Calon presiden (capres) Anies Baswedan yang berjanji membangun stadion bertaraf internasional di Banjarmasin dan Makassar menjadikan dirinya sebagai capres yang identik dengan sepak bola. Hal itu membuat Anies kiranya menjadi capres yang paling sering memainkan “gimik” dalam mengemas dirinya. Benarkah demikian?
Calon presiden (capres) nomor urut satu, Anies Baswedan pada Selasa, kemarin lusa, melakukan kampanye di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel). Dalam kampanyenya, Anies melakukan dialog dengan ratusan mahasiswa dan milenial.
Dalam dialog itu, Anies berjanji membangun stadion bertaraf internasional di Banjarmasin agar tim kesayangan masyarakat Banjarmasin, Barito Putera bisa memiliki stadion yang berstandar internasional.
Terlebih lagi, Stadion 17 Mei Banjarmasin masih dalam proses rehabilitasi dan belum maksimal digunakan untuk pertandingan berskala nasional dan internasional.
Bahkan, Anies telah menyiapkan nama untuk stadion yang kiranya nanti akan dibangun, yakni Wasaka yang merupakan kepanjangan dari pepatah setempat “Waja Sampai Kaputing” yang memiliki arti usaha sampai akhir.
Ternyata, Anies bukan hanya berjanji membangun stadion bertaraf internasional di Kota Banjarmasin. Tapi, juga di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Anies beranggapan jika sebuah stadion dibangun bukan hanya untuk kegiatan sepak bola saja, namun juga untuk kegiatan budaya, hingga seni.
Keyakinan Anies cukup tinggi dalam membangun stadion internasional di Banjarmasin dan Makassar karena dia berhasil membangun Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta.
Lebih lanjut, selain di Banjarmasin dan Makassar, Anies mengatakan bahwa dirinya akan membangun beberapa stadion lagi di delapan kota lainnya.
Atas dasar itu, Anies tampaknya sedang mengidentikkan dirinya dengan sepak bola. Selain masalah rencana pembangunan stadion dibeberapa kota jika terpilih, Anies juga memberi nama tim sukses (timses) mereka dengan nama Timnas yang identik dengan sepak bola
Lantas, mengapa Anies lebih memilih untuk mengidentikan diri dengan sepak bola dalam berkampanye?
Incar Loyalitas?
Sepak bola terkenal dengan loyalitas dari para pendukungnya. Fanatisme kelompok pendukung sepak bola inilah yang tampaknya membuat Anies tertarik untuk memanfaatkannya menjadi sebuah dampak elektoral.
Kalmer Marimaa menjelaskan dalam tulisan yang berjudul The Many Faces of Fanaticism, bahwa secara umum fenomena fanatisme bisa mengarah ke arah positif, netral, hingga destruktif.
Hal itu dikarenakan fanatisme adalah sebuah fenomena yang sudah tidak asing dengan kegiatan manusia.
Imbas dari fanatisme kemudian terciptalah sebuah labelling yang berbeda dengan orang lain. Misalnya, seseorang yang dianggap sebagai pelaku kejahatan namun di mata para pendukungnya, sosok tersebut dianggap sebagai pahlawan.
Dalam hal sepak bola, misalnya, dengan fanatisme yang tinggi bisa menjadi daya tarik tim-tim atau pemain-pemain top luar negeri untuk bermain sepak bola di Indonesia.
Anies tampaknya sadar dengan fanatisme penggemar sepak bola, dirinya bisa mendapatkan massa yang cukup besar. Ditambah lagi, janji Anies yang akan membangun stadion bertaraf internasional di beberapa kota.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kiranya menyadari salah satu permasalahan utama sepak bola Indonesia adalah infrastruktur, termasuk stadion. Banyak stadion di Indonesia masih belum memenuhi standar internasional.
Dengan menebar janji terkait pembangunan stadion tampaknya membuat atensi para penggemar sepak bola di Indonesia akan tertarik kepadanya.
Hal ini kemudian diharapkan membuat elektabilitas atau bahkan perolehan suara Anies nantinya akan melonjak, dan dapat memenangkan kontestasi elektoral 2024 mendatang.
Anies Jago Gimik?
Fenomena fanatisme kiranya dapat dipastikan berpeluang dimanfaatkan oleh para aktor politik seperti Anies untuk membuat diri mereka menarik di mata masyarakat.
Erving Goffmann dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, terdapat sebuah penekanan terhadap istilah impression management.
Secara garis besar impression management menjelaskan tentang suatu pembentukan persepsi yang dilakukan oleh seseorang dengan strategi yang cenderung lebih halus, sehingga objek yang didekati merasa nyaman.
Aktor politik akan menggunakan cara tersebut untuk mengeksploitasi sesuatu yang mempunyai basis penggemar fanatik, dalam hal ini sepak bola. Hal itu pula yang kiranya sedang coba diterapkan oleh Anies.
Dengan keberhasilannya membangun JIS membuat Anies akan terus mencitrakan dirinya dekat dengan kalangan sepak bola. Meskipun, pada kenyataannya belum tentu demikian.
Dalam tulisan yang berjudul Sepak Bola Sebagai Bentuk Komunikasi Politik Indonesia karya Kiki Esa Perdana, perilaku semacam itu dari aktor politik akan menimbulkan sebuah asumsi politik.
Asumsi politik itu kurang lebih menyebutkan bahwa siapa pun aktor politik yang mampu dekat dengan satu tim sepak bola, maka sikap dari aktor politik tersebut akan dinilai positif oleh khalayak.
Namun, asumsi politik itu juga harus didukung oleh kekuatan penggiringan opini publik dari sang aktor politik.
Keberhasilan membangun opini publik adalah kunci dari terbentuknya dukungan dari khalayak dalam komunikasi politik, mengingat pendapat umum sangat sensitif terhadap masalah yang menyangkut kepentingan dan dirasakan oleh masyarakat luas.
Well, menarik untuk menunggu sejauh mana efek elektoral yang akan didapatkan oleh Anies dari impression management terkait dengan sepak bola, terkhusus pembangunan stadion bertaraf internasional. (S83)