Dalam beberapa bulan terakhir, pasangan Prabowo-Gibran selalu berada “di atas angin” karena tempati posisi pertama dalam hasil survei yang dirilis beberapa lembaga. Namun, pasangan nomor urut 2 itu kiranya jangan terlalu percaya diri dan harus tetap waspada terhadap kandidat lain jika tidak mau berakhir anti-klimaks. Mengapa demikian?
Mungkin beberapa penggemar sepak bola ingat akan kejadian Miracle of Istanbul yang terjadi di Final Liga Champions Eropa tahun 2005 antara AC Milan melawan Liverpool FC.
Saat itu, AC Milan yang sudah unggul tiga gol tanpa balas di babak pertama, kemudian menerima comeback dari Liverpool FC yang pada akhirnya keluar menjadi juara.
Fenomena itu bukan tidak mungkin akan terjadi dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Menjelang pesta demokrasi tahun 2024 mendatang, beberapa lembaga survei telah sering kali merilis beberapa data hasil survei elektabilitas para kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Dalam beberapa bulan terkahir, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selalu tempati posisi pertama survei elektabilitas.
Hal ini jelas membuat pasangan itu mungkin merasa semakin mantap untuk menatap hari pemilihan yang akan digelar 14 Februari mendatang.
Namun, secara mengejutkan dalam hasil survei terakhir yang dilakukan lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) periode 13-18 Desember 2023 menunjukkan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menempel perolehan Prabowo-Gibran di beberapa daerah.
Di wilayah Pulau Sumatera, Anies-Cak Imin menempel ketat Prabowo-Gibran dengan 34,4 persen melawan 36,5 persen.
Bahkan, di DKI Jakarta dan Banten, perolehan kedua pasangan itu sama di angka 35,2 persen. Meskipun begitu, secara keseluruhan pasangan Prabowo-Gibran masih tempati posisi teratas dengan 43,7 persen.
Meskipun begitu, hal ini kiranya menjadi sebuah “tanda bahaya” bagi pasangan nomor urut 2 yang selama ini selalu menempati peringkat pertama survei untuk tetap bekerja keras dalam meyakinkan masyarakat agar memilih mereka.
Jika pasangan itu tidak waspada akan pergerakan yang dilakukan para lawan politiknya, bukan tidak mungkin mereka akan terkena comeback dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti, seperti kejadian Miracle of Istanbul.
Lantas, apa akibatnya jika pasangan Prabowo-Gibran merasa “di atas angin”?
Kehilangan Objektivitas?
Dalam dunia politik, keyakinan atau kepercayaan diri bisa menjadi sebuah senjata ganda. Kepercayaan diri yang sehat dapat menjadi kekuatan bagi seorang kandidat. Terlalu banyak akan dapat dengan cepat menjadi bumerang yang merugikan.
Pada pemilihan umum, kepercayaan diri yang berlebihan sering kali dapat merusak citra seorang kandidat dan mengurangi dukungan publik yang mereka harapkan.
Seorang kandidat yang percaya diri seringkali dapat mempengaruhi pendukung dan pemilih dengan pesan yang tegas dan karismatik.
Kepercayaan diri yang sehat seringkali memancarkan otoritas, keyakinan, dan kejelasan visi. Ini bisa menjadi magnet bagi para pemilih yang mencari pemimpin yang tegas dan yakin.
Namun, ada titik di mana kepercayaan diri tersebut bisa menjadi terlalu dominan dan mengakibatkan implikasi yang merugikan.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky dalam bukunya yang berjudul Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases membahas banyak bias kognitif, salah satunya overconfidence bias atau bias terlalu percaya diri.
Bias terlalu percaya diri adalah jenis bias kognitif yang menyebabkan kita berpikir bahwa kita lebih baik dalam beberapa bidang daripada yang sebenarnya.
Bias terlalu percaya diri menyebabkan kita kehilangan perspektif obyektif tentang kemampuan atau pengetahuan kita.
Hal ini dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan membuat kita lebih rentan terhadap kekecewaan.
