Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengingatkan berbagai pihak agar tidak menimbun dan menaikkan harga produk kesehatan seperti obat di tengah penerapan PPKM Darurat. Peringatan tersebut mengingatkan kita pada kasus penimbunan masker dan hand sanitizer pada Maret 2020. Mengapa peristiwa ini terus berulang?
“Kita seharusnya tidak meremehkan kebodohan manusia.” – Yuval Noah Harari, dalam buku 21 Lessons for 21st Century
Pada awal Covid-19 terdeteksi di Indonesia, kita semua menyaksikan fenomena tidak menyenangkan ketika terjadi penimbunan masker, hand sanitizer, dan vitamin C. Banyak dari kita mungkin bertanya, bagaimana mungkin terdapat pihak yang memanfaatkan pandemi untuk mencari keuntungan?
Dan terjadi lagi, di tengah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, kasus penimbunan dan kenaikan harga berbagai produk kesehatan kembali terjadi. Lalu ada pula fenomena menarik di mana harga suatu produk susu yang bahkan naik sampai 5 kali lipat.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga telah secara khusus menyinggung persoalan ini.
Baca Juga: Luhut Akui Kesalahan Pemerintah?
“Saya tekankan, apabila dalam tiga hari ke depan kami masih mendapatkan harga-harga yang cukup tinggi atau terjadi kelangkaan, maka kami akan mengambil langkah tegas dan merazia seluruh gudang-gudang mereka yang sudah kami identifikasi keberadaannya,” begitu ujarnya.
Tentu pertanyaannya, mengapa peristiwa ini terus berulang? Apakah situasi krisis seperti pandemi tidak memberi perubahan berarti?
Konsekuensi Kapitalisme
“Kemarin saya cari ke mana-mana engga ada, nah ketemu di Pasar Pramuka itu pun harganya naik. Biasanya Rp 500 (ribu) jadi Rp 2,5 juta. Mau engga mau saya beli,” keluh seorang warga Jakarta soal tabung oksigen.
Keluhan tersebut adalah suara yang beruntung. Di luar sana, banyak suara-suara serupa yang mungkin tidak akan pernah kita dengarkan.
Persoalan ini, benar-benar menjadi afirmasi atas analisis Yuval Noah Harari. Untuk melawan pandemi, yang kita butuhkan adalah solidaritas. Situasi sulit saat ini seharusnya menjadi pengingat yang baik bagi umat manusia untuk meningkatkan ikatan sosial, alih-alih semakin mempertebal egoisme individual.
Namun, berulangnya kasus penimbunan dan kenaikan harga berbagai produk kesehatan menimbulkan tanda tanya, mengapa saran Harari justru tidak terjadi?
Pertanyaan tersebut dapat kita jawab melalui collective action theory yang diperkenalkan oleh Mancur Olson pada tahun 1965. Collective action adalah situasi ketika individu-individu dalam organisasi saling bekerja sama untuk mewujudkan kebaikan bersama (common good).
Namun, Olson melihat, collective action ini sulit terjadi karena sering kali tiap individu hanya mengedepankan kepentingan pribadi, alih-alih kepentingan kelompok.
Keith Dowding dalam tulisannya Collective Action Problem menggunakan salah satu game theory (teori permainan), yakni prisoner’s dilemma (dilema narapidana) untuk menjelaskan persoalan yang disebutkan Olson.
Konsep tersebut menerangkan perihal dua orang narapidana yang jika mampu bekerja sama dapat meringankan hukuman mereka. Berikut adalah pilihan yang diberikan pihak berwajib kepada narapidana tersebut.
(1) Jika satu pihak bersaksi atas pihak lain, maka pihak tersebut akan dibebaskan sementara pihak lain terkena hukuman penjara 3 tahun.
(2) Jika kedua pihak bersaksi, maka masing-masing akan dikenai hukuman penjara 2 tahun.
(3) Jika kedua pihak tidak bersaksi, maka keduanya akan dihukum satu tahun.
Tentu mudah bagi kita untuk menjawab pilihan ketiga adalah yang terbaik bagi kedua belah pihak. Akan tetapi, masalahnya adalah, setiap narapidana tidak mengetahui bahwa narapidana lainnya juga diberikan pilihan tersebut. Artinya, masing-masing narapidana beranggapan bahwa hanya dirinya yang diberikan pilihan tersebut.
Baca Juga: Mampukah Jokowi “Menjadi Denmark”?
