Site icon PinterPolitik.com

Shopee-Tokopedia-Gojek Jadi Agama Baru?

Shopee Tokopedia Gojek Jadi Agama Baru

Tokopedia dan Gojek (Foto: RM.id/istimewa)

Belakangan ini publik mengkritisi keras aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun, sudah tepatkah ketakutan rakyat terhadap kontrol teknologi pemerintah?


PinterPolitik.com

Belakangan ini publik dihebohkan dengan kabar bahwa aplikasi digital besar seperti Shopee, Tokopedia, dan Gojek akan diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), melalui sebuah peraturan baru tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

Aturan yang didasari dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kominfo (Permenkominfo) Nomor 10 Tahun 2021 ini pada dasarnya akan memblokir semua PSE lingkup privat – seperti media sosial dan video game online – jika tidak mendaftarkan dirinya ke sistem kementerian per tanggal 20 Juli 2022.

Pada awalnya, publik dibuat cemas bila pemerintah memang “tega” memblokir platform teknologi besar seperti Google, misalnya, karena di zaman sekarang hampir semua aktivitas perkantoran dan pendidikan pasti berhubungan dengan fitur-fitur Google. Tapi pada akhirnya hampir semua platform besar seperti Google, Twitter, dan Meta akhirnya mendaftarkan diri ke Kominfo dan tidak jadi diblokir.

Tidak hanya soal pemblokiran, Permenkominfo ini juga bertindak layaknya aturan sapu jagat yang akan mengatur banyak aspek PSE lingkup privat. Melalui aturan ini aparat penegak hukum berhak meminta data komunikasi seseorang kepada penyelenggara aplikasi, aturan ini juga memberikan kekuatan pada pemerintah untuk memaksa PSE menghapus suatu konten yang memiliki informasi atau dokumen terlarang.

Sontak, polemik PSE ini mengundang kritik dari sejumlah pihak. Pakar keamanan siber Ethical Hacker Indonesia, Teguh Aprianto sebut aturan ini akan digunakan untuk membungkam kritik di masyarakat. Karena informasi yang dianggap mengganggu ketertiban umum bisa ditindak, ada potensi aturan ini digunakan untuk membungkam seseorang. Aturan PSE juga dianggap akan melanggar privasi pengguna.

Akan tetapi, ada fenomena sosial unik yang muncul setiap pemerintah mengeluarkan aturan baru tentang hal-hal berbau digital seperti ini, yakni penolakan spontan. 

Mulai dari Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sampai PSE ini, publik seakan-akan selalu sepakat bahwa ketika pemerintah sedikit saja terlihat ingin mengontrol internet dan teknologi, itu pasti adalah sebuah serangan terhadap kebebasan berpendapat.

Padahal, sebenarnya belum tentu aturan tentang PSE ini akan lahirkan masalah yang sama seperti yang dibicarakan orang ketika mendebatkan UU ITE.

Lantas, kenapa setiap kali pemerintah berusaha mengontrol produk-produk digital, mereka selalu dapat kecaman publik?

Trauma Tiranisme?

Mengapa segala hal yang berkaitan dengan internet dan dunia digital selalu jadi sesuatu yang begitu sensitif bagi kita? Well, di sini kita bisa menjawabnya dengan tiga alasan. Pertama, berkembangnya teknologi canggih telah mengenalkan ulang kepada kita konsep tentang kebebasan manusia.

Ronald Bailey dalam tulisannya Liberation Biology: The Scientific and Moral Case for the Biotech Revolution menilai kemunculan internet telah melahirkan kelompok-kelompok orang yang disebutnya sebagai libertarian transhumanist. Orang-orang ini adalah mereka yang memiliki egoisme rasional dan egoisme etis tinggi, yang memandang prospek penggunaan teknologi fungsinya hanya untuk meningkatkan kapasitas manusia.

Bailey menyimpulkan, egoisme itu dapat muncul karena teknologi telah mengenalkan sebuah dunia yang diciptakan murni untuk mengekspresikan kebebasan. Dan memang, semenjak pertama kali internet lahir, dunia maya digunakan sebagai salah satu cara manusia kabur dari kekangan peraturan di dunia nyata.

Karena itu, secara tidak sadar, setiap upaya yang tujuannya adalah untuk membatasi atau menekan kebebasan seseorang dalam internet dan dunia teknologi akan selalu dianggap sebagai pelanggaran hak-hak sipil dan kebebasan sipil. Padahal, belum tentu upaya tersebut dilakukan untuk melanggar hak sipil.

Sederhananya, fenomena seperti ini juga berlaku sebagai salah satu penyebab munculnya bajak laut kuno. Sebelum adanya peraturan internasional, lautan dianggap sebagai dunia bebas, di mana setiap orang diberikan keleluasaan untuk berlayar ke mana pun mereka mau. 

Namun, setelah peraturan mulai diterapkan, muncul sekelompok orang yang berpandangan bahwa peraturan manusia tidak boleh digunakan di laut. Karena itu, gerakan bajak laut pun menyebar.

Kedua, ketakutan kita terhadap kontrol teknologi juga muncul akibat trauma tirani dan dominasi. Seiring waktu, banyak orang sadar bahwa teknologi sesungguhnya mengenalkan kita pada sumber kekuatan baru, salah satunya adalah big data

Seperti diketahui, saat ini big data telah berperan layaknya “peramal” yang mampu memberikan jawaban akurat tentang apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Tentang opini rakyat misalnya, melalui big data yang dimiliki platform medsos seperti Twitter, mereka-mereka yang bisa mengaksesnya bisa dengan cepat akan tahu tontonan film seperti apa yang digemari penduduk Indonesia, tanpa perlu wawancara satu-satu penduduknya.

