Site icon PinterPolitik.com

Sejarah Penistaan Kata Diktator

kalender senjata politik julius caesar

Diktator Romawi, Julius Caesar (Foto: Hornet83/iStock.com)

Dengarkan artikel berikut

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/03/diktator-full.mp3

Kata ‘diktator’ kerap diberikan ke seseorang yang dianggap menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri. Tapi, apa sebetulnya definisi dari kata diktator itu sendiri?


PinterPolitik.com

Dalam lembaran sejarah yang kelam awal abad ke-20, terdapat satu sosok yang kekejamannya mungkin tidak akan pernah bisa dimaafkan oleh umat manusia, karena ia telah menciptakan jejak kehancuran yang begitu besar sehingga tidak akan dilupakan oleh semua orang.

Ya, semua orang mungkin akan langsung tahu siapa nama orang tersebut. Dia adalah Adolf Hitler, diktator kejam Nazi Jerman yang nama buruknya sudah diceritakan sejak kita mengemban pendidikan Sekolah Dasar (SD). Melalui kepemimpinan brutalnya, Hitler sering dijuluki sebagai “evil in flesh” atau perwujudan dari setan itu sendiri.

Bagaimana tidak, orang yang sering dianggap manifestasi dari kata ‘diktator’ itu sendiri bertanggung jawab atas lebih dari 80 juta jiwa orang yang tewas selama Perang Dunia II.

Namun, Hitler bukanlah satu-satunya pemimpin dalam sejarah peradaban manusia yang diberikan gelar ‘diktator’ terkejam. Kalau kita menengok sejarah, sosok-sosok seperti Joseph Stalin, Ivan the Terrible, dan Julius Caesar, juga kerap disebut sebagai para diktator yang kejam karena pertumpahan darah yang terjadi di bawah kepemimpinan mereka.

Akan tetapi, apa yang sebenarnya dimaksud dengan diktator? Kita sering memahami seorang diktator sebagai pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya dan jabatannya, namun, benarkah pengertian diktator adalah demikian?

‘Diktator’ yang Dilecehkan

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa kata “diktator” pada awalnya memiliki konotasi yang jauh berbeda dari citra negatif yang kita kenal saat ini.

Pada awalnya, ‘diktator’ adalah sebuah nama jabatan yang diberikan kepada seseorang pada zaman Republik Romawi (509 – 27 SM). Jabatan ini adalah instrumen krisis yang dirancang untuk menghadapi situasi-situasi darurat dan mendesak. Tugas mereka adalah menyelesaikan masalah-masalah itu dan setelah itu mengembalikan kekuasaan yang dipercaya kepada senat Romawi.

Salah satu contoh terbaik pemimpin Romawi yang dipercaya menjadi diktator adalah Quintus Fabius Maximus Verrucosus, seorang jenderal perang yang diberi ‘amanah’ untuk dapat menyelamatkan Roma dari serangan Jenderal Kartago, Hannibal Barca, pada tahun 211 SM. Sementara itu, orang pertama dalam sejarah yang diketahui dipercaya jabatan diktator bernama Titus Lartius pada tahun 501 SM.

Namun, seperti pepatah dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuatan besar yang bisa diperoleh dengan jabatan diktator akhirnya dirusak oleh keserakahan manusia itu sendiri sehingga menjadi istilah negatif yang kita kenal sekarang.

Dalam proses ini, mungkin kita bisa menyalahkannya ke seorang diktator bernama Lucius Sulla. Banyak sejarawan yang berpandangan bahwa Sulla adalah orang pertama yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan diktator pada tahun 82 SM karena ia memaksa senat Romawi untuk memberikannya masa tambahan sebagai diktator.

Setelah itu, ‘diktator’ Kembali dilecehkan oleh Julius Caesar ketika ia menobatkan dirinya sendiri sebagai ‘diktator seumur hidup’ pada tahun 44 SM.

Lantas, apakah kediktatoran Sulla dan Caesar adalah asal mula peyorasi kata diktator di era modern? Mungkinkah ada penyebab lainnya juga?

Ada Andil Populisme?

Seiring berjalannya waktu, citra diktator semakin berubah. Pada abad ke-20, terutama setelah pengalaman negatif dengan penguasa berkekuatan absolut seperti Adolf Hitler dan Benito Mussolini, istilah ini mengalami peyorasi yang signifikan. Pemimpin otoriter semacam Hitler tentu memiliki andil besar dalam mengubah persepsi masyarakat global terhadap kata “diktator”, menjadi sesuatu yang mengerikan dan menakutkan.

Namun, perkembangan media massa dan informasi juga turut memainkan peran dalam membentuk persepsi publik terhadap kata “diktator”. Pemberitaan yang seringkali menyoroti kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh penguasa otoriter membentuk narasi negatif yang sulit dihapuskan. Menariknya, kata ‘diktator’ kerap diselipkan untuk menjadi julukkan dari pemimpin kejam yang sedang diberitakan.

Dari pandangan logika media, hal ini diasumsikan memiliki alasannya sendiri, yaitu untuk menciptakan satu kata kuat yang dapat mengagitasi kemarahan publik. Dalam kata lain, demonisasi kata diktator di era modern sebetulnya merupakan strategi populisme media dalam membuat label bagi sesuatu untuk dimusuhi bersama. Di Indonesia sendiri kata diktator bukan satu-satunya yang mengalami proses peyorasi, kata seperti ‘Yahudi’ dan ‘oligarki’ juga mungkin memiliki proses peyorasi yang sama.

Dengan demikian, diktator pun terus diasosiasikan dengan penguasa yang korup, kejam, dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi, tujuannya adalah untuk memberikan pandangan pada publik bahwa ada sesuatu yang perlu dimusuhi bersama. Padahal, kata diktator awalnya adalah sebuah jabatan yang mulia, yang mungkin saja sebenarnya masih memiliki dampak positifnya bila kita menerapkannya dengan penuh pengawasan di era modern seperti sekarang.

Maka dari itu, penting untuk menyadari bahwa dalam sejarahnya, perubahan makna kata “diktator” dari pejabat yang diangkat dalam keadaan darurat menjadi simbol otoritarianisme modern menunjukkan bagaimana konteks historis dan pengalaman kolektif dapat memengaruhi pemahaman terhadap suatu kata. (D74)

Exit mobile version