Setelah sebelumnya sempat ramai, isu kemunduran Presiden Jokowi kembali bergulir di tengah hantaman pandemi Covid-19. Lantas, ihwal apa yang sebenarnya terjadi di balik kembali bergulirnya isu ini? Mungkinkah Presiden Jokowi tengah mengalami delegitimasi?
Ledakan yang terjadi di Beirut baru-baru ini tidak hanya mengakibatkan kerusakan material dan korban jiwa, melainkan juga menjadi pemantik demonstrasi yang kini tengah menggoyang pemerintahan Lebanon. Ledakan tersebut seolah menjadi pembangkit gerakan kelompok masyarakat yang marah akibat dugaan korupsi yang menggurita dan ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki kondisi ekonomi.
Menariknya, kendati gejolak politik sudah ada sebelumnya, ledakan yang terjadi dijadikan momen bagi tekanan untuk melakukan reformasi, yang tidak hanya datang dari dalam negeri, melainkan juga dari dunia internasional. Prancis adalah yang terdepan dalam hal ini.
Selain mengalami krisis ekonomi terburuk sejak perang saudara 1975-1990, gejolak politik yang ada juga diperparah dengan mundurnya berbagai menteri karena tidak puas dengan pemerintahan yang ada. Terbaru, kekosongan kekuasaan (power vacuum) akhirnya terjadi setelah Perdana Menteri (PM) Lebanon Hassan Diab memutuskan untuk mengundurkan diri pada 10 Agustus lalu.
Kasus yang terjadi di Lebanon, sedikit tidaknya beririsan dengan pernyataan pakar kebijakan publik Amir Hamzah baru-baru ini, yang tiba-tiba menyebutkan terdapat tiga skenario apabila nantinya Presiden Jokowi turun takhta di tengah masa kepemimpinannya.
Pertama, Ma’ruf Amin tentunya akan mengambil alih. Akan tetapi, opsi ini dinilai sulit menimbang pada banyaknya pihak yang tidak setuju Ma’ruf bercokol sebagai RI 1.
Kedua, rezim Jokowi-Ma’ruf harus mundur semuanya dan digantikan oleh kandidat lain pada Pilpres 2019, yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Ketiga, kabinet presidium dapat dibentuk dalam jangka waktu satu setengah tahun untuk mempersiapkan pemilu. Sosok seperti Rizal Ramli dan Din Syamsuddin dinilai layak mengisi kabinet ini.
Setelah sebelumnya isu kemunduran Presiden Jokowi meredup, tentu menarik untuk dipertanyakan mengapa isu ini kembali digulirkan oleh Amir Hamzah? Apakah memang terdapat masalah serius seperti di Lebanon? Ataukah ini hanya bentuk ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi?
Mengapa Pemimpin Dibutuhkan?
Menggunakan perspektif teori evolusi, turun takhtanya PM Lebanon Hassan Diab sebenarnya adalah peristiwa yang sangat naluriah. Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, menjelaskan bahwa evolusi telah menuntut manusia untuk menjadi kelompok sosial. Alasan dari ini tidak lain demi keberlangsungan umat manusia itu sendiri.
Banyak disimpulkan, manusia-manusia purba yang memilih hidup sendiri mengalami kematian cepat karena diterkam oleh pemangsa. Namun, bagi manusia purba yang hidup berkelompok, ini tidak hanya menambah kekuatan untuk bertahan dari pemangsa, melainkan juga menjadikan mereka sebagai pemangsa-pemangsa baru.
Dalam teori-teori klasik pembentukan negara, seperti yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes ataupun John Locke, dibentuknya negara yang merupakan tatanan sosial terbesar manusia tidak lain demi menjaga keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Seperti dalam pandangan evolusionis, Hobbes dan Locke juga membayangkan state of nature atau keadaan alamiah, di mana manusia sulit bertahan hidup pada awalnya karena memangsa satu sama lain. Untuk menunjang keberlangsungan hidup, ikatan sosial seperti negara kemudian dibentuk. Ini memungkinkan manusia untuk menciptakan aturan sosial yang mengikat, seperti tidak boleh membunuh.
Mengacu pada penjelasan evolusionis tersebut, dengan kesepahaman kolektif bahwa pemerintahan Lebanon tidak lagi dinilai mampu mengemban tugasnya sebagai pelindung kehidupan, seperti memperbaiki ekonomi, tekanan melakukan reformasi yang berakibat pada mundurnya Hassan Diab adalah lumrah adanya.
