Menjelang bebas dari penjara, baliho dengan foto Anas Urbaningrum terpampang di Cikeas, dekat kediaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apakah ini tanda Anas akan memberikan serangan politik ke SBY selepas bebas?
PinterPolitik.com
“Politics is the art of the possible,” ― Otto von Bismarck
Akhir-akhir ini Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tengah menuai perhatian publik. Ini tentu soal berbagai pernyataannya terhadap laku politik yang tengah berjalan. SBY terlihat mengingatkan soal potensi kecurangan pemilu 2024 hingga wanti-wanti soal sistem proporsional tertutup.
Namun, selain berbagai pernyataan terbukanya, SBY juga kembali disorot karena Anas Urbaningrum. Ya, eks Ketua Umum Partai Demokrat itu akan bebas dari penjara pada April 2023. Menariknya, menjelang kebebasan Anas, terdapat baliho dengan muka Anas di Cikeas, dekat kediaman SBY.
Selain muka Anas, baliho itu juga bertuliskan “Tunggu beta bale” yang berarti “tunggu saya kembali”. Baliho itu ditafsirkan secara luas. Tidak sedikit yang menilainya sebagai tanda Anas akan kembali ke gelanggang politik untuk berhadapan dengan SBY.
Lantas, jika benar demikian, apakah SBY tengah mewaspadai serangan-serangan politik yang mungkin terjadi? Kemudian, apakah ini berdampak pada usaha Partai Demokrat untuk mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Pilpres 2024?
Tidak Ikuti Machiavelli?
Apa yang dikhawatirkan berbagai pihak terhadap kebebasan Anas adalah siklus kekuasaan yang sudah berlangsung lama. Dalam bukunya Il Principe yang terbit pada 1532, Niccolò Machiavelli memberikan saran bagaimana mempertahankan kekuasaan.
Jika kekuasaan didapatkan dengan mengkudeta penguasa sebelumnya, maka sang penguasa baru harus memusnahkan semua darah keturunan sang penguasa lama. Itu merupakan langkah preventif agar para keturunan penguasa lama yang menaruh dendam tidak mengganggu kekuasaan atau berupaya mengkudeta kembali.
Sekalipun tidak dibunuh, Machiavelli menyarankan agar membuat semua pihak yang berpotensi menjadi musuh dibuat tidak berdaya. Sekalipun mereka menaruh dendam, mereka tidak dapat melakukan perebutan kekuasaan.
V dalam bukunya The Mafia Manager: A Guide to the Corporate Machiavelli, menuangkan gagasan-gagasan Machiavelli dalam memimpin organisasi modern, seperti mafia dan perusahaan. Menurut V, dalam konteks berhadapan dengan musuh, sama seperti yang dilakukan oleh mafia Italia, tidak selamanya mereka harus dibunuh. Bahkan, membunuh sebenarnya adalah langkah terakhir.
Yang perlu dilakukan adalah memastikan mereka tidak berbuat macam-macam. Caranya tentu beragam, mulai dari ancaman hingga perjanjian bisnis.
Melihat politik Indonesia, misalnya pada kasus Anas, saran kekuasaan ala Machiavelli tidak dilakukan sepenuhnya. Memang benar terjadi kudeta hingga upaya pelemahan. Namun, sederet upaya penaklukan itu tidak membuat musuh politik kehilangan daya upayanya.
Mereka masih dapat tetap berbisnis, kembali terjun ke politik, bahkan membangun kekuatan politiknya. Untuk menyambut kebebasan Anas, para loyalisnya bahkan mendirikan partai politik bernama Partai Kebangkitan Nusantara (PKN).
Politik Balas Dendam
Nah, karena tidak penuh menjalankan saran Machiavelli, berbagai kekhawatiran bahwa Anas akan melakukan balas dendam menjadi lumrah dikalkulasi. Komparasinya dapat dilihat pada kasus Antasari Azhar.
“Tiba-tiba hari ini ada serangan, black campaign yang disampaikan saudara Antasari, mantan narapidana yang baru mendapat grasi Presiden Jokowi,” ungkap SBY pada 14 Februari 2017.
Apalagi, berdasarkan penelitian Michael E. McCullough dalam bukunya The Forgiveness Instinct, keinginan untuk membalas dendam bukanlah penyakit yang menyerang segelintir orang, melainkan sifat universal dari umat manusia.
Menurut McCullough, balas dendam merupakan produk seleksi alam yang ada hingga saat ini karena membantu umat manusia beradaptasi dengan lingkungannya.
Tidak heran kemudian, Anas dinilai dapat memberikan serangan-serangan politik kepada SBY dan Partai Demokrat. Salah satu serangan yang ditakutkan mungkin adalah upaya menghalangi pengusungan AHY.
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Kenapa Demokrat Ngotot Mengusung AHY?, dengan usia yang sudah menyentuh 73 tahun, Pilpres 2024 mungkin merupakan momen terakhir SBY masih dapat memberi dukungan penuh kepada AHY.
Mengusung sang Ketua Umum Partai Demokrat menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2024 merupakan langkah untuk melambungkan karier politik AHY.
Namun, kekhawatiran itu mungkin tidak akan terjadi. Bantahan terbuka telah diungkapkan Ketua Umum PKN Gede Pasek Suardika. “Jadi, tidak ada dan tidak benar itu. Bahkan, kami mendoakan juga kayak Mas AHY bisa jadi calon presiden dan calon wakil presiden,” ungkap Gede Pasek pada 21 Februari 2023.
Mengingat politik adalah seni kemungkinan (politics is the art of the possible), bantahan terbuka Gede Pasek dapat ditafsirkan menjadi dua sisi. Pertama, itu adalah ungkapan jujur. Kembali mengutip penelitian McCullough, memang benar balas dendam merupakan hasrat alamiah. Namun, evolusi manusia juga melahirkan insting memaafkan.
Dengan demikian, mungkin Anas dan para loyalisnya di PKN memilih untuk tidak mengusik kekuasaan SBY dan Partai Demokrat.
Sisi kedua, pernyataan Gede Pasek mungkin merupakan upaya perlindungan. Sebagai partai baru yang berjuang untuk lolos ke Senayan, PKN tentu harus fokus membangun strategi pemenangan dan meminimalisir risiko sebesar mungkin.
Jika terang-terangan ingin mengganggu Partai Demokrat, itu sama saja dengan mengundang berbagai serangan politik ke PKN. SBY yang masih berpengaruh adalah lawan politik yang tentu ingin dihindari.
Well, sekiranya hanya waktu yang dapat menjawab sisi mana yang akan terjadi. Kita lihat saja. (R53)