Dalam draf revisi UU Pemilu, eks HTI diusulkan tidak dapat menjadi peserta di ajang Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Menimbang pada kasus yang sama tidak terjadi pada eks koruptor, tepatkah rancangan draf UU tersebut? Lantas, mungkinkah hal serupa juga akan menimpa eks FPI?
“Thymos yang muncul dalam (buku Plato) Republic… mungkin hari ini kita sebut sebagai ‘harga diri’” – Francis Fukuyama, dalam The End of History and the Last Man
Untuk mewujudkan wacana Pilkada Serentak di 2027, DPR menginisiasi revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diketahui telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas DPR 2021. Menimbang pada perbedaan masa jabatan kepala daerah dan belum pernah dilaksanakannya Pilkada Serentak, berbagai sinkronisasi sedang dilakukan.
Selain mewacanakan Pilkada Serentak di 2027, draf revisi UU Pemilu justru memberi porsi perhatian yang besar terhadap syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu. Yang paling menarik perhatian adalah adanya narasi bahwa eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak dapat menjadi peserta dalam pemilu, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.
Menurut anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin, salah satu alasan pelarangan karena HTI tidak sejalan dengan empat konsensus dasar bangsa Indonesia, yakni Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. HTI juga disebut hendak mengganti dasar tersebut.
Namun, ternyata tidak semua anggota Komisi II yang setuju dengan usulan tersebut. Salah satunya adalah politisi PDIP Junimart Girsang. Menurutnya, penyusunan draf revisi UU Pemilu tersebut harus mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menekankan hanya melalui pengadilan hak politik seseorang dapat dicabut.
Junimart juga menekankan bahwa usulan tersebut masih bersifat draf sehingga sangat mungkin untuk berubah nantinya.
Baca Juga: Kala PDIP Bela HTI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Johannes Tuba Helan juga menunjukkan ketidaksetujuan. Menurutnya, dari segi hukum dan demokrasi, larangan terhadap eks anggota HTI ikut mencalonkan diri dalam pemilu adalah sesuatu yang berlebihan karena seperti menghukum mereka secara berulang-ulang.
Lantas, tepatkah usulan pelarangan eks HTI untuk terlibat dalam pemilu? Atau justru merupakan suatu kesalahan seperti dalam penekanan Junimart Girsang dan Johannes Tuba Helan?
Hukuman Abadi dan Perbandingan Hukum
Di sini, menarik sekiranya membahas pernyataan Johannes Tuba Helan bahwa pelarangan tersebut seperti menghukum eks anggota HTI secara berulang-ulang. Penekanan hukuman berulang sepertinya adalah apa yang disebut dengan perpetual punishment (hukuman abadi) – disebut juga permanent punishment (hukuman permanen).
Perpetual punishment kerap ditujukan untuk menjelaskan situasi narapidana yang telah bebas dari penjara, namun masyarakat tetap dan terus mengecap mereka sebagai penjahat. Stigmatisasi dan diskriminasi ini yang membuat mantan narapidana sulit diterima masyarakat, sehingga tidak jarang membuatnya kembali melakukan kejahatan.
Nah, jika benar konsep perpetual punishment yang hendak berusaha diterapkan pada kasus HTI, dengan mengacu pada konsep skin in the game dari Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life, kita dapat dengan mudah melakukan bantahan.
Sederhananya skin in the game adalah prinsip kesetaraan permainan, yang mana setiap pihak harus diperlakukan seimbang atau setara. Jika A mendapatkan risiko dan keuntungan sebesar X, maka B juga harus mendapatkan hal serupa.
Pada kasus pelarangan eks HTI ikut dalam pemilu, kita dapat membandingkannya dengan dikabulkannya uji materi yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 11 Desember 2019 lalu.
Dalam keputusan tersebut, yang semula salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana, diubah menjadi empat ketentuan sebagai berikut.
Pertama, tidak pernah diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih. Kedua, apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara. Ketiga, harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan narapidana. Keempat, yang bersangkutan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.
