Kedatangan Presiden Jokowi ke Selandia Baru disambut demo dan dugaan penghinaan. Di sisi lain, Selandia Baru dapat ‘madu’.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]udrey Young memang tak lagi muda. Tapi justru karena status itulah – jurnalis politik senior – tulisannya dimuat di halaman NZ Herald, sebuah koran tua yang lumayan prestis di Selandia Baru. Media beraliran tengah – konservatif ini, berkata kalau Presiden Jokowi menghina Perdana Menteri (PM) Jacinda Ardern karena menolak bertemu pers lokal guna menjelaskan isi pertemuan bilateral tersebut.
Pernyataan Young, langsung saja ditangkis oleh Tantowi Yahya, mantan penyanyi country sekaligus duta besar Indonesia untuk Selandia Baru. Tantowi berkata bahwa apa yang dituliskan Young tak lebih dari sebuah pretensi semata dan tak berdasar data, apalagi fakta. Akhir pernyataannya, politisi Golkar tersebut ‘berharap’ Young mengklarifikasi apa yang ditulisnya tersebut. Lebih jauh lagi, Tantowi menjelaskan pula bahwa ketidakhadiran Jokowi menemui pers lokal sudah disepakati oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan Selandia Baru.
Selain pemberitaan yang menyebut Jokowi tak sopan, Young juga menyebut atau tepatnya menebak-nebak, bila Jokowi sengaja menghindari pertanyaan sensitif soal Papua Barat. Di tahun 2001 lalu, Abdurrahman Wahid pernah membuat PM Selandia Baru saat itu, Helen Clark terperanjat, karena buka-bukaan bicara soal Timor Timur dan korupsi yang menjangkiti sistem peradilan Indonesia.
Barangkali, jika hendak menebak-nebak seperti dirinya, Young berpikir kalau Jokowi tak akan mampu berbicara seterbuka Gus Dur di tengah forum bilateral nan formal. Selain itu, barangkali melemparkan tudingan ‘tak sopan’ ini adalah sebuah momentum tersendiri. Sejak Gus Dur yang berkunjung di tahun 2001 dan SBY di tahun 2005, Indonesia absen dalam waktu panjang untuk melakukan kunjungan ke negara kiwi tersebut.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa dan ada apa dengan kedua negara ini? Sebesar apa pula keberadaan Selandia Baru bagi Indonesia?
Menjauh karena ‘Dipepet’ WTO
Saat jabatan Perdana Menteri dipegang oleh John Key, Selandia Baru memulai inisiatif terlebih dulu untuk ‘mendekati’ Indonesia di tahun 2016. Key sadar betul Indonesia adalah pasar potensial dan semarak bagi kepentingan ekspor impornya. Bagaimana tidak, Indonesia punya jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, sementara Selandia Baru hanya 4 juta jiwa. Perbedaan di atas tentu tidaklah remeh dan sangat kontras.
Lantas mengapa baru di tahun 2016? Hal ini bisa dikatakan wajar, bila tak mau disebut sebagai bentuk ‘kesadaran diri’. Selandia Baru dan Indonesia punya sejarah kurang sedap sebelumnya karena kasus di World Trade Organization (WTO). Selandia Baru menuding Indonesia melakukan pembatasan impor buah, sayur, dan daging sapi.
Pertengkaran tersebut memang banyak dilandasi ketidakrelaan Selandia Baru karena petani dan peternaknya terusik oleh kebijakan beraroma ‘proteksionis’ Indonesia. Berdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru, negara tersebut berpotensi kehilangan nilai perdagangan 500 juta dollar AS hingga 1 miliar AS atas kebijakan pembatasan impor daging sapi Indonesia.
Kejadian yang berlangsung di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, memang sangat bergesekan dengan cita-cita politisi Partai Demokrat tersebut untuk mencapai swasembada pangan. Selama bertahun-tahun, Pemerintah berjuang mencapai swasembada pangan, namun apa daya, keberadaan negara maju dan perdagangan dunia yang makin bebas membuat batas kepentingan antar negara makin tipis.
WTO sebagai ‘wasit’ dalam perdagangan dunia sangat mudah mencengkram negara-negara anggota yang mencoba mengandalkan restriksi perdagangan demi ‘memajukan’ industri, peternak, dan petani dalam negeri. Inilah yang terjadi pada SBY.
Akibatnya, Indonesia menjadi negara yang termasuk paling sering kena gugatan negara-negara lain, terutama negara maju. Dalam catatan WTO saja, selama 16 tahun terakhir, Indonesia berurusan dengan WTO sebanyak 25 kali. Di tahun 2004, Indonesia digugat 13 kali. Dari 13 gugatan ini, Indonesia banyak berhubungan dengan isu pertanian dan peternakan.
Di sisi lain, swasembada daging sudah menjadi ‘jargon’ politik tersendiri di setiap pemerintahan. Jalan paling mudah dan instan mewujudkannya memang dengan membatasi impor daging dengan sistem kuota, rekomendasi atau lisensi. Nah sialnya, kebijakan inilah yang menjadi senjata negara-negara maju memperkarakan Indonesia ke meja WTO.