Dan jika lebih mendalam lagi, banyak pengamat sekarang juga menilai kekuatan yang ditawarkan big data juga dapat mengatur realita di masyarakat itu sendiri. Dengan memainkan ads atau iklan, misalnya, opini politik orang-orang di wilayah tertentu bisa dibentuk dengan mudah. Cukup menyeramkan, memang.

Faktor-faktor ini, ditambah pengalaman pahit didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan besar, seperti penjajahan Belanda dan Jepang, misalnya, sepertinya layak bila banyak orang otomatis merasa takut bila entitas politik tunggal seperti pemerintah memegang kapabilitas tersebut, karena seperti adagium terkenal yang disampaikan Lord Acton: “absolute power corrupts absolutely”. 

Ketiga, insting ketakutan pada kontrol teknologi pemerintah juga muncul akibat distrust atau ketidakpercayaan pada kebijakan pemerintah. Clyde Wayne Crews Jr. dalam tulisannya Techo-Libertarianism: Building the Case for Separation of Technology and State menjelaskan bahwa yang mendorong gerakan-gerakan aktivisme digital adalah karena banyak orang tidak puas dengan kebijakan dan institusi yang dipilih politisi untuk memantau dunia digital.

Sebagian besar orang menganggap pemerintah tidak akan pernah tahu bagaimana meregulasi dunia maya, karena sektor ini memang sebuah dunia baru. Ini menjadi kekhawatiran yang lebih besar ketika segala keputusan yang berkaitan dengan itu diputuskan oleh seorang politisi, yang mungkin tidak paham tentang hal-hal mendasar perkembangan teknologi.

Alhasil, banyak orang berprasangka keputusan yang dihasilkan pemerintah hanya akan melahirkan masalah-masalah baru karena kebijakan yang dibuat tidak akan “tepat sasaran”.

Itulah setidaknya 3 alasan kenapa kita secara intuitif langsung menolak gagasan tentang pengontrolan teknologi oleh pemerintah.

Lantas, bisakah ketakutan-ketakutan ini dibenarkan?

Ketakutan Kita Ciptakan Agama Baru?

Dalam melihat fenomena benturan perkembangan teknologi dan politik, bias yang umumnya terjadi adalah kita sering melihat negara sebagai potensi diktator yang menguasai semuanya melalui kekuatan digital. Padahal, secara realistis ancaman penguasaan digital tidak hanya berasal dari pemerintah, tetapi juga aktor besar teknologi itu sendiri, yakni para perusahaan besar.

Ekonom Yunani, Yanis Varoufakis memopulerkan sebuah istilah yang bernama techno-feudalism. Melalui istilah ini, Yanis meyakini bahwa sistem ekonomi di masa depan akan kembali layaknya zaman feodalisme, di mana hanya segelintir orang saja yang mempunyai kekuatan, dan orang-orang itu adalah mereka yang memiliki lahan.

Dalam dunia digital, mereka yang sesungguhnya memiliki lahan adalah para penyedia jasa digital, seperti Google dan Meta. Pemerintah pun di masa depan, kata Yanis, perlu menyesuaikan kepentingannya dengan kemauan para penyedia lahan tersebut. 

Jika prediksi ini benar, tentu kita seharusnya bisa lebih mendukung upaya pemerintah untuk membatasi kekuatan yang dimiliki para perusahaan teknologi besar ini.

Menariknya, polemik PSE juga menunjukkan sebuah fenomena sosial yang diprediksi sejarawan Israel, Yuval Noah Harari. Dalam bukunya yang berjudul Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, Yuval mengenalkan konsep dataisme, yang pada dasarnya mengatakan bahwa di masa depan manusia akan menganggap teknologi sebagai sesuatu yang sakral, bahkan cenderung “ilahi”. 

Dalam era di mana data dan algoritme mampu menjelaskan hasrat yang sebenarnya dari umat manusia, sekaligus menyimpan rahasia-rahasia tergelap mereka, Yuval berpandangan bahwa teknologi telah berubah menjadi sebuah agama baru, yang penganutnya akan mengakui bahwa alur informasi adalah nilai tertinggi dalam peradaban manusia.

Meski ini adalah prediksi untuk masa depan yang sangat jauh, apa yang dikatakan Yuval bisa kita endus dari reaksi publik terhadap peraturan PSE. Tanpa mengetahui secara faktual apakah kontrol teknologi pemerintah akan benar-benar merusak kebebasan berpendapat, secara intuitif, mayoritas masyarakat bisa kompak menilai upaya kontrol tersebut adalah sebuah penodaan terhadap kesucian data dan internet.

Sifat seperti ini persis seperti apa yang ditunjukkan oleh seorang fanatik agama ketika kesucian agama mereka dinilai ternodai oleh perilaku seseorang. Tanpa keinginan melihat pandangan dari sisi yang berlawanan, orang tersebut akan membela agamanya secara buta.

Dengan demikian, tampaknya masyarakat kita memang mulai menciptakan sebuah agama baru tanpa sadar, yakni agama yang berkutat pada Shopee, Tokopedia, Gojek, Google, dan Meta. (D74)

Exit mobile version