Film Sexy Killers sedang menjadi perbincangan hangat, film besutan Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc Documentary tersebut membeberkan soal bagaimana silang sengkarut perusahaan tambang batu bara menyelimuti para elite yang sedang berkontestasi di pilpres 2019. Sexy Killers hadir di menit-menit akhir, dia dituduh menggiring opini publik untuk menjadi golput, benarkah demikian?
Pinterpolitik.com
Film berjudul Sexy Killers menjadi pergunjingan hangat di pesta pemilihan presiden tahun ini. Selain sebab dia dirilis di masa-masa genting, persis ketika debat sesi terakhir digelar dan satu hari sebelum masa tenang semenjak 14 April 2019, film ini sendiri mengangkat isu yang sangat sensitif di Indonesia, yaitu soal tambang batu bara, beserta kerusakan yang ditimbulkannya dan kait mengaitnya dengan para peserta Pilpres 2019.
Dua situasi tersebut masih harus ditambahi dengan naiknya angka golongan putih. Cibiran muncul dari golongan pendukung kandidat nomor urut01 Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin yang dalam hal ini berposisi sebagai pemegang kuasa dan merasa suara golput menggerus basis elektoralnya.
Sexy Killers disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, seorang wartawan senior yang di kemudian hari mendirikan Watchdoc Documentary. Sexy Killers sejatinya hanya satu penggal dari keseluruhan tema besar perekaman film yang memakan waktu selama 1 tahun penuh dengan tema besar yaitu Indonesia Biru, mengadopsi konsep ekonomi biru, jalan ekonomi yang ramah sosial dan lingkungan.
Semenjak dirilis offline pada 29 Maret, sudah 476 titik di seluruh Indonesia mengadakan nonton bareng. Setelah diunggah di YouTube, dalam tempo dua hari film ini mendapatkan 7,8 juta penonton.
Fantastis, sebab di dalamnya ada saling-silang kepentingan dari kedua buku, tambang batu bara yang terus digenjot sebab ada upaya kejar target Presiden Jokowi untuk listrik 35 ribu KW. Dan batu bara menjadi bahan paling murah untuk dikonversi menjadi listrik.
Sampai sini tidak ada masalah, sampai kemudian fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada harga sosial dan ekologis yang harus dibayar. Sexy Killers menunjukkan ada ratusan warga yang tenggelam bekas galian tambang, puluhan warga terserang penyakit pernapasan, belum lagi kekerasan aparat saat pengambil-alihan lahan.
Jokowi, Prabowo, Ma’ruf Amin, Sandiaga Uno, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), Erick Thohir, hampir semua, tak ada yang luput. Di sanalah letak meradangnya para pendukung kedua belah kubu. Sebab membongkar seluruh keborokan yang selama ini disembunyikan.
Film Sebagai Penggerak
Kegusaran beberapa pihak merespons film ini tentu berasalan, selain besarnya massa yang terpapar, film adalah salah satu media propaganda yang cukup efektif. Dziga Vertov mengatakan bahwa apa yang dilihat melalui film, adalah kebenaran itu sendiri. Hal tersebut menjadikan film sangat berguna untuk mempengaruhi massa secara luas dengan agenda nilai yang coba ditanamkan di dalamnya.
Selain itu film berbicara menggunakan gambar, penonton tidak harus lelah membaca, gambar bergerak lebih cepat dan mudah dipahami. Letupan, suara, gerak mata kamera, corak warna, semua komposisi tersebut terbangun demi menghadirkan yang riil dalam film. Walhasil ketika menonton film, kita tidak merasakan itu film, tapi sebuah kenyataan yang terverifikasi benar.
Pemerintah Indonesia di masa Orba pernah memproduksi film yang menjadi basis dari seluruh legitimasi kekuasaannya selama 30 tahun, yaitu Pengkhianatan G-30 S/PKI. Film yang menerangkan bagaimana PKI layak dihabisi sebab telah melakukan kudeta terhadap presiden.
Ide film sebagai bahan propaganda ini terjadi juga di belahan bumi lain. Adolf Hitler di Jerman juga pernah melakukan hal yang sama. Bersama Joseph Goebbels, mereka memproduksi film demi keuntungan mereka sendiri. Hitler masuk dengan propaganda soal kelicikan dan konspirasi Yahudi sampai pada kejayaan kaum Aryan Jerman.
Michael Grabowski, penulis buku Neuroscience and Media: New Understanding and Representations menerangkan bahwa ada kaitan antara film dengan otak dan proses neurologis yang menjadikan penonton merasa bahwa apa yang mereka tonton adalah nyata, sehingga dengan demikian respons yang terjadi persis seperti ketika mendapatkan stimulus yang sama di tubuh padahal hanya terjadi di film.
Berdasarkan kondisi tersebut, artinya film baik berbentuk propaganda maupun tidak memiliki dimensi yang mampu menggerakkan penonton.
jumping on the bandwagon, Sexy Killers is so enlightening for anyone who tends to be apolitical like me. it was so raw, portraying the ugly truth of politics; that there is indeed no lesser evil. and when you destroy the nature you also destroy the humanity pic.twitter.com/yq2vXjZJ1l
— ? (@lrstkh) April 15, 2019
Dapur Intelektual Sexy Killers
Film yang berkualitas adalah film yang membutuhkan riset panjang nan mendalam. Begitu pula dengan Sexy Killers, dia tidak serta merta muncul dari rekaman-rekaman kejanggalan yang ditemui selama melakukan ekspedisi mengitari Indonesia, namun ada gerak intelektual yang kompak digerakkan.
