Dengarkan artikel berikut
Perang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian?
Tahun 2024 tampaknya tidak akan menjadi tahun yang diisi dengan perdamaian. Alih-alih berdamai, kini kita malah disuguhkan oleh semakin banyaknya perang dengan bertambahnya pertempuran antara Iran dan Israel.
Ya, sejak tanggal 14 April silam, Iran, negara yang dipimpin oleh seorang Pemimpin Agung bernama Ali Khamenei itu, resmi menerjunkan dirinya ke tengah pusaran panas konflik geopolitik global. Dan bersamaan dengan perang-perang besar lain yang masih berlanjut, seperti Perang Rusia-Ukraina, perang antara Iran dan Israel juga diprediksi sejumlah pengamat akan beri dampak besar bagi stabilitas ekonomi dan politik dunia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 April 2024 sudah menyuarakan bahwa Perang Iran-Israel berpotensi berdampak kepada persoalan ekonomi seperti naiknya harga minyak bumi dan pemburukkan nilai tukar rupiah. Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo.
Hal ini menjadi sebuah kekhawatiran yang lebih besar mengingat publik pun mulai sadar bahwa nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika belakangan mengalami pelemahan yang cukup signifikan, yakni Rp16.184/US$ per 18 April 2024.
Maka dari itu, kita perlu pertanyakan lebih dalam, dampak seperti apa yang akan melanda perekonomian Indonesia dengan adanya perang Iran-Israel ini?
Berawal dari Minyak dan Ketidakpastian
Bagi orang yang kritis, mungkin muncul pertanyaan, yakni mengapa perang Iran-Israel akan berdampak buruk bagi Indonesia? Bukankah Iran dan Israel tidak termasuk mitra dagang besar bagi Indonesia?
Well, di sinilah hal menariknya. Pertama, minyak bumi akan jadi antagonis pertama.
Kendati Iran bukan merupakan negara target impor minyak bumi terbesar bagi Indonesia, kita tidak boleh lupakan bahwa Iran tetaplah pemain yang penting di Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC). Di antara negara-negara eksportir minyak bumi terbesar dunia tersebut, Iran bahkan menempati posisi ketiga sebagai produsen besar minyak bumi, di bawah Arab Saudi dan Irak.
Masalahnya, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat secara keseluruhan sudah mulai siapkan langkah meng-embargo ekspor minyak bumi dari Iran. Hal ini diprediksi akan berdampak juga kepada negara-negara OPEC, di mana organisasi tersebut diprediksi akan “ditekan” untuk turut memberi hukuman yang sama bagi Iran.
Sementara, secara rasional OPEC bisa diprediksi akan menolak tekanan tersebut karena jika ekspor minyak Iran dibatasi, negara OPEC lain secara otomatis akan diharapkan dapat mengisi “slot ekspor” minyak yang ditinggalkan oleh Iran. Skenario ini pernah terjadi ketika awal masa Perang Rusia-Ukraina saat Arab Saudi sebagai negara anggota OPEC diminta AS untuk produksi lebih banyak minyak demi menutup impor minyak dari Rusia.
Namun menariknya Saudi menolak permintaan AS tersebut. Kendati terkesan heroik dan berani, sikap yang ditunjukkan Saudi ini justru menjadi awal permasalahan melambungnya harga minyak dunia, karena kekosongan slot minyak Rusia tidak pernah terisi, akibatnya permintaan minyak tetap tinggi tapi stoknya tidak pernah cukup.
Hal serupa bisa berdampak ke ekonomi Indonesia, dan bila dibarengi dengan tidak tertanganinya nilai Rupiah yang terus melemah, permasalahan ini bisa menjadi awal dari sebuah bencana ekonomi. Mengapa? Ya, sederhana saja, yakni karena minyak adalah “tulang punggung” dari aktivitas ekonomi harian.
Maka dari itu, bila pemerintah tidak serius mempersiapkan skenario ini, harga kebutuhan pokok masyarakat Indonesia diprediksi akan meningkat sangat tajam, pertama karena efek melemahnya Rupiah tadi, dan kedua karena melambungnya harga bahan bakar minyak. Bila tidak teratasi dengan cepat, hal-hal ini bisa membuat harga kebutuhan pokok meningkat pesat sebagai efek keberlanjutannya
Padahal, di dalam ekonomi ada sebuah aturan baku atau golden rule yang harus dipertahankan pemerintah, yaitu menjamin agar daya beli masyarakat tetap bisa terjaga di tengah krisis dan melemahnya nilai mata uang.
Dengan demikian, penting untuk kita pertanyakan, mengapa BI masih tampak relatif “acuh” dengan kondisi yang demikian?
Ada Apa dengan BI?
Dengan cukup ironis, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti pada 17 April 2024 mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini karena faktor global dan bukan dipengaruhi oleh faktor domestik. Fundamental ekonomi Indonesia, klaim Destry, masih terjaga baik.
Terlepas dari bisa dibuktikan atau tidaknya klaim Destry, kini faktanya golden rule terkait daya beli masyarakat mulai terganggu. Harga sembako yang mahal masih jadi permasalahan hingga sekarang dan kini publik pun harus bersiap menghadapi kenaikan harga barang pokok akibat gabungan dampak Perang Iran-Israel dan ketidakpastian nilai mata uang rupiah.
Tentu, kritiknya selanjutnya adalah seharusnya pihak BI sudah mempersiapkan langkah-langkah lebih cepat karena melemahnya mata uang sesungguhnya sudah menunjukkan tren semenjak akhir tahun 2023. Dan di tengah konflik yang terus meradang di Timur Tengah, seharusnya BI sudah mengambil beberapa langkah antisipasi.
Aturan seperti Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) yang akan segera diberlakukan BI memang dipercaya akan menjaga kestabilan mata uang Rupiah dan penggunaan cadangan devisa. Namun, kritisme pun mulai muncul karena ada kekhawatiran intervensi yang dilakukan BI mungkin tidak tepat waktu.
Maka dari itu, muncul perandaian bahwa apakah ada kemungkinan bahwa BI dan Indonesia itu sendiri telah lakukan miskalkulasi terkait antisipasi krisis yang mendatang? Kalau di dalam dunia ekonomi, analis Nassim Nicholas Taleb sering mewanti-wanti soal sesuatu yang disebut “black swan” atau variabel penyebab bencana yang sesungguhnya yang justru kerap diperhatikan sebelum terjadinya sebuah krisis ekonomi.
Mungkinkah lantas ada black swan yang luput dikalkulasi Indonesia dalam mengantisipasi pelemahan mata uang Rupiah? Well, besar harapannya hal semacam itu tidak terjadi dan malabahaya ekonomi yang mendatang bisa dengan tepat ditangani oleh BI dan pemerintah Indonesia. (D74)