Site icon PinterPolitik.com

Senggol Cendana, Jokowi Tiru Libya?

Senggol Cendana, Jokowi Tiru Libya

Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika berpidato di Sidang Tahunan MPR. (Foto: Istimewa)

Perpres yang disahkan Jokowi terkait pengelolaan TMII mendapatkan perhatian publik. Pasalnya Perpres ini mencabut hak Yayasan milik keluarga Cendana yang sudah mengelola TMII selama 44 tahun. Apakah ini bagian dari misi besar Jokowi soal aset negara atau soal Cendana?


PinterPolitik.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 soal pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah. Perpres ini memberi wewenang pada Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) untuk mengelola TMII. Perpres ini merevisi Keppres Nomor 51 Tahun 1977 tentang TMII yang memberikan hak kepada Yayasan Harapan Kita untuk mengelolanya.

Ambil alih TMII ini dianggap wajar karena TMII dianggap sebagai aset negara. Perpres ini didasarkan pada masukan Temuan dari BPK di bulan Januari 2021 untuk laporan hasil pemeriksaan 2020 yang merekomendasikan harus ada pengelolaan yang lebih dari Setneg untuk aset yang dikuasai negara tersebut.

Politisi partai pendukung dan oposisi pemerintah pun mendukung atas nama aset negara. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDIP Junimart Girsang menganggap aset negara memang harus dikelola dengan baik dan hasilnya pun sebaiknya masuk kas negara yang menurutnya selama ini Yayasan tidak menyetor pajak. Sementara, Anggota Komisi II Fraksi PKS Mardani Ali Sera juga mendukung ambil alih ini dan mengharapkan ini tidak memberi dampak buruk pada pengelolaan TMII selanjutnya dan bukan untuk sepenuhnya diserahkan swasta apalagi untuk menutup hutang negara.

Baca Juga: Muchdi ke Jokowi, Cendana Bagaimana?

Namun, ambil alih ini dianggap mengganggu big brothers negeri ini. Pasalnya, TMII ini adalah kesayangan Ibu Tien Soeharto yang sampai Soeharto mewujudkan pembangunannya dan berseloroh akan melawan siapapun penentangnya karena menimbulkan gelombang protes di masa Orde Baru. Bahkan, kini Yayasan Harapan Kita yang sudah mengelola TMII selama 44 tahun dikuasai oleh keluarga Soeharto yaitu Soehardjo, Bambang Trihatmodjo, dan Rusmono, serta Siti Hardiyanti Indra Rukman sebagai Ketua Umum Yayasan.

Bila upaya ambil alih ini bisa “mengganggu” kepentingan kelompok tertentu, mengapa Jokowi meneken Perpres tersebut? Lantas, strategi apa yang sedang dilancarkan Jokowi dengan mengganggu kepentingan big brothers Cendana?

Strategi Sun Tzu ala Jokowi?

Keluarga Cendana boleh dibilang sering bermain api dengan pemerintahan Jokowi. Pada Agustus 2018, Titik Soeharto yang menjadi politikus Partai Berkarya menyatakan partainya telah menentukan untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Bahkan, Titik Soeharto mendampingi pendaftaran capres dan cawapres Prabowo-Sandi. Keputusan ini dibuat karena dirinya merasa Partai Berkarya punya visi dan misi yang sama untuk menata kembali Indonesia yang menurutnya carut marut.

Pasca Pilpres, Titiek masih berkilah. Pada Juni 2019, misalnya, Titiek mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi (MK) jelang pengumuman sengketa Pilpres 2019. Kehadiran Titiek membuat peserta demonstran berlomba berfoto dengannya dan kehadiran ini pernah diamplifikasi menjadi hoaks pada demonstrasi lain dengan tuduhan demonstrasi sebagai rekayasa Cendana.

Titiek juga “menasihati” Jokowi supaya dia berkaca pada demonstrasi 1998 yang berhasil menurunkan ayahnya dari tampuk Kepemimpinan. Bahkan, putri dari presiden kedua RI tersebut meminta agar pemerintah tidak merepresi mahasiswa dan demonstran.

Alhasil, inilah mungkin sebabnya mengapa Jokowi bisa saja menggunakan taktik Sun Tzu. Mark R. McNeilly dalam bukunya yang berjudul Sun Tzu and the Art of Modern Warfare, Sun Tzu memiliki prinsip “to avoid strength and strike weakness” dalam arti menyerang titik lemah dari musuh. Ini terlihat misalnya pada saat Soviet menyerang Nazi bukan dengan langsung menyerangnya, melainkan menyerang aliansi-aliansi Jerman yang lebih lemah seperti Hongaria, Romania, dan Italia.

