Totalitas dan kecintaan Megawati Soekarnoputri pada PDIP, boleh jadi perusak hubungannya dengan anggota keluarga. Hal sama juga membuat Benazir Bhutto meninggal mengenaskan.
PinterPolitik.com
[dropcap]“B[/dropcap]ekerjalah sampai pingsan, tidak ada waktu istirahat.” Ungkapan tersebut tidak keluar dari seorang pemimpin sebuah perusahaan, melainkan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Bagi perempuan berusia 71 tahun tersebut, menjaga konsistensi dan tak terbuai dengan perolehan tinggi elektabilitas PDIP adalah kunci utama menjaga kesuksesan partai.
Walau secara sekilas Megawati terkesan sebagai seorang pemilik perusahaan, setidaknya cinta dan baktinya sangat kental terasa di partai berlambang banteng tersebut. Bagaimana tidak, dirinya rela mengambil risiko melanggar konsensi keluarga soal terjun ke dunia politik. Pelanggaran tersebut bahkan berbuah permusuhan antar darah yang berlangsung hingga kini.
Bukan rahasia lagi bila Rachmawati Soekarnoputeri, anak ketiga Soekarno, punya sebentuk ‘kekesalan tak berujung’ pada kakaknya. Hal ini berkaitan dengan keputusan Megawati menerima ‘pinangan’ Soerjadi, anak buah Soeharto yang berkhianat, untuk masuk ke PDIP di tahun 1980-an.
Padahal, kelima anak Soekarno dari pernikahannya dengan Fatmawati, sudah membuat perjanjian untuk tak terlibat di dunia politik seperti halnya ayahanda mereka, karena trauma kudeta. Selain trauma, alasan lainnya adalah saat itu tak ada satu partai politik yang punya landasan ideologi bentukan Soekarno, Marhaenisme. Kemungkinan untuk membuat partai atau terjun ke politik, hanya bisa dilakukan jika Soeharto tumbang.
Tetapi tanpa pertimbangan lebih jauh dengan keluarganya, Megawati bersedia masuk PDI melalui Soerjadi. Saat itu, Megawati diberi jabatan sebagai Wakil Ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Di saat konsensus keluarga masih berlaku, Megawati didapuk sebagai duplikasi Soekarno dan diberi tempat sebagai juru kampanye PDI. Secara perlahan, citra PDI mulai terdongkrak dengan nama besar Soekarno yang menempel pada Megawati.
Dari sana, Megawati berhasil melaju sebagai legislatif DPR dari penempatan Dapil Jawa Tengah. Kemenangan Megawati tersebut, meningkatkan suara PDI dan menambah 40 kursi pada Pemilu 1987. Di balik kegemilangan itu, Megawati ternyata dikunci supaya tidak bisa mengotak-atik kondisi internal partai. Dirinya secara sederhana memang ditempatkan sebagai pendongkrak suara serta juru bicara di DPR saja, dan tak diberikan porsi sebagai pengurus dalam struktur DPP dan Fraksi DPR.
Di tahun 1996, PDI terpecah menjadi dua, yakni kubu Megawati dan kubu Soerjadi. Hal ini menjurus pada peristiwa yang disebut sebagai Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli, sebuah usaha mengambil alih paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai pendukung Megawati.
Megawati sendiri juga mempengaruhi loyalisnya untuk golput, sehingga PDI hanya mampu mengantongi 11 kursi di DPR. Setelah Soeharto tumbang, Megawati mendeklarasikan PDI Perjuangan, logonya dibuat mirip dengan PDI ala Soerjadi, tetapi logo banteng dibuat lebih gemuk. Perbedaan logo yang sepele itu, ternyata membawa perubahan signifikan, PDIP mampu meraup angka sebanyak 153 suara.
Kini, sudah hampir 25 tahun Megawati duduk sebagai Ketua Umum PDIP. Selama itu pula intrik, konflik, dan polemik mewarnai perjalanannya mempertahankan PDIP. Wajar pula bila Megawati punya rasa cinta berlebih pada PDIP, mengingat jatuh-bangun dirinya bersama Partai Merah tersebut.
Mulai dari perseteruan dengan Rachmawati, sang adik, bersitegang dengan SBY, menjaring loyalis hingga jutaan suara, hingga tangis yang sering jatuh menyemangati para kadernya. Ulang tahun PDIP ke-45 yang berlangsung pada 10 Januari lalu, adalah bukti kesekian kalinya Megawati meneteskan air mata, “Nyalakan api pergerakan, satukan diri, singsingkan lengan, kepalkan tangan persatuan, dan gemakan pekik merdeka sejati. Karena tujuan kita adalah Indonesia Raya. Merdeka, merdeka, merdeka!”
