Mengawali 2020, Banyak catatan yang mewarnai dinamika sosial dan politik di sepanjang tahun 2019 yang bisa dijadikan refleksi.
PinterPolitik.com
Setelah melewati dinamika sosial-politik yang melelahkan, kini saatnya kita lakukan refleksi sosial bersama atas sejumlah peristiwa mulai dari pertikaian politik, fitnah sosial, penyebaran hoaks yang memicu salah paham, hingga aneka konflik sosial sepanjang 2019.
Anthony Giddens dalam The Constitution of Society menyebut refleksivitas atau yang ia sebut reflexive monitoring of action sebagai sebuah tindakan sadar (purposive) oleh apa yang dilakukan sang agen (manusia).
Sementara, Emma Tseris dalam Critical Reflection: Generating Theory from Practice, mengartikan refleksi (kritis) sebagai upaya mengungkap kembali apa yang telah kita lalui begitu saja tanpa sebuah introspeksi maupun evaluasi, sekaligus pengungkapan bentuk-bentuk relasi kuasa yang terselubung.
Tindakan refleksif, pasalnya, merupakan sebuah tindakan yang melibatkan kesadaran untuk menimbang apa yang telah, atau yang akan dilakukan seseorang dalam kehidupan aktualnya. Karenanya, refleksivitas menjadi tolok ukur kesadaran manusia mengintrospeksi setiap laku perbuatannya.
Demikian, upaya refleksivitas sosial bertujuan meninjau kembali potongan-potongan peristiwa sosial yang perlahan memicu keretakan sosial atau bahkan membawa dampak disrupsi negatif akibat benturan sosial yang melanda masyarakat sepanjang kontestasi politik 2019.
Peristiwa keterbelahan sosial selama menjelang Pilpres 2019, misalnya, telah menciptakan polarisasi masyarakat ke dalam dua kutub yang kemudian ditipifikasi menjadi istilah ‘cebong’ (simpatisan Jokowi-Ma’ruf) dan ‘kampret’ (pendukung Prabowo-Sandiaga).
Fenomena cebong vs kampret selama perhelatan Pilpres diakui telah menciptakan ketegangan sosial luar biasa dalam pergaulan masyarakat. Bahkan, tak jarang ketegangan tersebut terbawa hingga ke ruang-ruang privat (keluarga) dan publik (perkantoran, tempat kerja).
Tak hanya itu, kedua kubu juga kerap saling berbenturan fisik akibat meningginya tensi publik menjelang Pilpres. Sebagai contoh, kontak fisik yang melibatkan pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Sandiaga dan Joko Widodo (Jokowi) -Ma’ruf Amin di Sleman.
Selain itu, serangkaian fenomena sosial tak diinginkan seperti intoleransi agama, politik identitas yang memicu segregasi sosial, konflik sosial terbuka hingga sederet permasalahan sosial lainnya juga turut mewarnai hiruk-pikuk dinamika politik sepanjang 2019.
Sebagaimana dilaporkan Imparsial, bahwa sepanjang 2018-2019 terdapat sedikitnya 31 kasus tentang intoleransi agama. Kasus tersebut terdiri dari 12 kasus pelarangan ritual, pengajian, praktik agama dan 11 kasus pelarangan pendirian tempat ibadah.
Sementara, dari Markas Besar Kepolisian Negara RI (Mabes Polri), melaporkan sebanyak 26 kasus yang berkaitan dengan konflik sosial baik secara vertikal maupun horizontal terjadi sepanjang 2019.
Lantas, dari pengalaman pahit tersebut langkah apa yang perlu didorong untuk memulihkan kembali tatanan sosial yang sudah porak-poranda tersebut?
Merawat Social Capital
Dalam kajian sosiologi, tatanan sosial diandaikan seperti sebuah sistem tata surya tempat semua benda-benda langit saling terhubung secara harmonis dan berada dalam keseimbangannya. Demikian halnya dengan tatanan sosial yang di dalamnya mencakup aneka unsur atau elemen sosial yang saling terkoneksi satu sama lain secara fungsional dan senantiasa berada dalam keseimbangan.
Pertanyaannya, mengapa setiap elemen sosial itu tidak tercera-berai? Jika keseimbangan tata surya dipengaruhi hukum gravitasi, bagaimana dengan keteraturan sosial? Apakah tatanan sosial juga memiliki hukum tersendiri? Inilah pertanyaan penting yang akan dijawab dalam tulisan ini.
Adalah sosiolog Emile Durkheim, menyebut kepatuhan terhadap norma-norma sosial membuat masyarakat mampu menghadirkan sebuah keteraturan sosial. Konsep klasik ini masih tetap diyakini para sosiolog hingga sekarang, terlepas dari segala perdebatannya.
