Site icon PinterPolitik.com

Seni Politik Simbol Masjid RK

Jokowi-Ridwan Kamil: Dua Trendsetter?

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil berpose di Pendopo Kota Bandung, Jawa Barat, pada tahun 2018 silam. (Foto: Beritagar.id)

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) merespons dengan cukup tegas kritik terhadap pembangunan Masjid Al Jabbar yang viral di media sosial. Meski tampak mendapat persepsi negatif, mungkinkah reaksi RK dan substansi pembangunan yang menjadi biang kegaduhan kiranya tak sepenuhnya keliru dalam konteks “politik simbol”?


PinterPolitik.com

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) sedang mendapat sorotan setelah reaksinya terhadap kritik pembangunan Masjid Al Jabbar seakan justru menjadi bumerang terhadap kinerjanya selama ini. 

Berawal dari viralnya masjid tersebut, “keributan” terjadi di Twitter sebelum kemudian “dibawa” RK ke Instagram. Selain karena kemegahannya, sorotan di awal mula berasal dari perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan literally berenang di kolam masjid terapung itu saat musim libur Natal dan Tahun Baru lalu. 

Tak hanya sentilan warganet atas perilaku pengunjung masjid, kritik tajam nyatanya juga melebar dan tersorot pada proyek pembangunan tempat ibadah di Kecamatan Gedebage, Kota Bandung yang memakan dana sekitar Rp1,2 triliun. 

Dari total dana tersebut, diketahui terdapat porsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang secara frontal di-mention langsung ke RK. 

Salah satu yang viral adalah kritik mengenai urgensi penggunaan dana yang dianggap akan lebih bermanfaat jika dialihkan ke perbaikan transportasi massal sesuai janji kampanye RK. 

APBD yang secara “akad” bukan merupakan wakaf (sedekah manfaat) dan berasal dari berbagai kalangan serta latar belakang masyarakat dianggap jauh lebih bermanfaat bagi peruntukan lain yang juga lebih mendesak di Kota Bandung, maupun Jabar. 

Menariknya, RK membawa dan membalas salah satu kritik online itu di akun Instagram pribadinya @ridwankamil dengan mengunggah tangkapan layar cuitan itu. 

Terlepas dari apa maksudnya, respons RK sayangnya tak sedikit dan masih memantik perdebatan hingga kini. Baik dari para warganet penduduk Jabar maupun netizen Indonesia secara umum. 

Jika dipilah, perdebatan itu sendiri jamak dikaitkan dengan penilaian realisasi janji kampanye hingga peluangnya sebagai kandidat yang potensial kontestasi elektoral 2024. 

Selain “kejanggalan” respons, membawanya ke Instagram, hingga perdebatan yang timbul setelahnya, sebuah pertanyaan menarik mengemuka, yakni mengapa RK melakukan hal itu? Mengapa pula reaksi warganet begitu tajam kepada sang Gubernur? 

Politik Simbol Masjid 

Pro-kontra dari respons RK yang terus mengemuka hingga awal pekan ini tak dapat dipungkiri berawal dari sebuah infrastruktur publik berupa tempat peribadatan. 

Dalam dimensi politik dan pemerintahan, objek itu memang kerap kali menjadi instrumen yang dapat bermuara pada reaksi publik, baik dukungan maupun kritik. 

Simbol berupa pembangunan infrastruktur tertentu agaknya juga lumrah dilakukan pemimpin di tingkat kota hingga negara sebagai bagian dari aktualisasi program kerjanya serta sebagai bagian dari “kompromi” politik. 

Sebagai komparasi di level nasional, politik simbol dalam bentuk tempat peribadatan beberapa kali diperagakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Secara makro, Kimly Ngoun dalam publikasinya yang berjudul What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi sempat memuji kemampuan RI-1 dalam memainkan simbol-simbol politik. 

Menurutnya, mantan Wali Kota Solo itu mampu membangun seperangkat simbol yang membedakan dirinya dengan pemimpin-pemimpin lain di Asia Tenggara. 

Sejak awal kemunculannya, Presiden Jokowi dinilai sudah mahir memainkan politik simbol. Misalnya memakai pakaian sehari-hari dan mengendarai mobil biasa untuk bekerja, hingga mengunjungi kelompok masyarakat kelas bawah di Jakarta dan mendengarkan masalah mereka.  

Menurut Ngoun, eks Gubernur DKI Jakarta itu membiarkan tindakan dan simbol politik yang ditampilkannya berbicara lebih keras daripada kata-kata. 

Graeme Gill dalam tulisannya Symbolism and Politics juga pernah menjabarkan signifikansi politik simbol bagi penguasa. 

Untuk dapat berhasil mencapai makna dan tujuannya, Gill mengatakan simbol-simbol yang ada harus dapat beresonansi dengan perspektif masyarakat. 

Bagi penguasa, sebuah simbol wajib selaras dengan dasar intelektual dan emosional masyarakat serta diarahkan untuk mendapatkan dukungan bagi rezim, plus, menjadi elemen kunci bagi proses politik yang berkelanjutan. 

Dalam konteks politik simbol tempat peribadatan, paling tidak tercatat dua konteks yang pernah ditampilkan Presiden Jokowi, yakni saat melakukan renovasi besar Masjid Istiqlal di Jakarta dan pembangunan Masjid Raya Sheikh Zayed Al Nahyan di Solo. 

