Site icon PinterPolitik.com

Sengkarut Pilkada 2020, Inkonsistensi Jokowi?

Sengkarut Pilkada 2020, Inkonsistensi Jokowi

Presiden Joko Widodo saat menunaikan hak pilihnya di Pemilu 2019 lalu. (Foto: Liputan6.com)

Pelaksanaan Pilkada 2020 yang kian dekat nyatanya justru semakin mendapat reaksi bernada penolakan dari publik dengan berkaca pada dinamika kasus pandemi Covid-19 di Indonesia. Lantas, dengan semakin dekatnya agenda pesta demokrasi, mengapa narasi penolakan semacam itu masih terus eksis?


PinterPolitik.com

Agenda pesta demokrasi Pilpres 2020 telah sukses diselenggarakan di negeri Paman Sam pada November lalu. Ajang pertarungan antara Donald Trump dan Joe Biden itu sendiri mengimpresikan antusiasme tersendiri, ketika partisipasi pemilih disebut merupakan yang tertinggi sejak 1990.

Sementara di belahan bumi lainnya, giliran Indonesia yang akan melangsungkan pesta serupa namun dalam skala yang berbeda, yakni dalam agenda Pilkada serentak 2020.

Sebanyak 270 daerah pada pekan depan akan melangsungkan sebuah agenda demokrasi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Ya, pelaksanaan Pilkada 2020 dipastikan akan terselenggara di tengah pandemi Covid-19 yang telah hampir sepanjang tahun berlangsung.

Kontestasi elektoral edisi kali ini juga menjadi drama tersendiri ketika diliputi pro dan kontra tentang apakah pelaksanaannya harus ditunda atau dilanjutkan. Bahkan, luapan narasi yang cenderung menolak pun masih terus menggema sampai saat ini.

Saat hari-H pemungutan suara tinggal menyisakan beberapa hari lagi, suara penolakan tersebut agaknya justru kian nyaring terdengar. Variabel kekinian seperti kasus Covid-19 yang kembali mencatatkan rekor dan berada di angka lebih dari delapan ribu kasus per hari bisa jadi menjadi salah satu faktornya.

Namun di sisi lain, Pilkada sendiri sebagai bagian dari demokrasi, sesungguhnya tidak serta merta dapat ditunda atau ditangguhkan tanpa kepastian sama sekali. Apalagi ketika berbicara mengenai urgensi potensi instabilitas politik yang dapat terjadi, sebagai bagian dari efek samping yang mungkin tak terbayangkan apabila Pilkada urung terlaksana.

Lantas dengan urgensi Pilkada yang tampak cukup esensial itu, apakah sesungguhnya yang menjadi penyebab dari masih jamaknya narasi-narasi penolakan terhadap Pilkada 2020? Apakah narasi penolakan yang ada merupakan imbas dari eksisnya sebuah kepentingan politik tertentu?

Kembali Kuak Inkonsistensi Jokowi?

Dalam merefleksikan secara komprehensif kecenderungan sejumlah resistensi yang terjadi di masyarakat terhadap Pilkada 2020, paling tidak terlihat dari bagaimana kinerja pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penanganan pandemi.

Rangkaian kampanye, jaminan keselamatan bagi para petugas pemungutan suara, hingga teknis pencoblosan, tampaknya menjadi tiga kekhawatiran utama mereka yang tak sepakat Pilkada tetap berlangsung di tengah pandemi yang belum terkendali.

Hulu dari resistensi publik tampaknya bermula saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan keputusan final bahwa Pilkada 2020 tetap dilangsungkan. Melalui Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2020, plus rapat koordinasi pada September lalu, kepala negara memutuskan untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020 pada 9 Desember.

Sayang dalam perjalanannya, keputusan diambil dan dilaksanakan dengan tidak dibarengi konsistensi dalam penegakan seperangkat aturan selama pandemi yang digaungkan sendiri oleh pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi.

Noto Suoneto dalam Indonesia and the COVID-19 Pandemic: Challenges for President Jokowi’s Political Leadership menyebut karakteristik inkonsistensi penerapan kebijakan dan penegakan aturan dari Presiden Jokowi merupakan salah satu celah minor dari pemerintah Indonesia sepanjang pandemi Covid-19 berlangsung.

Di samping sejumlah kebijakan dan langkah politik seperti minimnya penegakan aturan protokol kesehatan (prokes) sehari-hari di akar rumput, sejumlah pelanggaran prokes yang terjadi selama rangkaian Pilkada, utamanya ketika kampanye, seolah lewat begitu saja tanpa ada sanksi yang keras.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, jumlah pelanggar prokes dalam penyelenggaraan kampanye Pilkada 2020 menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Namun, “hukumannya” dinilai sangat ringan dengan hanya diberikan sepucuk surat peringatan.

Sanksi ringan tersebut agaknya berbeda dengan penanganan dan penegakan hukum ketika berkaca pada kasus kerumunan lain, misalnya pada kerumunan massa Habib Rizieq Shihab (HRS). Kasus Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut bahkan menimbulkan gejolak politik dan berbagai drama di media massa.

Sengkarut yang terjadi di tahap kampanye juga membuat presumsi kurang positif mengiringi pelaksanaan teknis Pilkada pada 9 Desember mendatang. Yang terbaru, publik tampak makin skeptis ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyosialisasikan jemput bola suara pasien Covid-19 dalam Pilkada.

