Nikkei Asian Review menyebut pertarungan di media sosial – terutama Twitter – tidak banyak berdampak pada hasil akhir Pilpres 2019. Pasalnya selain paparan informasi yang diterima publik masih berbasis preferensi, faktanya hampir separuh dari jumlah pengikut kandidat-kandidat yang bertarung adalah akun palsu. Konteks tersebut membuat pembentukan opini yang terjadi di media sosial dianggap tak berjalan maksimal dan tak banyak berdampak pada hasil akhir pemungutan suara. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“A candidate without Twitter is a losing candidate”.
:: Vann R. Newkirk II, jurnalis dan penulis untuk The Atlantic ::
[dropcap]M[/dropcap]ungkin saking kesalnya dengan semakin banyak orang yang dibohongi oleh keberadaan cenayang atau dukun (psychic), John Oliver sampai membuat episode khusus beberapa hari lalu yang membahas hal tersebut. Host acara Last Week Tonight with John Oliver itu menyebut dunia percenayangan – yang biasanya berisi orang-orang yang mendaku bisa berbicara dengan arwah – adalah para penipu.
Menurut Oliver, mereka adalah orang-orang yang mencari untung dengan menggunakan teknik komunikasi untuk menggambarkan hal yang ternyata tidak ada alias palsu (fake).
Tentu saja tulisan ini tidak membahas dunia percenayangan. Namun, konteks hal-hal yang fake itu nyatanya memang sedang menjadi topik yang semakin sering dibahas, terutama jelang Pilpres 2019. Mulai dari fake news atau berita bohong, hingga fake followers atau pengikut palsu di media sosial.
Riuh kampanye politik dan pertarungan pembentukan opini jelang Pilpres 2019, belakangan ini memang memanas, bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga di media sosial. Pertanyaan yang umumnya muncul di benak banyak orang adalah seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh pertarungan di maya itu terhadap hasil akhir Pilpres.
Media sosial – dalam hal ini Twitter – masih punya peranan besar untuk membentuk opini publik. Share on XTwitter merupakan salah satu platform media sosial yang paling ramai membicarakan politik. Konteks Pilpres 2019 pun dengan segala macam sengkarut di dalamnya memang paling banyak dipergunjingkan oleh para pengguna platform yang rata-rata banyak digunakan oleh politisi ini. Tidak jarang perbincangan politik justru awalnya berangkat dari Twitter.
Terkait hal tersebut, Nikkei Asian Review dalam salah satu tulisannya beberapa hari lalu menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh media sosial seperti Facebook dan Twitter masih menjadi pertanyaan besar.
Menurut media yang berpusat di Jepang itu, dampak platform media-media sosial tersebut cenderung dilebih-lebihkan (overstated) dalam konteks Pemilu yang akan berlangsung pada tahun ini di beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia.
Hal ini dapat terjadi karena para kandidat yang bertarung di Pemilu nyatanya mayoritas memiliki pengikut berupa akun-akun palsu atau bot.
Selain itu, sekalipun pengikut yang dipunyai jumlahnya banyak, namun tingkat engagement atau keterlibatan “orang-orang” asli di media sosial tersebut sangat rendah.
Pernyataan tersebut dibuktikan dengan menggunakan tools yang disediakan oleh SparkToro. Diketahui bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) misalnya, memiliki 4,9 juta akun palsu dari total 10,9 juta pengikut yang dimilikinya atau mencapai 45 persen dari keseluruhan pengikutnya di Twitter.
Sementara akun resmi Prabowo Subianto diikuti oleh 1,8 juta akun palsu dari total 3,6 juta pengikut miliknya atau mencapai 49 persen. Sedangkan pasangannya, Sandiaga Uno diikuti oleh 562 ribu akun palsu dari total 1,19 juta keseluruhan pengikut Twitter-nya atau mencapai 46 persen.
Adapun akun Twitter resmi Ma’ruf Amin belum jelas yang mana, sehingga belum bisa dicek – ditambah sang kiai memang tidak begitu aktif di media sosialnya.
Fakta ini tentu mengejutkan, mengingat berbagai isu yang belakangan mencuat menjadi perdebatan politik di tingkat nasional justru tidak sedikit yang bersumber dari pergunjingan di platform media sosial tersebut.
Beberapa waktu lalu misalnya, publik diramaiakan oleh tagar #UninstallBukalapak yang kemudian dibalas dengan #UninstallJokowi, yang keduanya berawal dari jagat Twitter. Jauh sebelumnya pun publik juga dihebohkan dengan tagar #2019GantiPresiden yang juga bermula dari jagat Twitter.
Dengan besarnya dampak gerakan-gerakan yang awalnya muncul dari platform yang didirikan oleh Jack Dorsey dan kawan-kawan pada 2006 lalu itu, tentu pertanyaannya adalah benarkah aktivitas di media sosial ini tidak mempengaruhi hasil akhir Pilpres? Atau kita butuh John Oliver untuk membuat episode khusus tentang ini?
Dunia Palsu di Twitter
Twitter mungkin menjadi platform media sosial paling populer, terutama di dunia politik. Banyak politisi yang memanfaatkan situs microblogging 280 karakter itu sebagai sarana berinteraksi, ataupun membangun diskursus politik tertentu.
