Site icon PinterPolitik.com

Sejarah Militer dan Minyak

Foto: Google

“Dengan masuknya abad XX, hubungan dagang antara Inggris dan India telah menjadi mesin utama bagi pertumbuhan ekonomi Imperium Inggris; sehingga harus diamankan berapa pun harga militer yang harus dibayar.”

pinterpolitik.com Oleh: Hasan M. Soedjono

[dropcap size=big]K[/dropcap]ita semua tahu bahwa konflik di Timur Tengah antara Yahudi, Kristen, Sunni, dan Syiah telah berlangsung selama lebih dari satu milenium. Umumnya kita punya gambaran umum bahwa kepentingan Barat di Timur Tengah selalu termotivasi oleh minyak. Tapi, apa tepatnya – dalam sejarah manusia – yang pertama kali membuat minyak menjadi begitu strategis? Dan bagaimana semua bisa menjadi begitu berantakan?

Menariknya, Anda tak perlu untuk menilik sejarah kembali melampaui awal Perang Dunia I – walaupun banyak pihak telah mengajarkan kepada kita bahwa konflik Timur Tengah berakar ribuan tahun silam. Lebih lanjut lagi, meskipun banyak di antara kita belajar bahwa Barat membentuk Israel karena punya guilty feeling atas ketidak-mampuan mereka mencegah Holocaust, sebetulnya pembentukan Israel (oleh Barat) terjadi sebelum Perang Dunia II (yang berarti, sebelum Holocaust). Nah, mengapa Barat memfasilitasi berdirinya negara zionis, padahal Perang Dunia II belum pecah, dan Holocaust belum terjadi?

Pernahkah Anda bertanya bagaimana kekuatan kolonial, dan kemudian bagaimana aneka negara adidaya, Bangsa Arab, Yahudi, Kristen, dan minyak bumi menyebabkan begitu banyak dari mereka saling bertumpah-darah? Satu dinamika yang mengubah ‘permainan’ geopolitik menjelang PD II adalah bahwa Sekretaris Pertama Angkatan Laut Inggris (sepadan menteri muda urusan angkatan laut) – Winston Churchill – telah berhasil mentransformasi Angkatan Laut Britannia Raya menjadi angkatan laut pertama di dunia yang sepenuhnya menggunakan BBM. Kapal perang angkatan laut negara lain masih menggunakan mesin uap (tenaga batu bara).

Baginya, minyak harus diamankan ketersediaannya, apa pun biayanya. Bukan karena BBM diperlukan untuk menggerakkan mobil atau membangkitkan listrik (seperti yang kita perlukan sekarang), tapi karena BBM adalah satu-satunya bahan bakar yang menjadi pembangkit tenaga bagi angkatan laut paling modern dan terkuat di dunia, saat itu.  Oleh sebab itu, Inggris harus menaklukkan kekaisaran Ottoman Turki, yang selama berabad-abad menguasai sebagian besar Semenanjung Arab, termasuk ladang minyak di Abadan (Iran) dan Mosul (Irak).

Hubungan Dagang

Dengan masuknya abad XX, hubungan dagang antara Inggris dan India telah menjadi mesin utama bagi pertumbuhan ekonomi Imperium Inggris; sehingga harus diamankan berapa pun harga militer yang harus dibayar. Untuk mencapai tujuan ini, mereka meminta dukungan Arab (dan India!) dengan janji-janji yang tidak jelas, seolah-olah akan memberikan kemerdekaan kepada kedua bangsa tersebut. Yang penting, Ottoman harus direcoki supaya Turki tidak bisa membantu Jerman, sekutu Ottoman di PD I.

Foto: www.con-tru.com

Dengan menyerang wilayah Arab yang dikuasai Ottoman, Inggris juga ingin menjamin ketersediaan minyak bagi AL Inggris. Di sini layak dicatat satu fakta penting. Akar nasionalisme Arab di zaman modern tumbuh, bukan dari kebencian terhadap kekuasaan kolonial Barat, melainkan dari kekecewaan dan kebencian terhadap pemerintah kolonial Muslim Sunni yang berkuasa atas jazirah Arab, yakni Ottoman Turki.

Sir Winston Leonard Spencer-Churchill (Kiri) & Field Marshal Edmund Henry Hynman Allenby, 1st Viscount Allenby (Kanan).

Keberhasilan aksi militer dari salah satu jenderalnya, Churchill, yang paling cemerlang, Allenby, dalam invasi ke Trans-Yordan (kira-kira sekarang ini mencakup Sinai, Yordania, Palestina, Suriah, Lebanon, dan Israel) mengakibatkan Inggris memperoleh wilayah yang terlalu besar untuk diduduki secara ‘tertib serta damai’ dan untuk waktu yang lama.  Ada baiknya saya segarkan kembali ingatan kita:  Kolonial Inggris tidak mungkin berhasil saat itu, kalau laskar dan milisi Arab saat itu tidak memilih untuk bersekutu dengan militer Inggris (yang tentunya mayoritasnya adalah non-Muslim) melawan Ottoman Turki (yang Muslim dan Sunni).

Jenderal Allenby berupaya meyakinkan parlemen Inggris bahwa kehadiran Inggris di Trans-Yordan harus dibubarkan – kendati pertanyaan tentang siapa yang akan mengisi kekosongan itu belum terjawab. Ironisnya, kali ini justru Churchill, saat itu Menteri Urusan Perang, yang merasa bahwa masalah Palestina harus dituntaskan sebelum tentara Inggris di Trans-Yordan ditarik. Sial bagi bangsa Arab, Churchill gagal meyakinkan parlemen. Inggris menarik diri sebelum waktunya.

