Politik ketakutan yang disematkan kepada gaya politik Prabowo sering dianggap negatif. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“Within all types of political system, from autocratic, through oligarchic to democratic; leaders have relied on the spoken word to convince others of the benefits that arise from their leadership”
:: Charteris-Black ::
[dropcap]P[/dropcap]idato Kebangsaan Prabowo Subianto dua hari lalu masih menjadi inti perbincangan di berbagai media massa. Prabowo seperti biasanya tampil di depan podium dengan berapi-api. Isi pidatonya keras mengritik pemerintah dengan kalimat-kalimat bombastis dan kontroversial.
Prabowo mengawali pidatonya dengan persoalan ekonomi yang melilit rakyat. Ia menyinggung kasus bunuh diri di sejumlah daerah yang dipicu oleh permasalahan ekonomi. Kemudian Prabowo menyampaikan kesedihan petani tebu akibat banjir gula dari luar negeri, serta berbagai persoalan yang menghantui di sektor lain.
Narasi-narasi ini seringkali digunakan Prabowo dalam pidato politiknya. Bagi banyak kalangan, narasi politik ketakutan seperti yang digunakan oleh Prabowo dianggap sebagai hal yang salah sebab tidak memiliki muatan positif. Narasi politik ketakutan yang demikian sering digunakan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Atas dasar ini Trump sering mendapat cibiran baik dari publik AS sendiri maupun dari masyarakat internasional. Prabowo, oleh karenanya sering diasosiasikan dengan presiden dengan rambut tipis-pirang itu yang senang mengkomodifikasi ketakutan untuk kepentingan politik.
Namun, pertanyaannya adalah apakah politik ketakutan merupakan sesuatu yang perlu dihindari dalam politik atau justru dalam wacana tersebut terdapat kebenaran yang dapat dipetik?
Scaremongering Penting dan Dibutuhkan
Banyak pendapat yang menilai bahwa politik ketakutan atau yang dikenal dengan istilah scaremongering adalah sesuatu yang buruk. Barry Glassner dalam bukunya berjudul The Culture of Fear misalnya menyebutkan bahwa politik ketakutan hanya memanfaatkan ketakutan untuk dukungan kampanye atau memenangkan pemilihan politik.
Sementara sosiolog AS, D. L. Altheide dengan nada sendu berujar bahwa pengkotak-kotakkan dengan narasi ketakutan menyebabkan adanya pembelahan di tingkat masyarakat. Hal itu nampak jelas tergambar dalam Pilpres AS tahun 2016.
Saat Trump memenangkan kursi kekuasaan, ia terbukti menaikkan tingkat kekhawatiran sejumlah golongan di AS, terutama di kelompok muslim dan imigran.
Trump sadar bahwa orang-orang AS terutama yang berkulit putih dari kalangan konservatif dan kelas bawah yang sedang dalam tekanan ekonomi bisa digerakkan untuk memilihnya lewat politik ketakutan.
Ia tiba-tiba memoles diri sebagai “juru selamat” dengan retorika yang mampu menjadi katarsis dari tekanan yang dirasakan oleh kelompok-kelompok tersebut selama ini.
Prabowo dan Trump dalam banyak hal memang sering dimirip-miripkan, termasuk dalam hal gaya politiknya.
Jika dikaitkan dengan Trump, ucapan Prabowo yang menggambarkan rentannya masyarakat melakukan tindakan bunuh diri seperti yang disampaikannya itu membuat publik merasa “takut” serta membutuhkan perlindungan terhadap jaminan ekonomi.
Di titik ini, sebagai strategi kampanye, politik ketakutan tentu sangat efektif untuk mendulang elektabilitas, sekalipun ada dampak lanjutan yang bisa ditimbulkan seperti yang diungkapkan baik oleh Glasner maupun Altheide.
Namun, hal yang berbeda disampaikan oleh konsultan politik untuk Partai Republik AS Alejandro “Alex” Castellanos yang menyebutkan bahwa ketakutan adalah hal yang penting dan dibutuhkan dalam politik.
Ketakutan bisa berfungsi sebagai pertanda dan pengalaman emosi (emotional experiencing) di masa lalu, dan menjadi wake up atau alat penggugah masyarakat. Alex menganalogikanya dengan semacam lampu peringatan saat terjadi kebakaran.
Mesipun begitu, ia juga menambahkan bahwa wacana ini perlu dibangun dengan memberikan data serta solusi yang konkret.
Oleh sebab itu, persoalan scaremongering atau tidak, sebetulnya bukan sesuatu yang substantif. Yang harus dilihat adalah apakah dalam konteks tersebut ada nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah pernyataan-pernyataan Prabowo memiliki nilai kebenaran dan memiliki solusi yang konkret? Atau hanya sekedar menakut-nakuti seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pendapat?
Scaremongering Prabowo
Prabowo kerap menuai kontroversi akibat pernyataan-pernyataannya. Kontroversinya selalu memberikan eksposur yang besar dan menimbulkan perdebatan.
Bagi loyalisnya, pendapat Prabowo dianggap mengandung kebenaran. Sementara bagi pendukung Jokowi, retorika politik Prabowo hanya menebar ketakutan terhadap masyarakat tanpa rujukan data yang jelas.
Pada titik ini, memang ada perdebatan terkait apa yang disebut sebagai correspondence theory atau teori kesesuaian antara kebenaran dan fakta seperti yang digali oleh filsuf kenamaan asal Inggris, Bertrand Russel. Russel menilai bahwa kebenaran harus sesuai dan minimal “berada” di sekitar fakta.