Walaupun demikian, perdebatan terkait apakah Twitter punya dampak langsung terhadap hasil akhir kontestasi politik masih menjadi konsen isu yang terus dibicarakan.
Karen Brooks dalam salah satu kolomnya di The Courier-Mail – tabloid di Australia yang terbit sejak 1846 – menyebutkan bahwa peran Twitter dalam politik sangat besar. Ia menyebutkan bahwa Twitter bukan hanya menjadi platform komunikasi dan interaksi sosial, tetapi juga reshaping politics atau membentuk wacana politik.
Hal itu yang membuat platform tersebut banyak digunakan oleh kepala negara atau pejabat publik untuk kepentingan-kepentingan tersebut.
Konteks tersebut semakin terasa jika yang dibicarakaan adalah politik elektoral yang sangat besar terdampak lewat sebaran opini di media sosial. Hal ini sejalan dengan tulisan Vann R. Newkirk II, jurnalis dan penulis untuk The Atlantic, yang menyebutkan bahwa kandidat tanpa akun Twitter adalah kandidat yang akan kalah.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya sejak pertama kali diluncurkan pada 2006 lalu, Twitter telah tumbuh menjadi kekuatan yang telah mendukung pembicaraan di akar rumput, mempengaruhi sifat top-down dari kepemimpinan dan pemikiran politik yang umumnya terjadi di banyak negara, serta telah memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang suaranya lama tidak terdengar di panggung politik.
Barack Obama misalnya adalah salah satu tokoh politik yang cukup awal bergabung di Twitter. Tercatat sejak Maret 2017, presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat (AS) itu telah bergabung dan ngetweet. Saat ini Obama tercatat mempunyai 105 juta pengikut dengan persentase akun fake mencapai 45 persen.
Contoh lainnya adalah Presiden Donald Trump yang menjadi salah satu “bintang” di platform ini. Trump memang menggunakan Twitter untuk segala macam hal, mulai dari kampanye, menyerang lawan politik, berdiplomasi, atau mengumumkan kebijakan politik yang diambilnya. Menariknya, dari sekitar 58 juta pengikut, jumlah pengikut palsunya mencapai 63 persen atau dalam level yang cukup tinggi.
Sementara dalam konteks Indonesia, selain Jokowi yang bergabung di Twitter sejak 2011, ada nama Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang punya pengikut besar di platform ini. Bergabung sejak 2013, SBY memiliki 10 juta pengikut dengan 48 persen di antaranya fake.
Ketua Umum Partai Demokrat ini juga cukup aktif menggunakan media ini untuk menyampaikan keluhan pandangan-pandangan politiknya, yang tidak jarang justru menjadi sumber berita di media-media massa mainstream.
Artinya, Twitter masih punya peranan yang tidak kecil berkaitan dengan pembentukan opini publik. Donald Trump dengan 58 juta pengikutnya adalah bukti bahwa sekalipun platform ini disebut masih banyak berisi bot atau akun palsu, namun faktanya hal ini berkorelasi dengan pencapaiannya pada Pilpres AS 2016 lalu. Bandingkan dengan Hillary Clinton yang kala itu menjadi lawannya, hanya memiliki 24 juta pengikut, atau tidak sampai setengah milik Trump.
Faking Election?
Statista – website penyedia data statistik – menyebutkan bahwa pengguna Twitter di Indonesia hingga saat ini mencapai 22,8 juta. Jumlah ini terpaut jauh dengan total pengguna Instagram yang mencapai 62 juta orang atau Facebook yang mencapai 67,8 juta pengguna.
Lalu, mengapa gerakan-gerakan politik macam #2019GantiPresiden justru berawal dari Twitter dan kemudian punya dampak yang besar?
Jawabannya kembali pada dimensi Twitter sebagai platform media sosial itu sendiri. Penelitian di Australian National University (ANU) menyebutkan bahwa bot di media sosial seperti Twitter berperan besar dalam pembentukan opini publik yang mempengaruhi hasil Pemilu.
Pasalnya, sebaran informasi di Twitter terjadi dengan sangat cepat berdasarkan algoritma tertentu. Persoalannya kemudian adalah ketika apa yang menjadi trending topics di Twitter digunakan sebagai bahan pemberitaan media-media mainstream.
Platform media sosial seperti Twitter memang digunakan untuk melihat tren pembicaraan publik. Namun, pada akhirnya, hal tersebut berubah menjadi gerakan pembentukan opini yang massif.
Tagar #UninstallJokowi misalnya, tidak bisa dianggap sebagai hal sederhana karena mampu mengubah pandangan orang-orang yang sebelumnya melihat tagar #UninstallBukalapak.
Pada akhirnya, media sosial – dalam hal ini Twitter – masih punya peranan besar untuk membentuk opini publik. Apakah hal tersebut berdampak pada hasil akhir Pilpres atau tidak, masih akan menjadi topik perdebatan lanjutan.
Yang jelas, Vann R. Newkirk II menyebutkan bahwa kandidat tanpa akun Twitter akan sulit menang dalam Pemilu. Persoalannya adalah apakah hal itu juga dihitung dari kandidat mana yang jumlah pengikutnya lebih banyak atau tidak. Mari menunggu John Oliver membahas hal ini. (S13)