Dalam kurun waktu 25 tahun, Megawati sudah mengarungi bahtera politik bersama dengan PDIP. Tentu saja membutuhkan cinta dan dedikasi yang tak main-main untuk terus membuat PDIP bertahan. Bila menengok jenis cinta yang digariskan kebudayaan Yunani Kuno, kecintaan Megawati kepada PDIP bisa masuk ke dalam tipe cinta storge.
Storge, menggambarkan jenis cinta yang dilandasi dengan empati alami (natural emphaty). Dalam tingkatan hubungan sosial yang lebih luas dari dua orang (monogami) atau keluarga, jenis cinta storge adalah jenis cinta yang menggambarkan situasi mencintai sang ‘tiran’ atau mereferensi kecintaan seseorang terhadap sebuah negara, komunitas, atau tim sepak bola favorit.
Cinta dan segala usaha Megawati bisa dikaitkan pula dengan apa yang pernah disebutkan oleh Ibnu Khaldun, yang diistilahkan dengan ashobiyah. Secara bahasa, kata tersebut bermakna “teman yang sangat mengikat dan akrab”. John L. Esposito, pengkaji Islam kontemporer, dalam Ensklopedi Dunia Islam Modern menjelaskan bahwa ashobiyah sangat terkait dengan ikatan sosial-budaya dan dapat berfungsi sebagai pengukur kekuatan kelompok sosial.
Tetapi, berbeda dengan gambaran John L. Esposito, Ibnu Khaldun langsung menekankan bahwa ashobiyah adalah bentuk solidaritas sosial yang menjurus pada bentuk fanatisme. Nah, apakah bentuk pengabdian Megawati kepada PDIP di satu titik bisa dilihat sebagai bentuk kecintaan yang natural, seperti apa yang digambarkan kebudayaan Yunani Kuno? Dan di titik lain, tak menutup kemungkinan bila apa yang dilakukan Megawati menjurus kepada bentuk fanatisme ashobiyah.
Mengulik sepak terjang Megawati dalam partai, mengingatkan pula pada kisah Benazir Bhutto di Partai Rakyat Pakistan (PPP). Kecintaan Bhutto dalam dunia politik bersama PPP, sayangnya mengantarkan politisi Pakistan tersebut berujung pada kematian tragis.
PPP, Cinta Trah Bhutto
Sosok Megawati memang biasanya sering dibandingkan dengan sosok Aung Sang Suu Kyi dari Myanmar. Latar belakang sosok ayah yang dianggap sebagai “Bapak Bangsa” di negara masing-masing dan nama yang ditinggalkannya, membuat Megawati dan Suu Kyi digadang sebagai penerus suara dan ideologi ayahnya.
Tetapi bila menengok bakti dan cinta yang ditanamkan pada Megawati kepada PDIP – yang di titik tertentu, merusak hubungan dengan orang lain. Bakti dan cinta Benazir Bhutto pada politik dan PPP, malah ‘merusak’ dirinya sendiri
Benazir Bhutto, seperti halnya Megawati, dan Suu Kyi, juga memiliki ayah yang disebut sebagai “Pendiri Bangsa” di Pakistan. Ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto, adalah sosok pembaharu yang digulingkan dalam sebuah kudeta dan mati digantung di tahun 1977.
Partai tunggangan Benazir adalah Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang berdiri tahun 1968. Partai ini mengusung jargon populis berbunyi, “Islam kepercayaan kami, demokrasi kebijakan kami, sosialisme ekonomi kami, kekuatan untuk rakyat”. Di awal berdirinya partai, PPP juga bergerak dengan menjanjikan rakyat Pakistan ketersediaan sandang, pangan, papan (roti, kapra aur, makan).
Dalam usaha menggalang suara dari rakyat, Zulfikar Bhutto terlibat bentrok dengan Presiden India saat itu, yakni Ayub Khan. Ia harus dipenjara selama tiga bulan. Di dalam penjara itulah, sang ayah menulis surat pada Benazir yang masih berusia 15 tahun, untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Tak menunggu lama, Benazir langsung mengambil studi Pemerintahan Komparatif di Universitas Harvard pada usia 16 tahun, usia yang dianggap kepalang muda untuk universitas. Sang ayah menggunakan relasi pertemanan yang dimilikinya dengan John Kenneth Galbraith profesor ekonomi Harvard, untuk menjadi ‘penjaga’ Benazir di Harvard.
Walau Bhutto pernah menyebut masa empat tahun menuntut ilmu di Harvard adalah masa terindah, sumber lain menyatakan bahwa Bhutto sebetulnya juga menghadapi kesulitan menyesuaikan hidupnya di sana. Sehingga selama semester pertama, Bhutto hanya bisa menangis. Namun begitu, ia bisa bangkit dan aktif dalam kampanye anti Perang Vietnam, hingga gerakan gelombang kedua Feminisme Amerika Serikat.