Meskipun tujuannya untuk menjamin hak pemilih tanpa kecuali, residu inkonsistensi kebijakan pemerintah agaknya juga membuat preseden minor justru muncul. Selain dari epidemiolog yang cenderung menilai “absurdnya” langkah itu, kesan memaksa orang yang sedang sakit untuk kepentingan yang tak relevan tampaknya turut pula mengemuka.

Secara umum, alih-alih menghadirkan kepercayaan pasca dipastikannya agenda Pilkada 2020, sejumlah pelanggaran prokes yang kasat mata seolah dibiarkan tanpa penegakan dan kepastian hukum yang memadai. Akibatnya, ketidakpercayaan publik meluas ke berbagai ranah kebijakan maupun agenda pemerintah, termasuk Pilkada 2020.

Publik Indonesia sendiri disebut Noto sangat kritis terhadap sepak terjang penanganan pandemi oleh pemerintah. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa 67,7% percakapan di jagat media sosial tanah air mencerminkan secara negatif kebijakan pemerintah tentang mitigasi Covid-19.

Karenanya, tak mengherankan jika resistensi dan sikap skeptis terhadap Pilkada 2020 masih terus bermunculan meskipun tak sampai sepekan lagi akan berlangsung.

Walau diliputi preseden yang kurang positif dari pemerintah sehingga menimbulkan resistensi dari sejumlah pihak, pelaksanaan Pilkada 2020 sesungguhnya tetap menjadi agenda yang sangat penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia yang kiranya memang tak bisa ditangguhkan atau ditunda. Mengapa demikian?

Hindari Chaos Politik

Meskipun terkesan abstrak, stabilitas politik nyatanya tetap menjadi ihwal yang vital di negara demokrasi. Sebuah stabilitas yang dapat berpengaruh pada tata kelola pemerintahan, yang mana korelasinya berdampak langsung pada hajat dan kepentingan masyarakat luas.

Dan pemilu menjadi salah satu instrumen penting dalam menjaga keseimbangan dan stabilitas yang ada dalam ekosistem politik tersebut.

Dalam publikasi terbarunya, Ten Lessons for a Post-Pandemic World, Fareed Zakaria melihat ke depan tentang bagaimana pandemi Covid-19 secara fundamental mengubah cara kita berhadapan dengan pekerjaan, teknologi, politik, dan pemerintah.

Zakaria mengatakan bahwa dibandingkan berhenti dan terjebak di tengah ketidakpastian, progresivitas akan bergantung pada tindakan yang kita lakukan sekarang, dalam berimprovisasi maupun membuat keputusan.

Konteks yang Zakaria sampaikan agaknya juga relevan untuk menjelaskan urgensi pelaksanaan dan partisipasi di Pilkada 2020. Dengan pandemi yang masih diliputi ketidakpastian kapan akan berakhir, Pilkada 2020 agaknya dapat menjadi ajang improvisasi bagi tetap berjalannya progresivitas demokrasi.

Signifikansinya tentu kembali dari esensi pemilu dalam ekosistem demokrasi, di antaranya demi menjaga kesinambungan demokrasi, keberlanjutan visi pembangunan daerah, hingga regenerasi politik.

Hal ini dikarenakan, hampir tak mungkin seandainya Pilkada kemudian ditunda dan pelaksana tugas kepala daerah memimpin dalam waktu yang tak dapat dipastikan di tengah situasi pandemi itu sendiri.

Opsi menunda Pilkada hingga waktu yang tentatif dinilai berpotensi menimbulkan konflik dalam tata kelola pemerintahan yang justru dapat bermuara pada kemudaratan dalam konteks penanganan pandemi.

Apalagi terdapat 270 daerah yang saat ini dapat dipastikan kesemuanya membutuhkan pemimpin yang dapat memberikan keputusan strategis dalam rangka bersinergi menangani pandemi Covid-19 beserta dampak turunannya.

Selain itu, ajang Pilkada 2020 juga dapat menjadi refleksi dan pembelajaran tersendiri dari kontestasi elektoral lainnya di masa mendatang, yang bisa saja masih akan berlangsung di tengah pandemi maupun tantangan lainnya.

Bagaimanapun, ketika berkaca pada sejumlah pemilu di tengah pandemi yang telah sukses diselenggarakan di sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Jepang, hingga AS, kembali lagi, kuncinya adalah konsistensi dari para pemangku dan pelaksana kebijakan.

Dalam How Countries Are Holding Elections During the COVID-19 Pandemic, Lindsay Maizland menjelaskan bahwa kesuksesan itu berangkat dari implementasi dan konsistensi penerapan prokes yang ketat demi tingkat kepercayaan, antusiasme, dan partisipasi yang konstruktif dari masyarakat.

Studi yang dikutip oleh Mizland dalam tulisannya itu juga menunjukkan bahwa kombinasi penerapan prokes yang baik serta ditunjang dengan konsistensi pemerintah dalam aspek lainnya, membuat ajang pemilu tetap dapat terlaksana dengan baik tanpa memperburuk kasus Covid-19 di wilayah atau negara yang melaksanakan pesta demokrasi itu.

Pada konteks Pilkada 2020, tinggal bagaimana pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dapat memastikan penyelenggara kontestasi elektoral pekan depan dapat berjalan tanpa menyebabkan ekses negatif di kemudian hari.

Persoalan di depan mata seperti masih dipertanyakannya atribut keselamatan bagi para petugas pemungutan suara, hingga perdebatan urgensi suara pasien Covid-19 harus sesegera mungkin dapat dijawab dengan solusi yang cepat, konkret, dan dapat diterima publik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version