Kasus penganiayaan yang dilakukan anak pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo menjadi titik awal terkuaknya transasksi keuangan janggal fantastis. Pejabat negara Sri Mulyani hingga Mahfud MD pun sampai harus turun gunung. Lantas, mengapa baru sekarang pemerintah dan penegak hukum aktif bertindak setelah dipantik oleh serangkaian kasus yang viral?
Beberapa waktu lalu, publik tanah air sempat dihebohkan dengan viralnya penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio, anak dari seorang pegawai eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo.
Menariknya, kasus penganiayaan Mario justru menyeret banyak sekali permasalahan yang melibatkan lembaga keuangan negara. Diketahui. Mario memamerkan gaya hidup mewahnya di media sosial sehingga menimbulkan kecurigaan publik atas harta kekayaan yang dimiliki pejabat Kemenkeu.
Sebagai buntut atas permasalahan ini, Rafael Alun kemudian menjadi sorotan publik setelah Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya kepemilikan harta kekayaan milik Rafael mencapai Rp56 miliar.
Padahal, sebagai pejabat eselon III, bisa mengumpulkan uang sebanyak itu cukup sulit untuk terjadi tanpa faktor lain.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan menyampaikan pejabat eselon III memiliki gaji hanya Rp4,7 juta dan tunjangan Rp46,4 juta per bulannya.
Artinya, butuh waktu nyaris 100 tahun bagi Rafael sebagai pegawai pajak eselon III untuk mengumpulkan harta mencapai Rp50-an miliar.
Bak efek domino, harta fantastis Rafael turut memantik rasa keingintahuan publik untuk membongkar kondisi rekening para pejabat di jajaran Kemenkeu lainnya.
Isu minor terkait Kemenkeu nyaris selalu masuk dalam daftar topik terbanyak dibicarakan di linimasa setiap harinya. Atensi publik yang tinggi itu jelas bukan tanpa alasan. Sebab, sejumlah pegawai Kemenkeu lain juga kedapatan memamerkan gaya hidup mewah.
Kecurigaan khalayak luas semakin menjadi-jadi setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut sebanyak 13.885 pegawai (43,13 persen) di lingkungan Kemenkeu belum menyetor Laporan Harta Kekayaan Negara (LHKPN).
Salah satu diskursus yang muncul adalah presumsi bahwa Menkeu Sri Mulyani seharusnya sudah mengetahui persoalan ini sebelumnya.
Apalagi, Rafael Alun disebut sebagai anggota “Geng Lama” Ditjen Pajak yang masih beraksi, sebagaimana diungkapkan oleh Mantan Kepala PPATK Yunus Husein. Frasa “geng” sendiri digunakan Yunus karena kelompok tersebut diduga beranggotakan sekitar 30 orang.
Yunus menambahkan, jika keberadaan kelompok tersebut sudah dilacak oleh Satuan Tugas Antimafia Pajak sejak tahun 2010. Tetapi ironisnya, mereka ditengarai masih beraksi selama satu dekade lebih.
Selain itu, Yunus mengaku sudah menyerahkan informasi keberadaan kelompok tersebut kepada pihak Kejaksaan, tetapi belum ditindaklanjuti hingga tuntas.
Fenomena ini tentu memancing pertanyaan menggelitik, mengapa upaya penanganan kasus transaksi janggal Kemenkeu ini terlihat baru digalakkan setelah serangkaian kasus yang viral dan ramai dibicakan publik?
Terbiasa Menunggu Viral?
Warganet telah membongkar harta kekayaan dan gaya hidup hedon sejumlah pegawai di lingkungan Kemenkeu. Satu per satu pejabat-pejabat negara lain terus “dikuliti” oleh para penghuni dunia maya.
Setelah Rafael Alun, muncul nama Eko Darmanto, sosok yang menjabat sebagai Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta yang akhirnya dicopot jabatannya. Ia menjadi sorotan karena kerap mengunggah gaya hidup mewahnya berupa koleksi mobil antik di Instagram.
Diketahui, ia memiliki mobil produksi 1950-an dan dua unit rumah. Meskipun Eko memiliki hutang sebesar Rp9 juta, tetapi penghasilan Eko per tahun hanya Rp500 juta.
Kasus serupa kemudian berlanjut ke Andhi Pramono yang merupakan Kepala Bea dan Cukai Makassar. Mirip seperti kasus Rafael Alun, Andhi juga menjadi sorotan lantaran gaya hidup mewah sang anak.
Di akun media sosialnya, anak Andhi kerap mengunggah foto dengan pakaian branded seharga puluhan juta rupiah. Tetapi, PPATK sejauh ini belum mengungkap temuannya terkait jumlah kekayaan Andhi Pramono.