Setelah ayahnya dieksekusi di tahun 1977, Benazir ditunjuk sebagai pengganti ayahnya di PPP. Dirinya juga berkoalisi dengan parpol lain, seperti Liga Partai Muslim, Partai Demokrasi Pakistan, Partai Mazzdoorkisan Pakistan, dan lain-lain. Melalui PPP, Benazir mampu terpilih sebagai perdana menteri perempuan pertama di negara Muslim.
Tak hanya itu, Benazir juga mengubah arah gerak PPP yang sebelumnya berhaluan sosialis demokrat, menjadi liberal ala Thatcherian. Hal ini sempat mengundang kritik keras dari koalisi partai Islam konservatif mengenai arah ideologi serta kepemimpinan perempuan yang masih dianggap tabu. Tapi apa daya, ternyata popularitasnya masih sangat tinggi, sehingga ia terpilih kembali sebagai Perdana Menteri pada kali kedua di periode 1993 – 1997.
Perjalanannya bersama PPP, perlahan menuju ke arah ‘kegelapan’ di tahun 2007. Setelah mengadakan kampanye PPP, sebuah ledakan dan tembakan menewaskan Benazir. Kematiannya tentu mengundang geram, penasaran, dan reaksi meledak dari rakyat dan juga loyalis PPP. Tak hanya kecaman pada Presiden Musharraf, PBB juga menurunkan tim untuk mengusut kematian Benazir.
Pada akhirnya, seperti halnya yang terjadi pada sang ayah, kecintaan Benazir dan Zulfikar Bhutto pada politik dan PPP, membawanya pada kematian tragis.
Cinta, Dedikasi, atau Haus Kuasa?
Persamaan yang ada pada Benazir dan Megawati, memang terletak pada posisinya sebagai perempuan pertama yang menjadi pemimpin di negara mayoritas Muslim di negara dunia ketiga. Kedua ayah mereka juga pendiri bangsa, memiliki loyalis, dan partai politik berpengaruh.
Megawati tak menurunkan trah berada di PDIP karena permintaan Bung Karno, seperti halnya Zulfikar kepada Benazir, serta Benazir kepada Bilawal, anak laki-lakinya. Tetapi, masuknya Megawati di dunia politik dan berkuasa di PDIP hingga lebih dari 20 tahun, sangat bergantung pada nama besar sang ayah.
Bila bukan cinta jenis storge atau ashobiyah, yang lebih menjurus ke arah fanatisme, risiko dan turun naik hubungan Megawati dan Benazir Bhutto dalam partai politiknya, adalah bentuk totalitas. Totalitas atau holisme pernah disebutkan Louis Althuser sebagai sebuah efektifitas. Dalam pengertian yang lebih luas, totalitas menggambarkan sebuah hubungan internal sebagai sebuah entitas yang terputus dengan apapun yang berada di luar dirinya. Terputusnya dengan hubungan yang ada di luar, malah menjadikan totalitas sebagai sesuatu yang komplit.
Keberadaan Benzir dan Megawati saat berada di dalam partai politiknya, menggambarkan bakti dan totalitas. Megawati ‘memutus’ respon dan konsensi keluarga untuk maju bersama PDI dan PDIP, sementara Benazir juga ‘memutus’ alur ideologi yang dibangun oleh Ayahnya, sosialisme menjadi liberalisme, dan berkoalisi dengan partai Islam. Bentuk totalitas itu, akhirnya berhasil membuat PDIP saat ini menjadi partai dengan elektablitas tertinggi, serta membawa PPP di Pakistan menjadi partai pembaharu dengan pemimpin perempuan pertama, bahkan sosok Benazir Bhutto menjadi inspirasi utama untuk Malala Yosafzai.
Walau keduanya bisa bergerak secara total menunjukkan bakti kepada partai politiknya, baik Megawati dan Benazir, sama-sama sulit melepaskan label dari trah ayahnya. Rekam jejak yang baik dan buruk, ikut melekat pada partai yang dipimpin oleh dua tokoh tersebut.
Pada akhirnya hubungan Megawati dan Benazir kembali pada sebuah parafrase yang terkenal, “all is fair in love and politics”, semua hal bisa adil di mata cinta dan politik. Permusuhan antar saudara karena dendam sekaligus perebutan kekuasaan yang terjadi pada Megawati dan Rachmawati, serta preseden korupsi dan nepotisme mengakar yang ditinggalkan Benazir Bhutto, pada akhirnya menjadi ‘fair’ atau adil adanya di mata politik dan ‘cinta’ mereka pada partai politiknya. (A27)