Menimbang pentingnya menanamkan kesadaran kepatuhan terhadap norma yang ada, setiap individu diharuskan untuk menyerap (internalisasi) nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat dan bertindak menurut batasan-batasan norma tersebut. Jika ada individu tersebut menyimpang (deviance), maka ia akan dicap melawan kaidah-kaidah sosial yang berlaku dan akan dikenakan sanksi.
Namun, dalam perkembangannya, konsep-konsep baru tentang pentingnya merawat keteraturan sosial dalam kajian sosiologi terus bermunculan. Salah satu yang paling populer adalah kajian tentang social capital (modal sosial). Konsep tersebut dalam kajian sosiologi lebih banyak disumbang oleh tiga sosiolog terkemuka, James S. Coleman, Robert Putnam, dan Pierre Bordieu.
Sederhananya, modal sosial diartikan sebagai keseluruhan jaringan sosial, norma, dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat yang menjadi penentu kohesivitas sosial.
Amanda Schultz & Monica Cuneo dalam Networks, Resources, and Trust: What Does Social Capital Mean to Public Health? menulis, istilah modal sosial merujuk pada sumber daya yang dimiliki oleh individu atas masyarakat sebagai hasil dari kepemilikan jaringan atau hubungan dengan orang lain. Salah satu manfaat dari modal sosial ialah dapat memperkuat ikatan sosial dan kerja sama antar kelompok sosial.
Lanjut Amanda Schultz & Monica Cuneo, modal sosial sendiri memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai pengikat (bonding), penghubung (bridging), dan penyambung (linking) tatanan sosial sosial.
Senada dengan itu, David C. Rose dalam Social Capital, Trust, and Economic Behavior menyebut arti penting modal sosial bagi kehidupan masyarakat ialah karena ia mampu memberi solusi di saat persoalan yang terjadi di masyarakat tak mampu diselesaikan baik oleh mekanisme pasar, institusi-institusi, ataupun pemerintah.
Sedangkan, menurut Tristan Claridge dalam Social Capital and Natural Resource Management, terma modal sosial merujuk pada kepercayaan sosial, norma, dan jaringan yang dimiliki masyarakat dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lazim terjadi di masyarakat.
Terakhir, Francis Fukuyama dalam Social Capital and Development, The Coming Agenda, mengatakan modal sosial adalah apa yang memungkinkan setiap individu untuk bersatu dalam mempertahankan kepentingan mereka dan mengorganisasikan kebutuhan-kebutuhan kolektif.
What is to be Done?
Lantas, apa yang harus dilakukan agar kerapuhan sosial yang terjadi akibat perseteruan politik, dapat kembali pulih seperti sedia kala?
Tentu saja langkah yang perlu diambil tiada kecuali menginjeksikan kembali keterlepasan modal sosial yang selama ini telah dan sedang mengakar dalam masyarakat.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur keterkikisan modal sosial ialah melalui pengamatan langsung terhadap indeks kesalingpercayaan antara satu entitas sosial – kelompok, etnis, agama, dsb. – dengan yang lain, ikatan-ikatan sosial di tingkat akar rumput, derajat kerukunan sosial, serta kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku.
Variabel-variabel sosial yang disebutkan merupakan elemen penting dalam penerapan konsep modal sosial. Jika merujuk pada indeks kerukunan umat beragama (KUB) yang dirilis Kementerian Agama (Kemenag) 2019, menempati angka 73,83 persen alias tergolong sedang.
Hal itu mengacu pada standar nilai yang ditetapkan, di mana untuk score tertinggi berada di angka di atas 80, angka sedang di kisaran 60-80, dan rendah di posisi 40 ke bawah. Dengan begitu, dapat disimpulkan, indek KUB di Indonesia pada 2019 berada di level sedang.
Level tersebut tentu saja bukan level yang aman. Pemerintah perlu mencari cara untuk mendorong indeks kerukunan beragama – sebagai salah satu variabel modal sosial – di angka yang lebih tinggi jika ingin benar-benar memperkokoh fondasi masyarakat.
Apalagi, masih mengacu pada survei Kemenag, sebaran tingkat KUB tidak merata di setiap daerah. Sebagai contoh, indeks KUB di Papua Barat mampu mencapai 80 persen (tinggi), sementara di Aceh hanya menempati angka 60 (sedang).
Di tengah tantangan pemerintah memperkuat basis social capital, terdapat sejumlah kebijakan bahkan produksi wacana – dari pemerintah – yang dikhawatirkan membingungkan proses rehabilitasi modal sosial.
Sebagai contoh, beberapa orang mempertanyakan wacana radikalisme yang belakangan masif digencarkan pemerintah. Oleh kalangan seperti Fadli Zon, wacana ini dianggap dapat menimbulkan potensi pecah belah.
Untuk itu, pemerintah juga perlu bijaksana dalam menyikapi setiap persoalan yang ada. Jangan sampai, niat baik untuk mencegah terjadinya penyimpangan di masyarakat berubah menjadi masalah baru. (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.