Meskipun nama Titiek mentereng, faktanya Partai Berkarya tidak dan ini menjadi sasaran empuk Jokowi. Pada Juli 2020, Keputusan Kemenkumham mengesahkan kepengurusan DPP Partai Berkarya periode 2020-2025 yang dipimpin Muchdi Purwopranjono. Ini membuat Tomy Soeharto sangat geram karena bagi dirinya dialah pemimpin sah Partai Berkarya.

Keputusan ini menggunakan Istilah Ellen Lust-Okar sebagai manipulation of political opposition. Dalamartikel Divided They Rule, Lust-Okar menggambarkan Istilah ini sebagai strategi mengatur oposisi dengan mengontrol aktivitas politiknya oleh Istana dan meminimalkan perannya. Cara mengontrol tersebut berupa pemerintah menciptakan insentif bagi oposisi untuk menahan diri dari mempromosikan konflik yang dapat dieksploitasi oleh lawan-lawannya untuk memobilisasi protes guna mendapatkan reformasi politik.

Keputusan Kemenkumham yang menangkan Muchdi mirip dengan yang terjadi di Maroko yang dibahas Lust-Okar. Jika di Maroko oposisi mendapatkan jabatan di kerajaan dan ruang untuk menampung suara oposisi karena telah membuka diri untuk beraliansi dan mendukung raja. Dalam kasus Muchdi, keputusan Kemenkumham menjadi insentif atas pernyataan berani yang berlawan dengan partainya bahwa Partai Berkarya mendukung Jokowi–Maruf Amin pada Pilpres 2019. Bahkan Muchdi menjadi aktor penting dalam Gerakan Presidium Penyelamat Partai Berkarya yang menggoyahkan Tomy dan Titiek. 

Baca Juga: Demokrasi dan Kontra Narasi Cendana

Bukan cuma Titiek, Tommy Soeharto juga harus menelan pil pahit karena hartanya “diratakan” dengan tanah. Pada Januari 2021, pembangunan Jalan Tol Depok-Antasari yang berada di Cilandak, Jakarta Selatan membuat bangunan kantor miliknya harus digusur. Sejumlah media nasional menelusuri bangunan tersebut dan ternyata bangunan tersebut adalah kantor DPP Partai Berkarya. 

Keluarga Cendana bukan hanya “disikat” dalam urusan politik, tapi urusan masa lalu. Pada Oktober 2017, MA menolak perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar. Ini membuat Yayasan Supersemar harus membayar Rp. 139 miliar. Bahkan, pemerintah meminta eksekusi tanah dan Gedung Granadi yang termasuk aset Yayasan Supersemar.

Kasus ini adalah kasus panjang di mana negara sudah memburunya sejak awal reformasi. Kasus ini bermula ditemukannya penyelewengan uang negara yang harusnya untuk membiayai program kebijakan negara tetapi digunakan untuk mendanai bisnis keluarga Cendana. Ironisnya, uang negara tersebut disebut merupakan hasil dari laba bank negara.

Masa lalu masih menghantui keluarga Cendana. Sejak awal 2020, Dirjen Imigrasi pernah mencekal Bambang Trihatmodjo yang menjadi ketua Yayasan Harapan Kita yang mengelola TMII, untuk bepergian ke luar negeri.

Pencekalan ini didasarkan pada rekomendasi Sri Mulyani karena Bambang sebagai Ketua Konsorsium Mitra Penyelenggara Sea Games XIX Tahun 1997 masih memiliki kewajiban yang belum diselesaikan ke negara. Di zaman Soeharto, pemerintah memberikan pinjaman Rp 35 miliar kepada konsorsium penyelenggara SEA Games XIX yang berlangsung pada 1997. Padahal, dibanding saudara-saudaranya, Bambang Trihatmodjo adalah murni pebisnis dan tak pernah sedikitpun mengusik Jokowi.

Dari berbagai contoh di atas, dapat dilihat bahwa motif Jokowi mengejar keluarga Cendana boleh dibilang bukan soal politik belaka. Jokowi tampaknya punya motif lebih besar dalam perburuan ini yaitu dirinya ingin jadi pahlawan utama dalam menyelesaikan masalah yang sudah ada sejak awal reformasi. Namun, benarkah perburuan ini berjalan mulus?

Tiru Libya?