Kasus–kasus tersebut memang booming dan berawal dari viral di media sosial. Tak heran, muncul istilah no viral no justice, yang berarti pelanggaran hukum baru ditangani setelah viral dan menjadi pembicaraan.
Agus Trino dan kawan-kawan dalam jurnalnya yang berjudul The “No Viral No Justice” Paradigm In Getting Access To Justice In Indonesian Community menjelaskan terminologi no viral no justice menjadi pandangan baru dalam menanggapi permasalahan keadilan di Tanah Air.
Akibat perkembangan teknologi informasi, masyarakat dapat mencari informasi terkait pelanggaran atau peristiwa yang terjadi.
Oleh karena itu ungkapan no viral no justice dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengungkap berbagai permasalahan-permasalahan di dalam politik dan pemerintahan.
Utamanya, istilah tersebut muncul sebagai bentuk ungkapan serta sindiran masyarakat untuk memperoleh keadilan atas penegakan hukum di Tanah Air. Selain itu, istilah tersebut juga disebut sebagai refleksi dari pola penegakan hukum selama ini.
Keresahan masyarakat atas keadilan itu tampaknya turut tertuju kepada pemerintah, khususnya Kemenkeu, terkait dugaan penyalahgunaan wewenang pengaturan keuangan negara sehingga menimbulkan ketimpangan di dalam hukum, sebagaimana yang telah dijelaskan asas equality before the law.
Equality before the law menekankan bahwa semua manusia sama dan setara dihadapan hukum, tanpa terkecuali.
Prof. Ramly Hutabarat dalam bukunya Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia menjelaskan bahwa asas ini hampir ditemukan di semua konstitusi negara.
Logisnya, jika di dalam konstitusi hal ini dicantumkan, maka penguasa dan aparat pemerintah sebagai penegak hukum harus melaksanakan serta merealisasikan asas ini dalam kehidupan bernegara.
Hukum juga harus bersifat adil di antara pemerintah dan masyarakat, keduanya sangat terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik penegakan hukum.
Dalam konteks Rafael Alun dan serangkaian isu minor Kemenkeu, dugaan kasus penyalahgunaan wewenang tersebut membuat masyarakat merasakan ketidakadilan.
Salah satunya terkait pembayaran pajak yang menjadi kewajiban warga negara dan semestinya digunakan untuk pembangunan nasional.
Lantas, setelah munculnya permasalahan Rafael Alun dan kasus lainnya, apakah negara dapat dikatakan kurang cakap dalam menjamin keadilan hukum?
Justifikasi Negara Dipertanyakan?
Terdapat sebuah postulat, ketika suatu negara gagal dalam mengimplementasikan hukum, maka justifikasi suatu negara patut dipertanyakan.
Jonathan Wolff dalam bukunya Political Philosophy Introduction menjelaskan tugas menjustifikasi negara adalah untuk membuktikan adanya kewajiban politik universal.
Kewajiban politik universal berarti setiap masyarakat memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum universal yang berlaku di negara tersebut, termasuk dalam mengimplementasikan nilai–nilai hukum yang berlaku.
Menurut Wolff, bentuk kepatuhan warga negara kepada hukum mendasarkan diri pada moralitas.
Misalnya dalam hukum lalu lintas, pengendara wajib berhenti pada saat lampu merah menyala di persimpangan jalan yang sepi, ketika ditanya terkait alasannya, tentu akan menjawab bahwa ini adalah bentuk kepatuhan kepada hukum yang berlaku.
Namun, tentu adakalanya apa yang diperintahkan oleh hukum terkadang justru dibuat keliru atau disalahgunakan secara moral, seperti dalam dugaan kasus Rafael Alun.
Sebagian dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat diduga dialokasikan untuk kekayaan pribadi. Lantas, masyarakat sebagai pembayar pajak agaknya berpikir bahwa kebijakan seperti itu secara moral tidak dapat dibenarkan dan patut untuk dicela.
“Merusak hukum” pun hanya patut dilakukan ketika berada dalam keadaan paling genting dan dalam kasus yang paling serius.
Oleh karena itu, berdasarkan fenomena no viral no justice yang turut tercermin dalam merespons publik atas kasus Rafael Alun, peran pemerintah kiranya masih terlihat tak maksimal dalam mengimplementasikan hukum secara di waktu-waktu sebelumnya.
Kabar dibentuknya satuan tugas (satgas) untuk mengawasi pengungkapan transaksi janggal di Kemenkeu oleh Ketua Komite TPPU Mahfud MD diharapkan dapat menjadi salah satu upaya konstruktif untuk mengungkap kasus secara tuntas dan menyeluruh. (R86)