Sexy Killers bukan hanya hasil sang sutradara Dandhy Laksono sendirian, dan rekan-rekannya di Watchdoc Documentary, namun juga berkat adanya gerakan-gerakan yang senada dari Greenpeace Indonesia, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Bersihkan Indonesia, dan Jaringan Advokasi Tambang.
Semua organisasi sipil tersebut memiliki nilai yang senada, yaitu soal pentingnya merawat alam. Sebab jika alam dirusak, justru yang akan sengsara adalah manusia sendiri. Jaringan ini memiliki kedekatan pemikiran dengan kalangan progresif, sebab hanya dalam gerakan progresif soal ekologi dan kerakyatan bisa dinaungkan.
Ini menjadi menarik manakala menariknya ke 5 tahun lalu, di mana aktivis dari berbagai gerakan progresif berbondong-bondong mendukung Jokowi sebagai Presiden. Di kemudian hari ada kekecewaan, sebab nyatanya Jokowi tak jauh beda, dia dilingkari oleh elite yang juga memiliki kepentingan yang bertentangan dengan nilai-nilai progresivitas.
Lima tahun berselang, di 2019 ini gejala golput menjalar, salah satu sebabnya adalah mereka yang dahulu mendukung Jokowi kecewa dan tidak puas dengan kinerja pemerintahan. Terlebih di kalangan gerakan hijau sendiri melihat bahwa terjadi kemunduran pada perjuangan ekologi di Indonesia, konflik agraria mengingkat tajam, dan terjadi penggusuran dimana-mana.
Meski kecewa kepada Jokowi, mereka juga gamang untuk masuk ke dalam barisan Prabowo-Sandi yang dianggap juga tidak lebih baik, persis seperti yang dikuak dalam film. Sehingga barisan sakit hati inilah yang kemudian bertransformasi menjadi golongan putih, sebagian besar.
Gerakan golput bahkan dideklarasikan di LBH Jakarta pada 14 April lalu. Para aktivis dari lintas gerakan berkumpul, termasuk Gus Roy Murtadho, aktivis dari FNKSDA yang juga turut masuk dalam film tatkala mereka melakukan riset soal batu bara dan PLTU di pesisir Jawa Barat.
Mendapatkan tuduhan bahwa dia menggerakkan orang untuk menjadi golput. Meski tidak pernah menyebut dirinya sebagai golongan putih, beberapa postingan sosial media Dandy mendukung hak untuk golput.
Kondisi-kondisi inilah yang boleh jadi membuat para pendukung capres menuduh bahwa film ini menjadi semacam propaganda untuk golput. Terlebih, reaksi penonton di media sosial kerap diisi oleh rasa bimbang atau bahkan deklarasi untuk tak memilih.
Sehabis nonton sexy killers, gimana nih pilpres besok? Share on XMedia dan Pembentukan Persepsi
Gerakan golput jika membludak memang akan berbuah menjadi pembangkangan sosial. Tren golput sendiri terus naik dari pemilu ke pemilu di Indonesia, di tahun ini golput ditakuti sebab dia menggerus elektabilitas. Dandhy dan Sexy Killers salah satu yang diatribusi akhir-akhir ini.
Dengan kemampuan film yang mampu menggerakkan masyarakat, dia menjadi alat yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Mengutip Marshall McLuhan bahwa medium membentuk konten, medium adalah pesan itu sendiri. McLuhan melihat bahwa teknologi memberikan efek terhadap kognisi, dan dengan demikian mampu merombak pola perilaku sosial, artinya interaksi di dalam sosial juga turut berganti.
Menurut McLuhan, teknologi cetak contohnya berkontribusi besar terhadap sebuah gelombang besar modernisme, yaitu individualisme, demokrasi, kapitalisme, dan nasionalisme. Tren ini menggema seturut dengan prinsip teknologi cetak yang memilah antara aksi dan fungsi dan prinsip kuantifikasi visual.
McLuhan melihat bahwa media tidak memiliki nilai moral secara partikular, namun dia adalah alat yang mampu membentuk individu, dan sekaligus sosial dan konsep dan kesadaran yang ada di dalamnya.
McLuhan mencontohkannya dengan bohlam lampu, yang mampu memberikan ruang bagi orang untuk beraktivitas di malam hari, sehingga dengan demikian sosial tetap bergerak, kesadaran sosialpun berubah, sebab perilaku mereka terkena imbas adanya bohlam lampu yang menyala di malam hari.
Maka dari sini mampu dilihat bahwa YouTube-lah salah satu sebab utama Sexy Killers menjadi begitu berimbas terhadap masyarakat, dia film, dan disiarkan secara online lewat YouTube. Sexy Killers menjadi berimbas besar, sebab mampu merubah kesadaran masyarakat.
Sexy Killers mampu menyodorkan fakta-fakta kuat dan riset mendalam soal apa, dan siapa saja yang terlibat dalam kepentingan batu bara di pusaran pilpres kali ini. Film digarap dengan serius, dan tidak dengan kepentingan para orang kaya, sebab semua yang terlibat dan bergerak adalah masyarakat sipil.
Hal inilah yang menyebabkan berbagai pihak di pusaran Pilpres menjadi kebakaran jenggot sehingga mulai menuduh film ini sebagai ajakan golput. Terlebih , peluncurannnya amat berdekatan dengan hari pencoblosan.
Terlepas dari posisi politik seluruh orang-orang yang terlibat di dalamnya, termasuk jika pilihan mereka jatuh untuk tidak memilih, film ini tetap menjadi film yang sangat direkomendasikan untuk ditonton bersama keluarga untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan pemilihan capres esok hari, di tanggal 17 April. (N45)