Deklarasi Balfour

Pada periode keengganan Inggris untuk memerintah wilayah Trans-Yordan inilah muncul Ketua Umum Zionis cabang Inggris, Weizmann, yang membujuk pemerintah Inggris memaklumatkan Deklarasi Balfour, yang ‘mendukung’ wacana penciptaan sebuah negara Yahudi. Sebenarnya (dan meskipun) deklarasi adalah pernyataan yang tidak mengikat (a declaration is not a treaty or contract), banyak sejarawan terkenal sekarang berpendapat bahwa penerbitan deklarasi tersebut adalah salah satu kesalahan paling serius dari sejarah kebijakan kekaisaran (imperialisme) Inggris.

Chaim Azriel Weizmann

Kita semua masing-masing memiliki sikap sendiri terhadap konflik Palestina. Yang pasti, minimal saya menentang segala bentuk perampasan tanah secara ilegal atau pemaksaan kehendak politik oleh kaum non-mayoritas, apalagi kalau dicapai melalui kekerasan.

Tetap saja saya dapat menarik satu pelajaran lain, yang menurut saya, bahkan lebih penting: Perang adalah tentang sumber daya (resources) bagi suatu bangsa –  apa yang mereka miliki, apa yang mereka butuhkan, dan apa yang mereka inginkan.  Bagi saya, sumber daya militer yang paling krusial adalah logistik.  Istilah kerennya kini, “rantai pasokan” (supply chain).  Anda dapat memenangkan aneka pertempuran (win the battles) meski berbekal logistik yang sedikit, tetapi Anda tidak akan bisa terus mempertahankan apa yang telah susah payah Anda menangkan. Lebih utama lagi, Anda tidak akan memenangkan perang (win the war) bila tidak berhasil mengamankan logistik dalam jumlah dan skala yang besar.

Kemenangan Bush (senior), Collin Powell, dan Norman Schwarzkopf di Desert Storm; kemenangan Jenderal Vo Nguyen Giap di Vietnam; invasi Pantai Normandy D-Day oleh Eisenhower; kekalahan Jerman Nazi di Rusia; kekalahan Napoleon di Rusia – semua itu adalah contoh dari sejarah mengenai betapa logistik merupakan prasyarat utama untuk memenangkan suatu perang.  Dengan berubahnya teknologi, maka tujuan militer pun ikut berubah.  Ingat, di PD I, kekuatan Angkatan Laut Inggris digerakkan oleh minyak; dan di PD II teknologi aeronautika dan superioritas militer di udara yang menjadi kunci sukses dari semua operasi militer di darat dan laut.  Pada akhirnya, meraih keunggulan militer dan geopolitik ujung-ujungnya adalah mengenai bagaimana memperoleh keunggulan logistik. Saya menemukan bahwa ini masih betul, bahkan sampai hari ini, satu abad kemudian.

Ini menimbulkan pertanyaan: Bagaimana bentuk kebutuhan rantai pasokan di masa depan, serta berdasarkan pada teknologi masa depan? Apa saja kebutuhan logistik dari negara mana pun? Dengan meningkatnya pendapatan per kapita di seluruh dunia, maka pola dan tingkat konsumsi dunia (untuk produk fisik maupun layanan apa saja) akan meningkat.  Tetapi, di lain pihak, produksi mengalami spesialisasi berdasarkan wilayah geografis. Dan karenanya, semua bangsa akan menuntut agar rantai pasokan yang menghidupkan bangsa tersebut, untuk semua produk dan barang, dapat bergerak bebas (termasuk aksesibilitas dan transportasi).

Bagaimana rantai pasokan bisa dijamin oleh masing-masing negara? Apakah saya perlu heran mengapa Laut China Selatan jadi rebutan? Dan, kembali ke ‘pelajaran’ semula di atas, di masa depan, sumber enerji yang bagaimana yang dibutuhkan suatu kekuatan militer yang harus memperoleh, menjaga, dan mengendalikan sekuritas dari rantai pasokan masing-masing negara?

Hal yang juga menarik untuk diamati adalah pada saat kita mengandalkan loyalitas sekutu kita, betapa sedikit yang dilakukan oleh negeri adidaya atau bahkan tetangga dekat dalam menegakkan integritas teritorial suatu negara kita.

Pelajaran lain adalah perang mahal. Tidak hanya dari segi korban, tetapi dalam hal uang tunai. Dalam bisnis, kita menyebutnya arus keluar dari kas operasional dan modal investasi. Tapi, menghindari perang juga tidak gratis. Pada kenyataannya, mempertahankan perdamaian adalah suatu kegiatan yang sangat tidak murah. Setiap bangsa yang ingin mempertahankan integritas geografisnya harus bersedia untuk membiayai upaya militer yang menjaga agar bangsa lain tidak menjadi ancaman langsung atau bangsa lain tidak memperlakukan bangsa itu seperti, “sehabis manis sepah dibuang”.

Dalam demokrasi, terutama yang masih ingin adanya transparansi publik dan governance, seluruh rakyat harus bersedia untuk mengumpulkan dana militer melalui pajak.  Selama ribuan tahun, sejarah mengenai perang (dan mengenai ketiadaan perang) selalu memvalidasi pelajaran-pelajaran di atas.

Sebagai seorang pelaku usaha, banyak pelajaran strategi bisnis yang saya bisa petik dari sejarah militer. ([highlight color=Yellow ]HS[/highlight])

Exit mobile version