Afirmasi kekeliruan istilah new normal oleh pemerintah pusat jika dilihat pada sisi berbeda tampaknya juga mengekspos langkah brilian Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang sejak awal enggan menggunakan istilah tersebut. Lalu, apakah kausalitas ini bermakna berarti untuk karier politik eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut?
PinterPolitik.com
Jamak salah dipahami oleh masyarakat menjadi alasan di balik revisi istilah new normal atau kenormalan baru menjadi adaptasi kebiasaan baru (AKB) oleh pemerintah pusat. Entah apa yang membuat revisi istilah ini dipandang sebagai sesuatu yang urgen ketika pada saat bersamaan, kombinasi kebijakan kurang bertaji plus rendahnya kesadaran masyarakat dinilai menjadi domain sesungguhnya yang harus diperbaiki bersama.
Revisi tersebut juga seolah menggambarkan kegagapan berjamaah pemerintah pusat dalam menentukan prioritas ketika tak berselang lama setelah perubahan istilah new normal, penggantian beberapa istilah indikator pasien Covid-19 diejawantahkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto.
Seperti yang sudah lumrah publik ketahui bahwa pangkal istilah new normal, yang oleh pemerintah pusat dianggap penting untuk direvisi, bermula saat pada akhir Mei lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginisiasi “perdamaian” dengan virus Corona (Covid-19) dengan memulai sebuah tananan pola hidup baru yang diistilahkan dengan new normal.
Titah Presiden Jokowi itu lantas dipatuhi oleh para anak buahnya dalam menyusun berbagai kebijakan antisipasi serta penanganan pandemi Covid-19. Bahkan, dalam salah satu kebijakan berupa Keputusan Menteri Kesehatan 328 tahun 2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri, tersurat secara gamblang istilah new normal.
Lalu, mengapa persoalan mendasar terkait sebuah istilah, yang justru terkesan berdampak besar saat diakui kekeliruannya, dapat terjadi di level tertinggi pemerintahan?
Dengan kecenderungan yang ada, siapapun pihak di level pemerintah pusat yang menginisiasi revisi istilah new normal tersebut agaknya telah terjebak dalam sebuah konsep yang oleh Alfred Mele disebut sebagai self deception.
Dalam publikasinya yang berjudul Recent Work of Self-Deception, Mele mengatakan bahwa self deception merupakan proses menyangkal atau merasionalisasi sebuah relevansi yang bertentangan dengan argumen basis maupun konteks yang seharusnya menjadi pokok persoalan. Dan ketika hal ini terjadi, paradoks akan terus muncul untuk mempertanyakan rasionalisasi tersebut.
Jika dilihat secara kasat mata, apa yang dikatakan oleh Mele di atas seolah cukup rumit ketika hanya bertujuan untuk menjelaskan problematika di balik revisi pemerintah atas istilah new normal. Lantas, se-kompleks itukah makna dan dampak konkret revisi istilah new normal menjadi adaptasi kebiasaan baru (AKB)?
AKB, Lalu Apa?
Revisi istilah new normal oleh pemerintah disebut hanya sebuah self deception ketika tak menjawab konteks persolan sesungguhnya terkait mengapa kasus Covid-19 di Indonesia terus memburuk, atau mengapa kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih sangat rendah.
Lalu, pemerintah juga dapat dikatakan terjebak dalam paradoks self deception seperti yang disebutkan oleh Mele ketika faktanya, pada April lalu Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyebutkan bahwa kunci penanganan pandemi terbaik dapat dicapai dari penerapan kebijakan pemerintah yang baik serta diikuti kepatuhan setiap elemen di lapangan dalam pelaksanaan protokol pencegahan dan penanggulangan Covid-19.
Wiku bahkan tak menyinggung sedikitpun soal urgensi penggunaan istilah dalam keseluruhan penanganan pandemi Covid-19 yang baik dan benar. Dan pada titik ini, paradoks berupa pertanyaan muncul dan berbalik kepada pemerintah bahwa dengan kata lain, apakah revisi istilah new normal juga mengafirmasi bahwa ada kecenderungan kegagalan atau ketidakberesan dalam implementasi kebijakan pemerintah pusat sendiri selama ini.
Belum selesai sampai disitu, paradoks lebih dalam eksis ketika yang menjadi permasalahan berikutnya, paska revisi istilah new normal, belum ada penjelasan atau ancang-ancang kebijakan konkret yang akan mengikuti upaya perbaikan terminasi tersebut.
Tapi kalau beneran bisa menyembuhkan #COVID19, sakti juga ya kalungnya. #politik #pinterpolitik #infografishttps://t.co/aCXRPj1LTe pic.twitter.com/mQesuX6qxB
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 7, 2020
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono bahkan terkesan tak habis pikir ketika terdapat missing link dari agenda perbaikan istilah new normal menjadi AKB oleh pemerintah. Pandu mempertanyakan kekosongan yang ada setelah pemerintah mengakui kesalahan diksi, terkait apa yang selanjutnya harus dilakukan dan apa yang harus diperbaiki.
Revisi diksi tersebut pada dimensi berbeda juga tampaknya menguak perspektif lain bahwa komunikasi maupun istilah sesederhana apapun yang disampaikan oleh sosok pemimpin memiliki dampak yang vital ketika turut menentukan artikulasi penerapan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.
