Site icon PinterPolitik.com

Serangan Panik Ekonomi Indonesia

Depresiasi nilai tukar mata uang terhadap dolar AS tengah melanda banyak negara dan diprediksi akan menggangu perekonomian global. (Ilustrasi: istimewa)

Kecemasan memang tengah melanda para pelaku pasar di Indonesia, seiring terjadinya guncangan ekonomi akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Benar demikian, atau hanya nyinyiran oposisi Jokowi?


PinterPolitik.com

“I believe that the root cause of every financial crisis, the root cause, is flawed government policies.”

:: Henry Paulson, bankir dan mantan CEO Goldman Sachs ::

[dropcap]P[/dropcap]anic attack atau serangan panik memang menjadi salah satu gangguan kesehatan yang tidak mengenakkan – setidaknya menurut mereka-mereka yang pernah mengalaminya. Istilah yang sama dengan judul lagu dari band metal favorit saya – Dream Theater – ini oleh beberapa pihak dianggap tengah melanda ekonomi Indonesia.

Setidaknya, hal itulah yang diungkapkan oleh mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Fuad Bawazier dalam sebuah tulisannya di portal Rakyat Merdeka Online (RMOL). Politisi yang pernah menjabat sebagai Dirjen Pajak ini menyoroti keterangan pers bersama (KPB) yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Bidang (Menko) Perekonomian, Menkeu, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) – yang menurutnya jarang-jarang terjadi – sebagai hal yang mengindikasikan adanya situasi ekonomi serius yang tengah dihadapi Indonesia.

Ekonom yang menjabat Menkeu di akhir kepemimpinan Presiden Soeharto ini menyebut bahwa tidak biasanya KPB semacam ini dilakukan, apalagi melibatkan lembaga-lembaga yang seharusnya independen seperti BI, OJK dan LPS.

Adapun KPB tersebut berisi penegasan dari semua lembaga terkait kondisi ekonomi Indonesia yang dianggap cukup baik dan kuat, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran dari para pelaku pasar. Menurut Bawazier KPB ini menunjukkan bahwa ada situasi ekonomi yang mengharuskan pemerintah – dalam hal ini Menko Perekonomian dan Menkeu – mengambil tindakan yang lebih serius menyusul situasi ekonomi Indonesia beberapa waktu terakhir.

Bawazier juga menyebutkan bahwa faktanya, kondisi ekonomi yang terjadi saat ini telah menimbulkan “kecemasan” di antara para pelaku pasar dan investor. Nilai tukar rupiah yang menyentuh angka di atas Rp 14 ribu per dollar Amerika Serikat (AS), harga minyak yang terus naik, hingga defisit transaksi berjalan pada kuartal pertama 2018 yang telah menyentuh angka tertinggi sejak 2013 lalu, memang menyebabkan kecemasan ekonomi di sana-sini.

CNBC Indonesia bahkan mencatat bahwa defisit transaksi berjalan yang nilainya mencapai US$ 5,5 miliar (Rp 76,3 triliun) diakibatkan oleh anjloknya surplus neraca perdagangan barang yang mencapai 50 persen. Hal ini menyebabkan nilai rupiah bukan hanya melemah terhadap dolar AS saja, tetapi juga terhadap nilai mata uang dari berbagai negara.

Atas kondisi inilah yang menurut Bawazier mulai memunculkan kepanikan di antara para pelaku pasar. Tentu pertanyaannya adalah seberapa buruk kondisi yang terjadi? Akankah situasi panik ini berdampak lebih besar seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998?

Siap-Siap Alami Turbulensi Ekonomi

Sebelum mendalami kondisi ekonomi Indonesia, perlu diketahui bahwa Fuad Bawazier bukanlah orang sembarangan. Belakangan ia memang sering muncul dan mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau Menkeu Sri Mulyani.

