteks kenaikan harga BBM bersubsidi, seolah terbentuk dikotomi bahwa pemerintah harus memilih opsi antara menaikkan harga BBM bersubsidi atau APBN akan jebol. Dua opsi itu seolah harus diambil salah satu, dan meniadakan opsi ketiga atau opsi alternatif.
Well, sebagai penutup, ada dua hal yang dapat disimpulkan dari kebijakan BLT Presiden Jokowi. Pertama, jika Megawati konsisten dengan kritiknya terhadap BLT, Ketua Umum PDIP itu semestinya tengah mengkritik Presiden Jokowi saat ini.
Kedua, jika kebijakannya ingin disebut berpihak kepada mereka yang paling tidak beruntung, Presiden Jokowi semestinya mengeluarkan kebijakan jangka panjang, bukannya kebijakan jangka pendek seperti BLT. Bentuknya bisa berupa regulasi yang membuat pendapatan masyarakat secara konsisten dapat meningkat. (R53)