Jusuf Kalla (JK) disebut mencoba menduetkan Anies Baswedan dengan Puan Maharani di Pilpres 2024. Mampukah JK melobi partai-partai politik, khususnya PDIP untuk mengusung Anies? Sehebat apa pengaruh politik JK?
Salah satu pengamat politik paling berpengaruh di Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, memberikan penjelasan yang sangat penting terkait bagaimana partai politik mengusung kandidat dan membangun koalisi.
Dalam bukunya Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural, Burhanuddin menyebut keputusan-keputusan itu diambil secara tertutup atau yang dikenal dengan istilah smoke-filled room. Keputusan diambil oleh elite politik tanpa melibatkan ruang partisipasi dari kader dan konstituen partai secara luas.
Menko Polhukam Mahfud MD dalam pengantarnya di buku itu juga menyinggung fenomena smoke-filled room. Memberi judul Menyembuhkan Demokrasi Gagal, Mahfud secara frontal menyebut frasa “mencari kesamaan visi dan platform” dari para elite politik merupakan suatu kebohongan. Itu hanyalah hasrat perburuan kekuasaan yang dibungkus dengan narasi komunikasi yang manis.
Menurut Burhanuddin, pada Pilpres 2014 sebenarnya bisa terbentuk empat poros koalisi alias empat pasang capres-cawapres. Namun, harap itu pupus karena Partai Demokrat maupun tokoh-tokoh partai Islam tidak mau berusaha keras menaikkan elektabilitasnya dan pasrah di hadapan dominasi elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Lanjut Burhanuddin, elite-elite partai tidak ingin berjudi dan mengeluarkan logistik besar, sehingga melakukan tindakan pragmatis dengan bergabung pada poros Jokowi atau Prabowo. Tindakan itu sekali lagi mempertegas smoke-filled room, di mana penentuan kandidat dan pembentukan koalisi bergantung pada keputusan elite politik.
Dengan lakon politik yang masih sama, serta makin kentaranya peran oligarki, penentuan kandidat Pilpres 2024 dapat dipastikan masih dalam cengkeraman smoke-filled room. Melihat gestur elite yang ada, khususnya safari yang makin intens, salah satu aktor elite yang paling menarik untuk disoroti adalah Jusuf Kalla (JK).
Merangkum berbagai sumber, kuat dugaan JK tengah mencoba memasarkan Anies Baswedan untuk menjadi kandidat di Pilpres 2024. Yang paling menarik adalah usaha JK menduetkan Anies dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani.
Dengan elektabilitas Puan yang terpantau rendah, usaha JK itu dengan jelas menunjukkan smoke-filled room. Ini adalah duet untuk merebut dukungan PDIP sebagai satu-satunya partai yang memenuhi presidential threshold (preshold).
Lantas, mampukah JK membawa Anies ke panggung Pilpres 2024?
JK Sang Maestro
Berbicara nama Jusuf Kalla, harus diakui ini bukan nama sembarangan. Bahkan, mungkin dapat dikatakan JK adalah salah satu sosok paling berpengaruh di lakon politik Indonesia.
Dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran Kekuasaan, politisi senior PDIP Panda Nababan dengan gamblang menjelaskan peran JK terhadap karier politik Jokowi.
Kendati Jokowi merupakan kader PDIP, ternyata JK adalah sosok yang meminta Jokowi menjadi DKI-1. “Sayalah yang pertama minta Jokowi ke Jakarta jadi Gubernur DKI. Dia (Jokowi) bingung ketika saya telepon,” ungkap JK pada 5 Agustus 2012. JK yang berbicara kepada Megawati agar PDIP mengusungnya.
Pun demikian pada Pilpres 2014. JK adalah salah satu sosok paling awal yang mendukung Jokowi maju. Menurut Panda, JK berperan dalam meyakinkan PDIP dan kemudian memberi proposal agar dirinya diterima sebagai pasangan Jokowi.
Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, JK juga merupakan sosok vital di balik majunya Anies Baswedan. Untuk mencegah eskalasi politik ibukota yang panas saat itu, JK meyakinkan PKS dan Gerindra untuk mengusung Anies.
Jika berbicara sejarah, hubungan JK dan Anies memang sudah terjalin lama. Sebagai seniornya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), JK dapat dikatakan sebagai mentor politik Anies.
Pada kasus kudeta Partai Demokrat beberapa waktu lalu, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga terlihat mengunjungi JK untuk berkonsultasi. Banyak elite kemudian melihatnya sebagai pesan bahwa pengaruh politik JK begitu besar. Dan terbukti, usaha kudeta itu kandas. Posisi Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan tidak mampu membawanya menggulingkan sang Putra Cikeas.