Sebuah riset dari Transparency and Accountability Initiative menemukan fakta bahwa dalam upaya penanganan Covid-19 secara umum, sebuah istilah atau pesan vital tertentu, pada konteks ini dari sosok pemimpin, yang berlandaskan resonansi yang tegas dan jelas dapat membangun, mengarahkan, serta menguatkan perilaku masyarakat.
Penggunaan ketegasan diksi sendiri cukup berhasil di negara tetangga Malaysia ketika istilah tunggal yang diartikulasikan melalui kebijakan lockdown bernama Movement Control Order (MCO) sukses membuat fundamental kokoh bagi berbagai kebijakan turunan lain, termasuk dalam mengendalikan aktivitas masyarakat negeri Jiran yang berperan cukup positif dalam menekan kasus Covid-19.
Kembali ke tanah air, jika publik cermat mengamati, penggunaan istilah new normal yang pertama kali didengungkan Presiden Jokowi nyatanya telah tak disepakati sejak awal oleh salah satu pimpinan daerah.
Ya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat ini tampaknya terlihat semakin brilian. Tak hanya dengan berbagai kebijakannya, namun kesadaran personalnya akan pentingnya kecermatan serta ketegasan dalam penggunaan diksi maupun istilah. Bagaimana tidak, Anies dinilai sebagai orang pertama yang enggan untuk mengadopsi “titah” new normal Presiden Jokowi dan memutuskan untuk memillih istilah PSBB Transisi.
Argumen Anies kala itu identik dengan alasan serupa yang menjadi kekhilafan pemerintah pusat saat ini terkait revisi diksi new normal menjadi AKB, yakni masyarakat yang keliru dalam mempersepsikan diksi “normal”.
Meskipun progresivitas tersebut tampaknya tak berbanding lurus dengan realita peningkatan kasus di DKI Jakarta belakangan ini, berbagai faktor dinilai turut andil dalam persoalan tersebut, termasuk diksi new normal Presiden Jokowi yang telah diakui kekeliruannya.
Diskursus menjadi semakin menarik ketika konteks yang terkait dengan head to head Presiden Jokowi dan Anies Baswedan mengemuka, terutama untuk nama terakhir. Lantas, apakah ihwal berpangkal “diksi” ini dapat menjadi proyeksi karir politik Anies di masa yang akan datang?
Ingat gaes, kata Pak @aniesbaswedan ini cuma buat kepentingan rakyat dan nggak ada yang lain. #politik #pinterpolitik #aniesbaswedan https://t.co/ZBB91hWI2N pic.twitter.com/60QVoJdfei
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 14, 2020
Skill Menjanjikan?
John Coleman dalam For Those Who Want to Lead, Read mengatakan bahwa kultur studi, dalam hal ini terkait dengan wawasan membaca serta edukasi lainnya, membuat seorang pemimpin menjadi cermat dan kaya akan vocabulary atau kosa kata yang tepat dalam sebuah keputusan, baik secara kontekstual yang berupa kebijakan maupun yang secara harfiah berupa komunikasi publik dan politik.
Intisari tulisan Coleman tersebut tampak relevan menjelaskan persoalan revisi diksi new normal oleh pemerintah pusat, ketika kosa kata yang Presiden Jokowi ucapkan tersebut dinilai berlatarbelakang dari kaliber mantan Walikota Solo itu yang tampaknya tidak terlalu mengedepankan kultur studi maupun teoretis dan lebih condong pada praktik dikarenakan latar belakangnya sebagai pengusaha. Begitupun pada aspek kebijakan.
Kontras dengan hal tersebut, tidak ada yang meragukan bagaimana lekatnya kultur terpelajar dan wawasan pada sosok Anies Baswedan ketika skillnya yang terasah sejak muda itu turut membawanya menduduki kursi panas Mendikbud beberapa tahun silam.
Anies juga sosok pemimpin yang terkenal kaya akan kosa kata dan cermat dalam penggunaannya, baik secara harfiah maupun dalam artikulasi kebijakan. Hal inilah yang dinilai membuatnya tanpa ragu menolak konsep new normal Presiden Jokowi ketika itu.
Bahkan yang terkini, kemampuannya tersebut dinilai sukses membungkam nada sinis dan tendensi memojokkan secara politis dengan isu reklamasi, ketika Anies berhasil merespon kekisruhan yang ada dengan penjelasan elegan plus pemilihan kosa kata yang brilian dan turut menguatkan argumennya.
Pada berbagai kesempatan komunikasi publik dan politik, Anies memang acapkali tampil ciamik dengan “penguasaan panggung” dan tutur kata yang jelas serta lugas. Jabatan panasnya saat ini sebagai Gubernur Ibu Kota Negara juga agaknya akan mengasah sekaligus mempertajam keahlian vocabulary-nya yang agaknya cukup langka di kalangan pemimpin Indonesia saat ini.
Pada kulminasi ini, tak bisa dipungkiri bahwa secara politik Anies Baswedan dinilai mendapat angin segar dan ekspos positif dengan pengakuan kesalahan diksi new normal oleh pemerintah pusat. Semakin menarik pula kiranya untuk menantikan efek serta langkah berbasis kemampuan vocabulary lainnya dari Anies Baswedan dalam dinamika serta kontestasi politik mendatang. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.