Salah satunya ketika ia menyebut kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM saat harga minyak dunia tengah turun pada 2015 lalu sebagai “kesalahan fatal” karena menyebabkan inflasi naik dan daya beli akhirnya turun. Tentu saja kritikan ini punya dasar analisis kebijakan yang tidak serampangan karena secara ekonomi hal tersebut memang punya korelasi.

Mantan menteri yang tidak mundur ketika gelombang pengunduran diri menteri-menteri terjadi di akhir kekuasaan Soeharto ini juga pernah mengkritik kondisi nilai tukar rupiah yang menembus Rp 14 ribu pada 2015 lalu. Ia menyebut Jokowi dan jajaran pembantunya tidak mampu memperkuat fundamental ekonomi Indonesia, sehingga masyarakat tidak perlu berharap banyak terhadap Jokowi.

Dari kritik-kritik tersebut, tentu saja ada subyektivitas dan keberpihakan politik yang disampaikan oleh Bawazier. Pria yang semasa muda terlibat di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini pernah aktif di PAN, bahkan kemudian ikut menjadi salah satu pendiri Partai Hanura.

Terhadap Jokowi, Bawazier memang cenderung beroposisi. Ia mengundurkan diri dari Hanura setelah partai tersebut mendukung Jokowi pada 2014 lalu.

Anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini juga sempat membantah dukungan organisasi tersebut terhadap Jokowi ketika sang Ketua Umum, Jimly Asshiddiqie menyatakan dukungan kepada presiden petahana tersebut.

So, secara politis, mantan pembantu Presiden Soeharto ini berseberangan dengan Jokowi. Namun, apakah hal itu berarti pernyataan Bawazier adalah nyinyiran kosong?

Bukan untuk menakuti-nakuti, sub-judul tulisan ini memang menggambarkan kondisi ekonomi yang sedang terjadi di banyak negara berkembang saat ini. Apa yang disampaikan Bawazier punya warna yang sejurus dengan beberapa tulisan di media-media asing.

Kantor berita Rusia, Sputniknews, beberapa hari lalu mengeluarkan tulisan yang menyebutkan bahwa turbulensi ekonomi yang terjadi di beberapa negara berkembang (emerging market) seperti Argentina, Turki, Hungaria dan Indonesia punya dampak yang cukup besar terhadap arus perdagangan internasional. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa fluktuasi nilai tukar yang terjadi di negara-negara ini – termasuk Indonesia – berpotensi mengulang krisis Asia tahun 1997-1998.

Sementara dalam laporan berjudul Indonesia – Economic Forecast Summary (May 2018) yang diterbitkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), memang disebutkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih kuat bahkan diprediksi akan terus demikian di tahun 2018 dan 2019.

Namun, laporan tersebut juga menggarisbawahi bahwa depresiasi atau pelemahan nilai tukar akan mendatangkan tekanan bagi perekonomian Indonesia. OECD juga menyebut kondisi Indonesia yang akan memasuki tahun politik juga berpotensi melahirkan ketidakpastian di antara pelaku pasar yang boleh jadi berdampak pada ekonomi domestik.

Terkait dampak tahun politik yang disebutkan OECD ini, Bawazier sempat mengingatkan soal krisis dan skandal ekonomi yang terjadi di saat pergantian kepemimpinan, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1998 dan skandal Bank Century di tahun 2008. Menurutnya, hal yang sama berpotensi terjadi di tahun 2019.

Sementara itu, mantan Sekretaris Kabinet (Seskab) yang menjabat di awal kepemimpinan Jokowi, Andi Widjajanto dalam tulisan di South China Morning Post (SCMP) juga menyoroti hal yang serupa. Andi menyebut Indonesia belum bisa berpuas diri dengan kondisi ekonomi yang oleh OECD disebut kuat (robust) tersebut.

