Meletusnya Semeru menjadi bagian dari rentetan bencana alam yang melanda berbagai wilayah di Indonesia. Jamak diketahui, partai dan elite politik melakukan kunjungan ke berbagai lokasi guna menyalurkan bantuan. Apakah ini menjadi momentum politik jelang 2024?
Empat Desember di Sabtu sore, Gunung Semeru yang berada di wilayah Provinsi Jawa Timur mengalami guguran awan panas. Material vulkanik yang terpantau pada pukul 15.20 WIB ini mengarah ke Lumajang.
Semeru memiliki catatan panjang sejarah erupsi yang terekam pada 1818. Menurut data yang diberikan oleh BNPB, catatan letusan yang terekam pada 1818 hingga 1913 tidak banyak informasi yang terdokumentasikan.
Kemudian pada 1941-1942 terekam aktivitas vulkanik dengan durasi panjang. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebutkan leleran lava terjadi pada periode 21 September 1941 hingga Februari 1942.
Bencana demi bencana masih melanda Indonesia. Meminjam istilah Azumardi Azra dalam tulisannya Bencana dan Politik, julukan Indonesia sebagai ring of fire (cincin api) mungkin tidak memadai lagi, julukan Tanah Air kita harus diganti jadi ring of disasters (lingkaran bencana).
Bencana-bencana itu sekilas memiliki pola yang hampir mirip, yakni disebabkan oleh kondisi lingkungan. Lebih jauh lagi, ada kesan kuat lingkungan yang terjadi berhubungan dengan keadaan alami dari lingkungan itu, meski ada pula yang melihat adanya penyebab tangan manusia yang merusak lingkungan.
Sejumlah analis bahkan menyebut permasalahan laten ini terjadi bukan hanya karena faktor lingkungan semata, melainkan juga hasil dari kesalahan mitigasi bencana yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Kita memerlukan cara pandang lain dalam melihat bencana terutama yang terkait dengan dimensi politik. Lantas, bagaimana implikasi politik dapat membantu memberikan penjelasan alternatif tentang bencana?
Pisau Bermata Dua
Bencana alam juga berhubungan dengan politik. Gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatra Utara merupakan salah satu dari bencana alam yang memakan korban sangat banyak dalam sejarah Nusantara. Di antara musibah besar lainnya adalah letusan Gunung Krakatau (1883) dan Tambora (1815).
Pengaruh politik dalam bencana dapat ditafsirkan sebagai bencana demokrasi pada satu sisi, tapi pada sisi lain juga menjadi lahan bagi para tokoh dan partai politik untuk mengambiil kesempatan di tengah bencana untuk mendompleng popularitas.
Terkait bencana alam, sebuah tulisan dari Alejandro Quiroz Flores yang berjudul Indonesia’s Disaster Politics, memberikan ulasan yang sangat menarik. Menurut Flores, bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan lain sebagainya tidak hanya memberikan kerusakan fisik ataupun ekonomi, namun juga dapat merusak institusi demokrasi – alias dapat memberikan kerusakan secara politik.
Menurut Flores, suatu bencana alam yang tentunya dapat memberikan daya rusak yang besar, apabila tidak dapat ditanggulangi dengan baik oleh pemerintah terkait, maka akan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Imbasnya, ini dapat menjadi preseden buruk seperti mendiskreditkan institusi demokrasi.
Pasalnya, menurut Flores, dalam negara demokrasi, seorang pemimpin akan dapat menjaga kekuasaannya apabila dapat menjaga kepercayaan dari masyarakat. Pada konteks ini, bencana bisa menjadi musibah politik bagi para pejabat publik di sekitar bencana.
Hal berbeda akan terlihat pada penjelasan David R. Weise, Tom Pyszczynski dan kawan-kawan dalam tulisan mereka yang berjudul The Role of Terror Management and Attachment Processes in Shaping Political Preferences menemukan bahwa secara psikologis ancaman kematian dapat menentukan preferensi dan orientasi politik seseorang.
Hal tersebut memungkinkan politisi, pemangku kebijakan, hingga pemimpin dapat menggunakan taktik persuasif dengan memaksimalkan pemaknaan psikologis, termasuk ketakutan maupun ancaman akan kematian, untuk meraih dukungan publik dan kepentingannya.