Dalam konteks Prabowo-Gibran, bias terlalu percaya diri dikhawatirkan akan menghilangkan obyektivitasnya dalam memandang sesuatu, bahkan bisa menjadi bumerang bagi mereka.
Salah satu akibat dari bias terlalu percaya diri adalah kemungkinan kehilangan keterhubungan dengan kebutuhan dan keinginan pemilih.
Mereka mungkin terlalu yakin bahwa mereka tahu apa yang terbaik tanpa benar-benar mendengarkan atau memahami kekhawatiran masyarakat.
Selain itu, terlalu percaya diri bisa mengaburkan penilaian, membuat kandidat mengambil risiko yang tidak perlu atau membuat pernyataan yang dapat menyinggung kelompok pemilih tertentu. Ini dapat merusak reputasi mereka dan memicu penurunan dukungan.
Kemudian, terlalu percaya diri mungkin akan membuat Prabowo-Gibran sulit menerima kritik atau masukan dari tim kampanye atau masyarakat umum.
Mereka mungkin merasa bahwa pendapat mereka adalah satu-satunya yang benar, tanpa memberikan ruang bagi perspektif lain yang dapat memperbaiki strategi.
Terakhir, terlalu percaya diri bisa membuat Prabowo-Gibran kurang mempersiapkan diri untuk debat atau penampilan publik yang krusial.
Mereka bisa saja meremehkan lawan politiknya atau isu-isu yang penting, yang dapat berujung pada penampilan yang lemah di hadapan publik.
Pasangan nomor urut dua ini tampaknya juga perlu ingat jika elektabilitas yang selama ini mereka peroleh tak lepas dari narasi keberlanjutan atas program-program Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membuat coattail effect kepada mereka.
Salah satu variabel yang mungkin saja membuat Prabowo-Gibran merasa sangat percaya diri adalah koneksinya dengan Presiden Jokowi. Namun, hal ini agaknya tak bisa selalu dikaitkan positif. Mengapa demikian?
Prabowo dan Jokowi Tetap Berbeda?
Meskipun Prabowo-Gibran selalu mengusung tema keberlanjutan dalam setiap kampanye mereka, namun tampaknya itu hanya demi mengharapkan coattail effect dari approval rating Presiden Jokowi.
Untuk memahami fenomena yang terjadi atas narasi keberlanjutan yang diusung oleh pasangan nomor urut 2 ini, kita bisa berkaca dari istilah pada zaman Yunani Kuno, yakni Kapal Theseus.
Kapal Theseus adalah eksperimen pemikiran tentang apakah suatu benda, setelah semua komponen aslinya diganti, tetap menjadi benda yang sama.
Dalam mitologi Yunani, Theseus , raja pendiri Athena dalam mitos Yunani, menyelamatkan anak-anak Athena dari Raja Minos setelah membunuh minotaur dan kemudian melarikan diri ke kapal menuju Delos.
Setiap tahun, orang Athena memperingatinya dengan menaiki kapal berziarah ke Delos untuk menghormati Apollo.
Sebuah pertanyaan diajukan oleh para filsuf kuno: “Setelah beberapa abad pemeliharaan, jika setiap bagian dari Kapal Theseus diganti, satu per satu, apakah kapal itu masih sama?”
Dalam filsafat kontemporer, eksperimen pemikiran ini mempunyai penerapan pada studi filosofis tentang identitas dari waktu ke waktu, dan telah mengilhami berbagai usulan solusi dan konsep dalam filsafat pikiran kontemporer yang berkaitan dengan kegigihan identitas pribadi.
Meskipun Prabowo selalu mengusung narasi akan lanjutkan program Jokowi, namun yang harus dipahami adalah Prabowo dan Jokowi adalah sosok yang berbeda.
Jadi, Prabowo-Gibran kiranya jangan terlalu jumawa dengan coattail effect Jokowi karena nantinya permasalahan dan juga solusi setiap pemerintahan akan berbeda.
Well, menarik untuk ditunggu apakah Prabowo-Gibran akan menjadi terlalu jumawa atau percaya diri dengan dukungan coattail effect Jokowi. (S83)