Sebagai catatan, fakta dan kebenaran adalah dua hal yang berbeda. Fakta adalah realitas yang tidak bisa dibantah kebenarannya. Sementara kebenaran adalah persepsi terhadap fakta. Pemahaman terhadap seekor gajah sebagai hewan adalah fakta, sementara menyebut gajah berwarna abu-abu adalah kebenaran.
Dalam konteks politik, lahir semacam persesuaian karena tidak ada kebenaran yang absolute atau mutlak. Hal itu disesuaikan pada kondisi dan aspeks psikologis masyarakat.
Pernyataan-pernyataan Prabowo yang sering disebut menggunakan politik ketakutan itu, tidak bisa diabaikan begitu saja. Meski terkesan menakuti, namun apa yang dikatakan oleh mantan Danjen Kopassus itu setidaknya memiliki kebenarannya tersendiri.
Misalnya saja ketika ia menyebutkan tentang kondisi anak kurang gizi dan gagal tumbuh atau yang biasa dikenal dengan stunting di Indonesia. Menurut Prabowo, satu dari tiga anak di bawah 5 tahun gagal tumbuh karena kurang protein.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2015, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 36,4 persen atau satu banding tiga dari keseluruhan populasi, sedangkan Pemantauan Status Gizi tahun 2017 mencapai 26,6 persen.
Sementara itu, batasan World Health Organization (WHO) menyebutkan, angka normal seharusnya kurang dari 20 persen.
Artinya, dengan jumlah 8,9 juta anak yang mengalami pertumbuhan yang tidak maksimal, pernyataan Prabowo bahwa lebih dari sepertiga anak berusia 5 tahun tingginya di bawah rata-rata tentu saja benar.
Kemudian, tentang angka bunuh diri yang turut dipersoalkan oleh Prabowo. Menurutnya, di negara yang sudah 73 tahun merdeka dengan sumber daya alam yang kaya ini, angka bunuh diri masih tinggi akibat persoalan ekonomi yang berakibat pada keputusasaan.
Berdasarkan data WHO tahun 2012, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 7,355 kasus atau setara dengan 4,3 kasus per 100.000 orang. Jumlah ini menyumbang 0,44 persen kasus kematian secara keseluruhan di Indonesia.
Angka tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 172 dalam kasus bunuh diri secara global, atau cukup rendah dibandingkan dengan negara lain.
Artinya, pernyataan Prabowo boleh jadi dinilai tidak benar pada titik ini jika menyebut angka tersebut tinggi. Namun, jika mengacu pada faktor penyebab bunuh diri, Prabowo tentu saja benar sebab faktor ekonomi adalah hal utama mengapa kasus-kasus tersebut semakin sering terjadi.
Prabowo juga menyampaikan terkait tingginya angka impor komoditas tertentu. Menurut Prabowo, seperti salah satunya yakni impor gula, petani tebu Indonesia mengalami kesengsaraan ketika saat adanya panen namun di sisi lain banjir gula dari luar negeri.
Jika dilihat dari data Kementerian Perdagangan, memang impor gula mengalami trend kenaikan dari 2013 hingga 2017 dengan total mencapai 7,91 persen. Peningkatan paling signifikan terjadi pada tahun 2016, dari yang hanya US$ 1,49 juta (Rp 21 miliar) pada tahun 2015 menjadi US$ 2,36 juta (Rp 33,2 miliar) di tahun berikutnya.
Dari tiga variabel tersebut, meski pernyataan Prabowo dipandang sebagai scaremongering, namun nyatanya ada kebenaran yang terkandung di belakangnya.
Scaremongering Prabowo menggiringnya pada kemenangan. Share on XPrabowo Menang?
Pidato Kebangsaan Prabowo memang kental dengan muatan kritik serta cair dalam memberikan solusi. Apa yang disampaikan sang jenderal pun dianggap tidak terlepas dari pikiran yang berkecamuk tentang beragam persoalan bangsa dari berbagai aspek.
Dalam hal ini, Prabowo telah mengoreksi pemerintahan yang sedang berjalan. Dengan memaparkan soal fakta kemiskinan hingga persoalan gantung diri, ia melempar kritik yang tajam kepada pemerintahahn Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dampaknya terlihat dalam survei yang dilakukan oleh lembaga Y Publica yang menunjukkan bahwa elektabilitas pasangan Prabowo-Sandiaga Uno terus mengalami peningkatan.
Memang, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin masih unggul dengan elektabilitas mencapai 53,5 persen dan Prabowo-Sandi hanya 31,9 persen.
Namun, dalam laporan itu disebutkan bahwa elektabilitas Jokowi-Ma’ruf Amin cenderung stagnan dibandingkan pasangan Prabowo-Sandiaga sejak ditetapkan sebagai capres dan cawapres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Stagnasi kepuasan terhadap Jokowi-Ma’ruf Amin dipengaruhi oleh beberapa persoalan, salah satunya adalah soal eknomi. Lembaga tersebut menyebutkan bahwa sebanyak 24,9 persen responden menilai persoalan kebutuhan biaya hidup menjadi persoalan utama saat ini.
Sementara itu, naiknya elektabilitas Prabowo ini tidak bisa dipungkiri selain akibat menurunnya tingkat kepuasan terhadap petahana, namun juga karena potensi sang jenderal yang dianggap bisa memberikan perubahan terkait persoalan hidup masyarakat.
Memang belum ada angka pasti yang menunjukkan elektabilitas Prabowo naik akibat strategi scaremongering. Namun, melihat fakta-fakta yang ada, bukan tidak mungkin jika Prabowo akan menggeser angka-angka yang selama ini didominasi oleh petahana. (A37)