Layaknya pisau bermata dua, konteks dari penjelasan Weise memperlihatkan kepada kita, bahwa para elite politik bisa menggunakan bencana untuk mendompleng popularitas. Mungkin ada yang berpikir ini sah sah saja, alasannya karena berangkat dari pemikiran bahwa politik dapat menggunakan apa saja untuk menjadi sebuah alat atau komoditas politik.
Scott London dalam How the Media Frames Political Issues menyebut framing effect dari media berperan besar dalam terbentuknya berbagai interpretasi dan agenda politik yang terjadi. Media juga dikatakan mendorong reasoning atau penalaran atas berbagai pemberitaan yang beredar, baik berdampak positif maupun negatif terhadap persepsi publik.
Indikasi adanya peran media tersebut kiranya juga dapat dijadikan penjelasan terkait mengapa pemberitaan dapat menjadi katalisator untuk para elite dapat meraih atensi publik dalam sebuah bencana. Aktor atau elite politik yang lihai pasti menggunakan kekuatan media untuk membangun persepsi yang baik untuknya.
Well, muncul pertanyaan apakah yang dilakukan oleh aktor politik itu wajar, bagaimana jika dibandingkan dengan politik bencana di Amerika Serikat?
Melihat Paman Sam
Indonesia beruntung karena solidaritas masyarakat masih kuat untuk meringankan beban warga. Banyak warga spontan turun tangan membantu. Selain itu, organisasi dan kelompok filantropi yang bergerak dalam penyantunan korban bencana juga terlihat cepat bergerak memberikan berbagai bentuk kontribusi sumbangan. Kelas menengah yang terus bertumbuh menjadi tulang punggung (backbone) filantropi Indonesia memungkinkan mereka bergerak lebih aktif dan lebih cepat.
Bencana demi bencana di Tanah Air juga mengundang parpol atau elite politik ”turun tangan”. Gejala ini tidak unik di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat (AS). David G Twigg dalam The Politics of Disaster: Tracking the Impact of Hurricane Andrew, menyimpulkan, bencana alam sejak dari gempa sampai tornado dapat meninggalkan bekas tidak terhapuskan dalam karier politik seseorang.
Presiden AS George W. Bush adalah salah satu pemimpin yang dinilai berhasil menggunakan strategi tersebut. Hal ini terlihat dari cara Bush dalam mengakomodasi kekhawatiran dan ancaman terhadap keselamatan jiwa rakyat negeri Paman Sam pasca teror 11 September 2001. Langkah ini bahkan dinilai berhasil menarik simpati dan dukungan publik yang turut berkontribusi pada terpilih kembali dirinya pada Pilpres AS 2004.
Tak hanya Bush, penerusnya, Barack Obama pun disebut memanfaatkan situasi darurat seperti bencana untuk mendulang dukungan politik. Menariknya, Obama disebut memanfaatkan kesalahan pemerintahan Bush dalam penanganan Badai Katrina.
Tom McCarthy dalam tulisannya di The Guardian membahas bagaimana Obama menggunakan peringatan 10 tahun bencana Badai Katrina di New Orleans untuk mendapatkan momentum politik. Dalam pidatonya, Obama menyebut kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya kala itu telah membuat Badai Katrina yang merupakan bencana alam menjadi bencana buatan manusia.
Saat Badai Katrina terjadi pada 2005 lalu, memang sempat bocor percakapan dari Gedung Putih yang menyatakan tak perlu ada upaya evakuasi besar-besaran di New Orleans – daerah paling terdampak – karena populasi Afrika-Amerika alias kulit hitam terbanyak berada di sana. Beredarnya rekaman ini pun langsung memantik kemarahan publik AS.
Buruknya mitigasi pemerintahan Bush dalam bencana Katrina merupakan titik awal dari kejatuhannya. Isu ini pun kerap jadi andalan Obama untuk mengkritik Partai Republik dan mendulang dukungan, dari sejak Ia belum menjabat sebagai Presiden bahkan hingga akhirnya berhasil menduduki Gedung Putih.
Kecepatan figur politik dalam menangani korban bencana dapat memberikan manfaat baginya sebab dengan begitu ia telah melakukan ”kampanye tanpa kampanye”. Keterlibatan elite politik dan parpol di Tanah Air mewujud dalam pemberian bantuan berbarengan dengan pemasangan bendera parpol masing-masing di wilayah terlanda dan terdampak bencana. Keadaan ini kadang-kadang mengesankan adanya ”perang bendera” di antara parpol berbeda. (I76)