“Sekali lagi saya ingin sampaikan, Pak Jokowi perintahkan para menteri dan pejabatnya untuk tidak beternak dolar AS. Itu moral,” Faisal Basri
PinterPolitik.com
“[dropcap]A[/dropcap]ku cinta rupiah,” begitu penggalan lirik lagu milik Cindy Cenora yang tenar di sekitar tahun 1998. Lagu itu demikian kondang di masa-masa rupiah jatuh terjerembab dihantam keperkasaan dolar AS. Kini, boleh jadi, lagu itu akan kembali terngiang di kepala masyarakat negeri ini.
Rupiah kini tengah mencapai titik terendahnya sejak krisis 1998. Di beberapa bank, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ada yang telah menembus angka 15 ribu, meski beberapa laporan resmi kerap menyebut titik terendah masih di kisaran 14.900-an. Terlepas dari mana yang benar, angka tersebut jelas bukan angka yang menggembirakan.
Pemerintah diminta putar otak untuk meredam amukan dolar tersebut. Ekonom terkemuka, Faisal Basri punya sejumlah saran kepada pemerintah. Salah satu yang ia ungkapkan adalah pemerintah harus melakukan imbauan moral kepada para pejabatnya untuk menghentikan ternak dolar mereka.
Menguatnya dolar tersebut seperti tidak tahu waktu. Dolar menggila jelang pesta demokrasi akbar di negeri ini. Jelang tahun politik, terlihat bahwa peternak-peternak dolar tersebut seperti tengah meraup untung. Lantas, keuntungan apa saja yang mereka ambil terutama jika dihubungkan dengan tahun politik tersebut?
Imbauan Moral
Di satu sisi, imbauan untuk melepas ternak dolar ini terlihat seperti hal yang sepele. Beberapa orang cenderung skeptis dan tidak yakin bahwa dengan menjual dolar yang mereka simpan dapat memberi pengaruh pada kondisi ekonomi negeri.
Beberapa pengusaha menyebut bahwa aksi jual dolar tidak akan sepenuhnya efektif menyelamatkan kondisi rupiah. Mereka menganggap bahwa dolar yang mereka miliki digunakan untuk operasional perusahaan terutama untuk eskpor.
Beberapa ekonom memang menyebut bahwa aksi jual dolar ini memang amat terkait dengan dimensi moral, terutama bagi para pejabat. Sebuah hal yang ironis ketika pemerintah tengah berupaya keras agar dolar tak terus menggerogoti ekonomi negeri ini, sementara para petinggi negerinya justru senang beternak dolar.
Para paternak dollar, terutama para pejabat dan politisi, jual dollar-mu.
— Faisal Basri (@FaisalBasri) September 4, 2018
Faisal Basri misalnya mempertanyakan aksi beternak dolar yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang ada di lingkaran Kabinet Kerja. Menurutnya pejabat-pejabat tersebut seperti sedang tidak percaya kepada komitmen pemerintahnya sendiri. Pejabat-pejabat tersebut seperti itu tengah membiarkan upaya penyelamatan ekonomi kepada Bank Indonesia saja.
Imbauan semacam ini pernah keluar di tahun 1998 ketika rupiah tengah dihajar habis-habisan oleh dolar. Kala itu, Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut pernah meluncurkan Gerakan Cinta Rupiah untuk mendorong masyarakat mau melepas dolar mereka.
Di negara lain, ajakan untuk melepas dolar atau mata uang asing kala terjadi depresiasi mata uang nasional juga terjadi. Beberapa waktu yang lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengajak warganya untuk menjual dolar dan euro yang mereka miliki untuk menyelamatkan lira Turki.
Argumen moral dan nasionalisme menurut Per Hammarlund dari Skandinaviska Enskilda Banken (SEB) di Stockholm, cenderung lebih kentara dalam imbauan Erdogan itu. Ia menyebut, meski rencana tersebut bisa bekerja, sangat penting bagi pemerintah untuk memperbaiki fundamental ekonomi terutama dengan mempersempit defisit neraca berjalan (current account deficit).
Terlepas dari fakta bahwa upaya pemerintah memegang peranan lebih besar, imbauan tersebut dapat membuat setiap individu memiliki peran untuk memperbaiki kondisi krisis. Ada unsur partisipasi dalam seruan moral menjual mata uang asing tersebut. Dalam konteks ini, pejabat atau siapa pun tidak lagi mendahulukan kepentingan ekonomi-politik pribadinya ketimbang kepentingan yang lebih luas.
Pejabat Peternak Dolar
Di tengah trengginasnya dolar menyerang rupiah, ternyata ada banyak petinggi-petinggi negeri ini yang kedapatan menyimpan mata uang tersebut dalam jumlah besar. Jumlah yang mereka kuasai pun tidak tanggung-tanggung, ada yang memegang ratusan ribu bahkan hingga jutaan dolar di dalam pundi-pundi pribadi mereka.
Sosok yang menyimpan dolar hingga jutaan misalnya adalah Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Politisi asal PDIP itu tercatat memiliki simpanan setara kas dan giro dalam bentuk dolar sebesar 7,5 juta dolar AS. Angka tersebut didapat dari LHKPN-nya di tahun 2015.