Singkatnya, di luar berbagai penjelasan politik yang ada, ini sebenarnya adalah mekanisme alamiah umat manusia untuk bertahan hidup. Pemimpin sendiri, sejak dahulu memang ditunjuk karena ia memiliki kemampuan di atas pengikutnya. Jika manusia purba cenderung menunjuk pemimpin berdasarkan kekuatan ototnya, manusia modern cenderung menunjuk pemimpin berdasarkan kapasitas intelektual, karisma, hingga wibawanya.
Akan tetapi, perpindahan standar pemimpin ini tidak melulu mendatangkan dampak positif. Seperti yang dicatat oleh Harari, evolusi manusia, kendatipun memberi keuntungan, nyatanya selalu memiliki dampak negatif tersendiri.
Dengan standar pemimpin saat ini yang lebih abstrak, hilangnya trust kepada pemimpin umumnya lebih mudah terjadi. Apalagi, di tengah politik demokrasi yang memungkinkan setiap individu bersuara, kritik atas pemimpin menjadi jauh lebih mudah dilakukan daripada sebelumnya.
Terkait kebebasan berpendapat, itu tentunya dipahami positif. Akan tetapi, suka atau tidak, itu berbanding lurus dengan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah di berbagai negara. Di Amerika Serikat misalnya, negara yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat ini, telah lama mengalami fenomena, di mana masyarakatnya memiliki rasa tidak percaya yang tinggi kepada pemerintahan yang berkuasa.
Di titik ini, kita mungkin perlu mengajukan pertanyaan, apakah mungkin proses alamiah seperti di Lebanon akan menimpa Presiden Jokowi?
Berbeda dengan Lebanon?
Dengan cepat, banyak dari kita tentu menyebutkan bahwa kasus Lebanon dan Indonesia benar-benar berbeda. Iya, itu tidak salah. Akan tetapi, apabila masalah fundamentalnya diperas, kita dapat menemukan irisan-irisan masalah yang serupa.
Pertama, kemarahan masyarakat Lebanon dipicu oleh praktik korup berbagai elite yang terjadi selama puluhan tahun.
Kedua, ketidakcapakan para pengampu kebijakan untuk membawa Lebanon keluar dari masalah ekonomi jelas memperlihatkan masalah kualitas pejabat yang ada.
Ketiga, mundurnya berbagai menteri, jelas menunjukkan bahwa telah terjadi distrust dalam internal pemerintahan. Distrust di level internal jelas menunjukkan pemimpin yang ada tengah mengalami delegitimasi.
Kendati reduksionis, ketiga saripati masalah tersebut setidaknya dapat kita jadikan sebagai gambaran untuk menilai, serta memberi wanti-wanti agar pemerintahan Jokowi tidak bernasib sama.
Pertama, masalah korupsi jelas mengakar di republik ini. Telah jamak diketahui, praktik korup di era Soeharto tetap bersemayam, meskipun tatanan politik sudah melalui reformasi. Jika dulunya praktik korupsi bersifat terpusat, dengan adanya desentralisasi pemerintahan, ini berimbas pada praktik korupsi yang menggurita sampai ke unit pemerintahan terkecil, seperti Kepala Desa dan Ketua RT. Terlebih lagi, narasi pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena adanya revisi Undang-Undang KPK telah jamak diamini.
Kedua, saat ini kritik jamak berjatuhan terkait kondisi ekonomi yang diketahui tengah memburuk. Terkait hal ini, seperti yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, buruknya kondisi ekonomi tidak lain diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Menimbang pada negara-negara lain juga mengalami hal yang sama, jawaban semacam itu tentu menjadi pembelaan yang kuat.
Akan tetapi, bagaimana jika memburuknya ekonomi terjadi bahkan sebelum pandemi menerjang? Pada Mei lalu, mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli menegaskan bahwa memburuknya kondisi ekonomi sebenarnya telah terjadi sebelum pandemi datang. Jika ini benar, maka para pengampu kebijakan publik jelas tidak menunjukkan kecakapan yang diperlukan.
Ketiga, melihat gestur politik akhir-akhir ini, tampaknya trust para menteri terhadap Presiden Jokowi mulai menurun. Pasalnya, sang presiden harus memberikan teguran sebanyak tiga – kemungkinan bertambah – karena para menteri dinilai belum memiliki sense of crisis dan masih rendahnya serapan anggaran penanganan Covid-19.
Jika ketiga masalah tersebut benar adanya, tentu tidak mengherankan mengapa Amir Hamzah berani memberikan pandangan terkait potensi turun takhtanya Presiden Jokowi di tengah kepemimpinannya.
Di luar itu semua, tentu kita berharap agar gejolak politik seperti di Lebanon tidak benar-benar menimpa Presiden Jokowi. Di tengah situasi tidak menentu akibat pandemi Covid-19, mengalami transisi pemerintahan seperti itu adalah opsi yang patut untuk dihindari.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)