Mengacu pada prinsip utama game theory, yakni setiap pihak ingin memaksimalkan utilitas (keuntungan), kedua pihak akhirnya melakukan pilihan kedua, yang mana itu membuat hukuman 2 tahun diterima oleh keduanya.
Sederhananya, dilema narapidana adalah konsep yang menerangkan bahwa kerja sama sulit terjadi karena masing-masing individu mengasumsikan pihak lain pasti mengambil keputusan atas kepentingannya sendiri – setiap orang adalah individu egois.
Seperti yang ditegaskan oleh Dowding, ini membuat tiap individu tidak percaya pada tindakan kooperatif. Konsekuensinya, ini menimbulkan persepsi, “daripada hanya orang lain yang mendapatkan keuntungan, lebih baik saya yang lebih dahulu melakukannya”.
Pada kasus penimbunan di awal pandemi dan saat ini, persepsi tersebut jelas terjadi. Berbagai pihak berlomba mencari keuntungan karena menilai pihak lain juga melakukannya.
Jika mengabstraksikannya sampai level filosofis, collective action problem adalah bantahan atas tesis Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations. Menurut Smith, aktor-aktor ekonomi yang merupakan individu egois, pada saatnya nanti akan mencapai titik keseimbangan, sehingga kemakmuran bersama dapat terwujud.
Namun, alih-alih terealisasi, kapitalisme yang digagas Smith justru memperdalam jurang ketimpangan ekonomi. Betapa tidak, monopoli adalah konsekuensi yang tidak terhindarkan dari kapitalisme. Alhasil, alih-alih mewujudkan kemakmuran bersama, kapitalisme justru menjadi wadah akumulasi kekayaan bagi segelintir pihak.
Seperti yang disebutkan Olson, untuk mencapai kemakmuran bersama atau common good, dibutuhkan tindakan kolektif. Masalahnya, tidak banyak individu yang mampu bekerja atas nama kepentingan bersama.
Lantas, jika persoalan ini adalah konsekuensi tidak terhindarkan dari kapitalisme, apakah ada solusinya?
Meraba Solusi
Tentu ada. Solusinya adalah hukum. Yang harus digarisbawahi adalah, tidak mungkin kita memaksa berbagai pihak untuk bersikap altruis dan melepaskan bayang-bayang kepentingan pribadinya. Itu adalah desire alami manusia.
Apa yang dapat dilakukan adalah mengondisikan atau mengontrol desire tersebut. Tesis tersebut misalnya dikeluarkan oleh filsuf Prancis Gilles Deleuze dan psikoanalisis Prancis Félix Guattari ketika menjelaskan konsep schizophrenia.
Nah, hukum adalah alat untuk mengondisikan hasrat tersebut. Teori law as a tool of sosial engineering yang dikemukakan Roscoe Pound kerap menjadi rujukan atas simpulan tersebut. Hukum dipahami sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat. Ia diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Baca Juga: Listyo Sigit Perlu Adopsi Richard Posner?
Di Indonesia, memang ada aturan soal harga eceran tertinggi (maximum retail price) atau HET. Namun, dalam praktiknya sering kali terjadi penegakan hukum yang timpang alias minim kepastian hukum.
Mengutip teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat bekerja, yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Substansi hukum adalah peraturan tertulis, struktur hukum adalah aparat dan institusi penegak hukum, dan budaya hukum adalah respons atau kebiasaan masyarakat dalam menyikapi suatu hukum.
Dalam teorinya, Friedman melihat hukum sebagai suatu sistem. Artinya, penegakan hukum akan sulit terjadi apabila ketiga komponen tersebut tidak saling menunjang.
Pada persoalan penimbunan yang kembali terjadi baru-baru ini, masalahnya ada pada struktur hukum dan budaya hukum. Penegakan yang terlihat tidak merata dari aparat atau institusi berkonsekuensi pada kebiasaan masyarakat yang cenderung meremehkan hukum.
Kembali mengungkit dilema narapidana, penegakan hukum yang tidak optimal tersebut dapat menciptakan persepsi di tengah masyarakat bahwa “tidak apa-apa ia melanggar karena orang lain juga telah melakukannya”.
Sebagai solusi, institusi seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) tentunya harus diperkuat. Bagaimana pun, kebiasaan masyarakat yang cenderung melanggar hukum adalah konsekuensi dari tidak tegaknya hukum itu sendiri.
Kita lihat saja, apakah “ancaman” Menko Marves Luhut akan berkonsekuensi pada penyelesaian masalah yang bersifat temporal, atau memberikan solusi jangka panjang dengan memperkuat institusi. (R53)