Selain Pramono, ada juga Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Menteri asal Partai Nasdem ini diketahui menyimpan kekayaan berupa dolar dengan total 4,03 juta, merujuk pada laporan kekayaannya ke KPK pada tahun 2017.
Di angka ratusan ribu, ada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Mantan Panglima TNI itu melaporkan kekayaannya di tahun 2013 yang menyebut bahwa ia memiliki simpanan dolar berjumlah 450 ribu. Selain itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga kedapatan memiliki dolar sejumlah 114 ribu.
Tak hanya petinggi-petinggi lingkar kekuasaan pemerintah saja yang memegang dolar dalam jumlah yang signifikan. Capres dan cawapres yang hendak berlaga di Pilpres 2019 nanti juga diketahui memiliki kekayaan setara kas dan giro dalam bentuk mata uang negeri Paman Sam.
Presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) misalnya tercatat memiliki harta dalam bentuk dolar sebesar 30 ribu. Sementara itu, di kubu seberang, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno memiliki simpanan jauh lebih besar, yaitu masing-masing sebesar 7,5 juta dan 30,2 juta.
Sandiaga belakangan diketahui sudah mengajak para konglomerat untuk menjual simpanan dolar mereka. Mantan wakil gubernur DKI Jakarta sendiri mengaku dirinya akan menjual 35 persen aset dolar miliknya.
Di luar orang-orang terkenal itu, boleh jadi ada banyak orang berpengaruh lain yang jumlahnya tidak tercatat di KPK. LHKPN KPK memang diwajibkan hanya untuk pejabat publik saja, sementara pihak-pihak yang berada di dalam sektor swasta seperti pengusaha tidak terekam dalam laporan tersebut.
Boleh jadi, aksi ternak dolar para petinggi negeri ini semata-mata bentuk investasi jangka panjang. Penelitian dari John Y. Campbell, Luis M. Viceira, dan Joshua S. White menggambarkan bahwa memegang mata uang asing lebih menguntungkan bagi investor jangka panjang ketimbang memegang mata uang domestik. Mata uang asing dapat melindungi diri dari risiko di saat mata uang lokal – yang memang rawan – mengalami depresiasi.
Dari segi investasi untuk pribadi, jika merujuk pada pandangan Campbell, Viceira, dan White tersebut langkah pejabat-pejabat ini tergolong rasional. Mereka tentu memiliki kepentingan jangka panjang dalam berbagai bentuk mulai dari ekonomi, pendidikan, dan bahkan mungkin politik.
Aman Buat Pemilu?
Bagi para peternak dolar, menggilanya mata uang tersebut atas rupiah jelas menguntungkan. Orang-orang yang memiliki banyak simpanan dalam bentuk dolar tentu semakin senang jika nilai tukarnya atas rupiah semakin tinggi.
Dalam konteks tertentu, peternak-peternak dolar ini dapat menggunakan simpanan mereka untuk perkara politis. Seperti diketahui, politik masa kini hampir sulit dibayangkan akan berjalan jika tidak dibantu aliran dana.
Ternak dolar sama ternak lele lebih untung yang mana ya? Share on XBerdasarkan kondisi tersebut, taipan-taipan yang menyimpan kekayaannya dalam bentuk mata uang AS tersebut berada dalam kondisi yang diuntungkan. Berkaca pada kondisi dolar yang kini sempat menyentuh angka 15 ribu, kocek mereka tidak akan terkuras begitu banyak jika ingin membiayai kampanye tokoh tertentu.
Tak hanya para taipan, para politisi yang memiliki tabungan dalam bentuk dolar juga akan diuntungkan jika harga dolar tinggi. Mereka tidak perlu merogoh kocek rupiah mereka terlampau dalam karena simpanan dolar bisa mengompensasi simpanan rupiah mereka agar tidak keluar berlebihan.
Di atas kertas, logistik dan berbagai kebutuhan lain untuk Pemilu di tanah air umumnya dihargai dalam bentuk rupiah. Jika taipan atau politisi melakukan belanja untuk logistik dan kebutuhan lain dengan simpanan rupiah mereka, jelas harganya akan sangat mahal. Akan tetapi, bagaimana jika simpanan mereka untuk logistik tersebut berbentuk dolar? Secara logika, dengan nilai tukar yang mendekati 15 ribu, biaya yang akan mereka keluarkan tidak akan sebesar jika dalam bentuk rupiah.
Dengan Pemilu yang kian dekat, publik tentu bertanya-tanya, apakah taipan-taipan dan politisi peternak dolar ini mencoba mencari untung dan kesempatan di balik digdayanya mata uang AS itu? Tentu tidak ada yang tahu pasti. Dugaan mereka sengaja “bermain” dengan nilai dolar juga masih bersifat spekulatif.
Yang jelas, kelompok-kelompok tersebut dapat dikatakan mengincar kondisi tersebut dan sejauh ini dapat dikatakan sudah mendapat untung pribadi dari dolar yang menanjak. Jika motifnya politis, boleh jadi logistik Pemilu kini sudah lebih aman. Mungkin ini saatnya mereka menerima imbauan moral ekonom dan pemerintah serta tak perlu berharap dolar terus naik. (H33)