Indonesia juga bukannya tak punya tameng untuk melindungi dirinya. Di depan meja WTO, Indonesia menginginkan data yang jelas soal kebutuhan dan importasi untuk periode tertentu. Dalam ketentuan impor buah dan sayur, terdapat skema Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), sementara dalam perdagangan sapi, terdapat sistem kuota dan juga rekomendasi impor.
Tetapi sayang, alasan ini tak cukup mempan dihadapkan dengan negara maju seperti Selandia Baru dan Amerika Serikat, yang saat itu sama-sama menggugat Indonesia di WTO. Padahal, bila lebih jauh ditilik, ekspor barang yang mereka perjuangkan sebetulnya tidaklah besar.
Di tahun 2012, nilai impor hortikultura Indonesia dari AS hanya 120 juta dolar, atau sebesar 12 persen dari total impor hortikultura. Sementara impor daging hanya 3,5 persen dari total daging sapi impor yang berjumlah 417 juta dolar.
Selain itu dalam kasus daging sapi impor, seharusnya secara logika, Australia lah yang lebih pantas menggugat ke WTO, sebab Australia adalah pemasok utama daging impor ke Indonesia. Sementara bagi Selandia Baru, Indonesia hanya menjadi pasar keenam untuk melempar daging sapi. Selandia Baru lebih banyak melempar daging sapinya ke AS, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Kanada.
Menurut media stuff.co.nz daging sapi Selandia Baru ke Indonesia memang banyak mengalami fluktuasi. Di September 2014, mereka mengekspor 20.000 ton senilai 79 juta dollar AS, setelah sebelumnya di tahun 2013 hanya 10.000 ton daging sapi.
Kini hubungan Indonesia dengan Selandia Baru memang lebih ‘tenang’ dibandingkan periode 2005 – 2016 lalu. Hubungan diplomatik yang sudah berlangsung selama 60 tahun ini kembali diisi dengan ‘iming-iming’ investasi.
Pertemuan bilateral yang dihadiri Presiden Jokowi beberapa waktu lalu diklaim akan mencakup beberapa sektor, selain investasi dan perdagangan, juga pendidikan, pariwisata, pertanian, penanganan bencana, politik, hingga pertahanan, dan kontra terorisme. Selandia Baru sendiri juga berkomitmen menyuntikkan dana 1,6 miliar dollar Selandia Baru menjadi 4 miliar dollar Selandia Baru sebelum 2024.
Gelombang Papua Merdeka di Selandia
Bukan rahasia lagi bila Selandia Baru adalah satu dari sedikit negara maju yang memberi kuota khusus dan cukup banyak kepada mahasiswa Papua untuk menuntut ilmu dan berkuliah. Tak sulit pula menemui dukungan Papua Merdeka dari para politisinya.
Tak tanggung-tanggung, kemerdekaan Papua Barat didukung oleh sebelas anggota parlemen dari enam partai politik. Mereka adalah Partai Hijau (Catherine Delahunty, Barry Coates, Mojo Mathers, Jan Logie dan Steffan Browning), Partai Buruh (Louisa Wall, Carmel Sepuloni, Adrian Rurawhe, dan Aupito S’ua William Sio), Partai Nasional (Chester Burrows), dan Partai Maori (Marama Fox).
Dukungan kepada Papua ini memang berhubungan dengan faktor geografis. Papua yang berada di samping Papua Nugini, memiliki kemiripan kultural dan etnis dengan orang-orang Melaniesia. Baik yang menghuni Papua hingga yang tersebar di berbagai Kepulauan Pasifik atau Suku Maori yang mendiami Selandia Baru.
Dari fakta ini, tak heran bila Jokowi sempat dihadang oleh demo Papua Barat saat berkunjung kemarin. Peristiwa ini juga melemahkan pernyataan Tantowi Yahya yang berkata bila isu Papua di Selandia Baru dimainkan oleh orang ‘itu-itu’ saja dan dengan isu ‘itu-itu’ saja.
Tetapi sayang sekali, pernyataan Tantowi ternyata bertabrakan dengan pemberitaan dari NZ Herald dan politik.co.nz. Dua surat kabar itu menceritakan kalau setelah ‘mengagungkan’ Indonesia sebagai pasar terkuat di Asia Tenggara, Jacinda Ardern dinilai melompat ‘jauh’ dengan membahas persoalan Papua Barat. Walau tak menyebut secara rinci, Ardern berkata mendukung Papua Barat dan Jokowi.
Terlepas dari ambiguitas sikap Ardern, perlu menilik latar belakang Ardern yang berasal dari Partai Buruh, yang selama ini getol mendukung separatisme Papua Barat dari Indonesia. Sikap politik Ardern tentu memiliki rasionalitasnya sendiri yang mungkin tak bisa dibayangkan oleh pemerintah, atau bahkan Tantowi Yahya sekalipun.
Tetapi dengan ini, cukup jelas untuk mengatakan bila pendekatan yang dilakukan Selandia Baru kepada Indonesia, tak lebih dari sekedar hubungan ekonomi ‘ada maunya’ saja. (A27)