Jokowi sekilas tampaknya sukses untuk membuat keluarga Cendana kehabisan akal. Namun, jika ditelaah lebih lanjut apa yang dihadapi oleh pemerintah mengingatkan pada bagaimana pemerintah Libya kesulitan untuk mendeteksi harta kekayaan Muammar Khadafi.

Seperti Jokowi, pemerintah Libya sebenarnya sudah melakukan sejumlah cara untuk melacak kekayaan Khadafi. Misalnya pada Juni 2013, Kementerian Keuangan dan Keadilan Libya pernah menyurati pemerintah Afrika Selatan untuk melacak kekayaannya. Kekayaan tersebut mencapai 1 miliar dolar AS atau senilai Rp 9,8 triliun.

Mark Hossenball dalam artikelnya Gaddafi asset hunters face legal mazes mengidentifikasi faktor yang membuat perburuan aset sulit. Salah satu tantangannya adalah urusan transnasional dan sistem bank. Ini terkait sejumlah tokoh menyimpan aset di bank luar negeri untuk menghindari pajak.

Baca Juga: Menanti “Bidak” Baru Keluarga Cendana

Saat akan diklaim, aset tersebut terganjal tidak adanya peraturan yang menaungi tata cara pemindahan aset tersebut. Bahkan dalam kasus Khadafi saat masih ada, negara yang menjadi tempat menyimpan aset dapat sepihak membekukan uang tersebut seperti yang dilakukan Amerika Serikat pada aset Khadafi yang digunakan untuk dana kemanusiaan.

Harta WNI memang ada yang disimpan di luar negeri. Misalnya, berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), harta yang dideklarasikan oleh WNI di luar negeri dari tahun 2016-2017 paling tinggi berada di Singapura yaitu Rp 741,6 triliun. Jumlah ini sepuluh kali lipat dibanding aset WNI di Cayman Island (Rp 75,4 triliun) dan lima belas kali lipat lebih kecil dibanding di Hongkong (Rp 56,9 triliun).

Sayangnya, kerja sama bilateral dengan Singapura soal sharing data untuk melacak aset masih harus menghadapi sejumlah syarat. Pertama, Indonesia harus mau membuka data warga Singapura yang memiliki aset di Indonesia beserta rekam jejak pajaknya yang ditaksir lebih dari Rp 1.000 triliun. Kedua, Indonesia juga mesti memiliki aturan domestik terkait AEOI yang memenuhi standar internasional.

Sayangnya, aturan domestik soal ini tampaknya masih sulit disahkan. RUU perampasan aset tidak masuk prolegnas pada 2019. RUU ini sudah 9 tahun terkatung-katung tanpa kejelasan dibahas dan naskah akademisnya sudah masuk sejak 2012. Padahal RUU ini termasuk janji Bapak Presiden pada Nawacita 2014-2019 dan kemudian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.

Lalu mengapa perburuan aset penting? Ini terkait dengan apa yang disebut Robert J. Shiller sebagai pengetatan ikat pinggang (belt-tightening). Dalam tulisannya yang berjudul How National Belt-Tightening Goes Awry, pengetatan semacam ini terjadi ketika belanja negara melebihi pendapatan negara. Untuk mengatasi ini, negara mencoba memotong berbagai belanja yang dianggap pemborosan, lebih banyak menabung dan investasi, dan mencicil hutang.

Pada tahun 2017 saat perburuan Supersemar berlangsung, kondisi anggaran pemerintah boleh dibilang sedang paceklik. Pertama, pendapatan negara turun dari Rp 1.750,2 triliun menjadi Rp 1.736 triliun. Kedua, kenaikan belanja negara menjadi Rp 2.133,2 triliun. Sementara dalam APBN 2017, belanja dipatok Rp 2.080,4 triliun.

Ketiga, soal penerimaan pajak tumbuh 4,3% dibanding tahun 2016 namun dengan catatan realisasi pajak non-migas masih hanya mencapai 88,4 persen dari target APBNP 2017 Rp1.241,8 triliun. Namun, presentase tersebut boleh dibilang kecil karena tidak dihitung dari penerimaan pajak yang berasal dari pengampunan pajak (tax amnesty). Selain amnesti pajak, negara juga mulai menggulirkan wacana lain seperti program wakaf nasional dan zakat untuk ASN.

Bukan hanya paceklik, negara juga tampaknya sudah bingung mencari cara selain pengampunan pajak (tax amnesty) untuk mendapatkan pemasukan. Lantas, apakah perburuan harta big brother ini secara signifikan menambah pemasukan negara? Menarik untuk terus diamati ke depannya. (F65)

Baca Juga: Berani Jokowi Senggol Keluarga Cendana?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version