Menurut Andi, kondisi depresiasi nilai mata uang yang terjadi di Argentina, Turki dan Brasil beberapa hari terakhir sangat mungkin berdampak kepada kepanikan yang terjadi pada pelaku pasar dan investor di Indonesia. Arus “dollar pulang kampung” akibat menguatnya ekonomi AS, sangat mungkin menyebabkan keguncangan ekonomi yang berpotensi melahirkan kepanikan yang berujung pada masalah yang lebih besar.

Terkait apa yang ditulis Andi ini, Bawazier memang sempat menyebut bahwa pemerintah melihat ada kegelisahan yang membuat mereka harus mengeluarkan KPB untuk menenangkan para pelaku pasar.

Dalam tulisan lain di SCMP, konsultan real estate dan partner di lembaga konsultan Lauressa Advisory, Nicholas Spiro menyebutkan bahwa negara dengan jumlah utang luar negeri yang tinggi tentu saja akan merasakan dampak yang besar dari kondisi penguatan ekonomi AS. Spiro memang menyebut kondisi yang terjadi di Indonesia ini lebih baik dibandingkan Turki, namun tanpa kebijakan yang tepat, kondisi ini juga akan buruk bagi Indonesia.

Sebagai informasi, setiap pelemahan Rp 100 nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, utang Indonesia akan bertambah Rp 10,96 triliun.

Dengan kondisi yang demikian ini, maka pernyataan Fuad Bawazier tentu saja tidak bisa dianggap remeh. Sekalipun punya nada kritik yang sama dengan ekonom lain macam Rizal Ramli, namun ada gambaran besar yang bisa terlihat dari kritikan tersebut terkait situasi ekonomi global. Tapi, apakah benar demikian?

Moral Panic Ekonomi Indonesia

Persoalan kepanikan dalam ekonomi bukanlah hal yang sepele. Kondisi ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 di Indonesia merupakan gambaran kepanikan tersebut. Dalam konteks domestik, rush money atau penarikan dana oleh nasabah dalam jumlah besar yang terjadi pada banyak bank swasta saat itu merupakan gambaran kepanikan.

Sementara dalam konteks internasional, kaburnya banyak investor yang panik dari pasar Indonesia merupakan salah satu penyebab anjloknya rupiah hingga mencapai Rp 16 ribu per dolar AS yang berkontribusi pada chaos dan kejatuhan Soeharto.

Jika demikian, apakah kepanikan ekonomi – yang menyebabkan KPB yang jarang terjadi ini dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga terkait – tengah menjadi jalan masuk kekacauan ekonomi yang lebih besar?

Memang ada perbedaan pandangan yang jelas di antara banyak kubu. Isu ekonomi ini telah menjadi konsumsi politik untuk saling menekan antara oposisi dan pemerintah. Yang jelas, krisis 1998 dengan rush money yang menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan BLBI, merupakan bagian dari kondisi kepanikan ekonomi.

Dalam ilmu sosiologi, ada situasi yang disebut sebagai moral panic yang terjadi ketika ketakutan menyebar di sekelompok masyarakat akibat adanya isu tertentu yang dianggap membahayakan nilai-nilai yang dipercayai di masyarakat. Dalam konteks ekonomi, kecemasan pelaku pasar sangat mungkin menjadi moral panic yang berujung pada kekacauan ekonomi seperti pada tahun 1998.

Maka, KPB merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menenangkan pasar. Namun, tidak ada alasan bagi pemerintahan Jokowi untuk tidak memandang krisis ini sebagai hal yang serius. Kritik tentang kebijakan pengelolaan utang yang keliru dan ambisi pembangunan infrastruktur yang berlebihan harus menjadi input bagi pemerintahan Jokowi.

Kepanikan bisa memperburuk situasi ekonomi yang ada. Hanya kebijakan ekonomi yang tepat yang mampu mengatasinya, karena – seperti kata Henry Paulson di awal tulisan ini – akar dari krisis ekonomi adalah kebijakan pemerintah yang cacat. Jika demikian, seberapa cacat kita? (S13)

Exit mobile version