Jika JK adalah pemain sepakbola, mungkin mantan Ketua Umum Partai Golkar itu adalah Andrea Pirlo. Ketika berseragam Juventus, pendukung si Nyonya Tua menjuluki Pirlo sebagai L’Architetto (si Arsitek). Jika Pirlo adalah sang maestro pengatur serangan Juventus, JK adalah sang maestro majunya kandidat (king maker).
Lantas, dengan pengaruh politik JK yang begitu besar, apakah itu jaminan mulusnya jalan Anies maju di Pilpres 2024?
Ganjalan Anies
Sayangnya, pengusungan Anies mungkin akan menjadi tantangan berat bagi Jusuf Kalla. Kembali mengutip Burhanuddin Muhtadi, koalisi partai politik di Indonesia berbasis pada office seeking, bukan policy seeking. Koalisi dibentuk bukan untuk menjalankan ideologi atau kebijakan publik tertentu, melainkan semata-mata demi meraih kursi kekuasaan.
Dalam lobi tingkat tinggi belakang layar, partai akan menuntut pos-pos strategis – seperti menteri, pimpinan BUMN, dan dubes – sebagai imbalan masuk koalisi. Habituasi politik itu yang melanggengkan spoils system, yakni praktik pemenang pemilu membagi kue kekuasaan kepada pihak-pihak yang berkeringat dalam pemenangan.
Ikatan habituasi spoils system itu dapat menjadi rintangan besar pengusungan Anies. Pasalnya, dengan fakta bukan merupakan kader partai tertentu, kekuatan politik Anies terletak pada besar dan masifnya gerakan para relawan.
Mengacu pada kasus relawan-relawan Jokowi yang meminta imbalan kue kekuasaan, masifnya relawan Anies bukankah sesuatu yang positif bagi elite partai politik. Para relawan yang mengklaim berjasa besar dalam pemenangan akan mengurangi potongan kue yang seharusnya didapatkan partai politik.
Skenario terburuknya, fenomena relawan politik ini dapat menciptakan efek deparpolisasi. Kira-kira akan tercipta persepsi, “untuk apa masuk partai politik, jika bergabung dengan relawan saja dapat masuk ke lingkar Istana”.
Kembali mengutip smoke-filled room, elite-elite partai politik yang selama ini menjadi pemegang kunci teater politik akan merasa terancam status quo-nya.
Dengan polemik itu, apakah Jusuf Kalla dapat meyakinkan elite-elite partai, khususnya PDIP untuk mengusung Anies. Dengan status PDIP sebagai partai dengan perolehan suara terbesar, apakah mereka berkenan jatah kuenya berkurang?
Mungkin, jika boleh memberi saran, sebagai solusi, setidaknya ada dua skenario yang dapat JK lakukan. Pertama, JK harus menjadi string-pullers atau penarik tali Anies.
Mengutip Dennis R. Young dalam Puppet Leadership: An Essay in Honor of Gabor Hegyesi, penarik tali adalah pihak yang memiliki kontrol atau pengaruh terhadap keputusan pejabat pemerintahan. Untuk menjadi seorang penarik tali, sang pejabat harus bersedia untuk dikontrol atau diarahkan.
Singkatnya, JK harus mampu meyakinkan Anies untuk bersikap kooperatif dan memiliki kompromi besar terhadap kepentingan partai politik.
Kedua, JK dapat menawarkan logistik besar kepada partai politik sebagai bayaran dukungan. Mengutip sosiolog Jerman, Georg Simmel dalam bukunya The Philosophy of Money, skenario itu dapat terjadi karena uang telah bertransformasi menjadi alat tukar nilai-nilai personal – money equivalent of personal values.
Uang tidak hanya dapat membeli barang dan jasa, melainkan juga membeli nilai, seperti kesetiaan, dukungan, hingga rasa maaf.
Dalam acara Total Politik, Panda Nababan memberi secercah sinar harapan. Panda memang mengakui duet Anies-Puan sulit terjadi karena PDIP pasti mengincar capres. Namun, duet Puan-Anies alias menempatkan Anies cawapres bukan menjadi pintu yang tertutup.
Nah, sekarang kuncinya ada pada Jusuf Kalla. Skenario mana yang akan dilakukan? Atau mungkin, kedua skenario itu akan dijalankan bersamaan? Kita tidak mengetahuinya. Itu adalah pengetahuan para elite di belakang layar.
Yang jelas, jika benar JK berusaha memasarkan Anies ke partai-partai politik, khususnya PDIP, itu akan menjadi ajang pembuktian kehebatan Sang Maestro. (R53)