Pada renovasi Masjid Istiqlal, Presiden Jokowi seolah memainkan politik simbol berupa rekonstruksi memori tentang makna tempat peribadatan yang dibangun pada era Soekarno itu, tak hanya bagi umat Islam tetapi juga merupakan kebanggaan bangsa Indonesia. 

Sementara itu, dalam konteks Masjid Raya Sheikh Zayeh Al Nahyan yang disebut merupakan hadiah dari Pangeran Uni Emirat Arab (UEA) Mohamed bin Zayed (MBZ), Presiden Jokowi yang meresmikan langsung tampak ingin menegaskan relasi kedekatan kedua negara, plus dampaknya bagi Indonesia. 

Jika diamati, apa yang dilakukan RK saat menginisiasi pembangunan Masjid Al Jabbar sebagai simbol anyar tempat peribadatan provinsi Jabar, secara politik mungkin saja mengacu pada apa yang telah dilakukan Presiden Jokowi. 

Pernyataan RK bahwa ada aspirasi dari jutaan masyarakat Jabar sejak tujuh tahun lalu yang menginginkan eksistensi sebuah masjid raya provinsi kiranya menjadi landasan cukup sahih politik simbol yang berusaha ditampilkan RK. 

Jika diamati secara “kompromi politik”, apa yang dilakukan RK dalam inisiasi pembangunan Masjid Al Jabbar tampaknya bukan merupakan sesuatu yang keliru. 

Akan tetapi, aksi-reaksi kemunculan kritik serta tanggapan RK kiranya memang menjadi hal yang patut dicermati dan dianalisis mengingat tren yang ada justru bisa membahayakan karier politik sang Gubernur. Benarkah demikian? 

RK Tak Salah? 

Sekilas, RK tampak terbawa oleh kritik keras yang membandingkannya dengan urgensi pembangunan infrastruktur seperti transportasi massal di Jabar sebagai bentuk “tagihan” janji kampanyenya. 

Namun, bukan substansi perdebatan soal anggaran dan urgensi yang telah dijawab RK dengan baik, melainkan “respons keras” RK terhadap sejumlah kritik yang menyerangnya. 

Tercatat, ada satu respons yang meski telah dihapus menjadi jejak digital yang tak dapat dielakkan, yakni penggunaan tagar yang dalam bahasa Indonesia berarti “kirain pintar” untuk menanggapi salah satu kritik warganet. 

Reaksi bernada tendensius itu kemudian menjadi titik tolak bulan-bulanan warganet untuk mengkritik sosok yang juga kerap disapa Kang Emil. 

Dalam perspektif komunikasi politik, kembali, apa yang ditampilkan RK kiranya bukan merupakan kekeliruan. 

Hsuan-Yu Lin dalam sebuah jurnal yang berjudul Does Politicians’ Negative Social Media Communication Backfire? memaparkan adanya sejumlah hal positif jika seorang politisi “menjadi negatif” dalam perilakunya di media sosial. 

“Menjadi negatif” di media sosial disebut-sebut adalah cara yang efektif bagi politisi elite untuk membuat diri mereka dilihat atau didengar. 

Nada, sebagai bentuk retorika, memengaruhi cara orang memandang atau bereaksi terhadap pesan dari pemimpin politik mereka. 

Laura Jacobs dan Meta van der Linden dalam publikasi berjudul Tone Matters: Effects of Exposure to Positive and Negative Tone mengatakan “nada” adalah komponen penting dalam membingkai dan membentuk sikap publik terhadap isu-isu kebijakan. 

Misalnya, Jacobs dan van der Linden menemukan bahwa nada penyampaian berdampak signifikan pada sikap publik terhadap imigran di Amerika Serikat (AS). 

Di luar dampak nada tersebut pada opini publik, bukti empiris menunjukkan pesan media sosial dengan nada negatif – dibandingkan dengan nada netral atau positif – menjangkau khalayak yang lebih luas. 

Akan tetapi, Lin menyiratkan bahwa sesuatu yang negatif akan tetap negatif dengan menyebut poin positif berupa jangkauan khalayak luas tidak sebanding dengan dampak yang kontraproduktif. 

Meskipun memiliki beberapa manfaat nilai nominal, menurut Lin, “menjadi negatif” dapat menjadi bumerang bagi politisi.  

Komunikasi media sosial yang negatif dari seorang pemimpin atau politisi, secara umum dapat merusak cara individu di seluruh spektrum politik saat mengevaluasi pesan-pesan yang disampaikan. 

Oleh karena itu, dengan proyeksi karier politik RK jelang kontestasi elektoral 2024 peragaan komunikasi yang negatif dalam merespons kritik memang sebaiknya dihindari. 

Terlebih, RK disebut-sebut akan segera bergabung dengan partai politik (parpol) jelang berakhirnya masa jabatannya sebagai Gubernur Jabar pada tahun ini. 

Perilaku warganet di media sosial yang begitu tajam dalam mengkritik serta militan dalam menemukan sekecil apa pun kesalahan seorang politisi tampaknya harus benar-benar diperhatikan oleh RK, termasuk tim media di belakangnya. 

Di titik ini, rekonstruksi citra RK yang tengah terjerembap akibat gaduh Masjid Al Jabbar harus segera dilakukan untuk menghindari kemudaratan politik bagi karier politiknya yang menjanjikan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Exit mobile version