Baca Juga: Century Hingga Utang, Sri Mulyani Keliru?
Artinya apa? Perpetual punishment hendak dihilangkan oleh MK, yakni ada asumsi mantan narapidana akan berubah. Di titik ini, mungkin ada yang membantah dengan menyebutnya sebagai perbandingan yang tidak setara karena persoalan HTI berada pada level ideologi. Oke, mari berlanjut pada perbandingan kedua.
Pada 24 Februari 2004, MK memutuskan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Keputusan itu membuat eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk organisasi massanya dapat kembali ikut dalam pemilu. Nah, bukankah PKI dan HTI sama-sama memiliki ideologi yang dikategorikan bertentangan dengan dasar negara.
Lalu, terkait dengan pernyataan Junimart Girsang yang menyinggung putusan MK, boleh jadi putusan MK tersebut yang juga menjadi landasan argumentasinya.
Praktik yang membandingkan antar-keputusan hukum ini disebut dengan argument from analogy. Fabrizio Macagno dan Douglas Walton dalam tulisannya Argument from Analogy in Law, the Classical Tradition, and Recent Theories menyebutkan argument from analogy adalah bentuk argumentasi yang umum dalam penalaran hukum.
Ini karena cara kerjanya yang sederhana, yang mana cukup dengan melakukan perbandingan atau komparasi antara keputusan hukum yang telah ada dengan yang baru atau akan ditetapkan. Praktik ini mudah ditemukan pada kasus banding.
FPI Selanjutnya?
Setelah memahami persoalan perpetual punishment dan argument from analogy dalam hukum, di sini mungkin kita dapat menyimpulkan bahwa keputusan tersebut memiliki tendensi politis. Jika benar demikian, mungkinkah selanjutnya akan ada pelarangan serupa terhadap Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan dan ditetapkan sebagai ormas terlarang pada 30 Desember 2020?
Pasalnya, apabila mengevaluasi pembubaran HTI pada 2017 lalu, yang mana eks anggota HTI disebut tetap menyebarkan ide khilafah di akar rumput, besar kemungkinan telah disadari bahwa membubarkan organisasinya saja tidaklah cukup. Oleh karenanya, perkembangan ideologi dan aktivitas politik eks anggotanya juga perlu untuk diredam.
Rasionalisasi tersebut dapat kita temukan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Di sana tidak hanya organisasinya, yakni PKI yang dilarang, melainkan juga ideologinya, yakni Komunis/Marxisme-Leninisme. Pun begitu dengan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang telah dibahas sebelumnya.
Jika demikian rasionalisasinya, maka terdapat kemungkinan wacana yang menimpa HTI kini juga akan menimpa FPI di kemudian hari. Pasalnya, AD/ART FPI disebut bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yakni asas ormasnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Baca Juga: Sia-Sia Saja Pemerintah Bubarkan FPI
Rasionalisasi semacam itu dapat kita pahami melalui pemikiran ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man. Mengutip gagasan thymos Plato dalam buku Republic, Fukuyama menekankan bahwa hasrat untuk diakui adalah tendensi psikologis yang tidak bisa hilang dalam diri manusia.
Singkatnya, thymos atau hasrat pengakuan tersebut akan membuat eks anggota HTI dan FPI akan terus berupaya untuk mendapatkan pengakuan atas ideologi atau pemikirannya. Ini yang membuat mereka terus bergerak di akar rumput, meskipun organisasinya telah dibubarkan.
Dengan kata lain, mungkin dapat disimpulkan bahwa pengusul draf revisi UU Pemilu sangat paham tentang hasrat pengakuan atau thymos tersebut, sehingga berupaya meredam geliat politik HTI. Jika draf tersebut disahkan nantinya, tentu sangat terbuka kemungkinan bahwa FPI akan menjadi target selanjutnya.
Akan tetapi, seperti yang kita ketahui, draf revisi UU Pemilu masih dalam tahap pembahasan. Kita lihat saja perkembangannya. (R53)