HomeHeadlineSBY Turun Gunung, PDIP Panik?

SBY Turun Gunung, PDIP Panik?

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung dan menyebut Pilpres 2024 akan menelurkan calon yang telah dikehendaki oleh pihak tertentu. PDIP menjadi pihak yang merespons sinis pernyataan SBY tersebut. Lalu apa yang dapat dimaknai dari intrik ini?


PinterPolitik.com

Setelah cukup lama absen dari perpolitikan tanah air, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yang juga Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berujar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hanya akan menelurkan dua kandidat yang dikehendaki pihak-pihak tertentu.

Sontak, pernyataan tersebut mendapatkan respons, terutama dari rival abadi mereka, yakni PDIP.

“Dua pasangan capres dan cawapres saja yang dikehendaki oleh mereka,” ujar SBY tanpa merujuk lebih detail siapa yang disebut sebagai “mereka”.

SBY sendiri menyampaikan hal itu dalam sebuah pidato di Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat pada Kamis, 15 September pekan lalu. Secara terbuka, mantan Kepala Staf Teritorial ABRI itu juga menyebut akan turun gunung di Pilpres 2024.

Apa yang dikatakan SBY dan beredar di linimasa lantas viral dua hari berselang dan mendapatkan beragam tanggapan. Satu yang cukup militan dan bahkan meresponsnya hingga dua kali adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.

Pada hari Sabtu 17 September, Hasto mengingatkan agar SBY tidak mengganggu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sehari berselang, dia kembali menyebut pernyataan SBY sebagai kekhawatiran berlebihan tanpa fakta.

image 65

Sang Sekjen lalu menyindir apa yang dikemukakan SBY sebagai bagian dari upaya mendorong sang anak, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menjadi capres.

Pihak terafiliasi PDIP lain yang berkomentar adalah Ketua Umum Pro-Jokowi (Projo) Budi Arie. Dia menyatakan ucapan SBY sebagai hal yang membodohi rakyat dengan tudingan pemilu yang tak demokratis.

Di Twitter, setiap berita terkait pernyataan SBY juga mendapat reaksi dari akun-akun anonim dan para buzzer. Di luar konteks, mereka mengungkit kasus proyek mangkrak di era pemerintahannya, tudingan balik bahwa AHY sulit maju sebagai capres, hingga sindiran album musik yang dibuat SBY.

Menanggapi hal tersebut, kubu bintang mersi bergerak cepat membentengi sosok legenda hidup Partai Demokrat. Ketua DPP Partai Demokrat Yan Harahap menuding ada pihak yang mengerahkan buzzer untuk menyerang SBY.

Kendati demikian, satu pertanyaan sederhana mengemuka. Mengapa SBY menyampaikan pernyataan yang sudah pasti memantik perdebatan itu?

SBY Ungkap Rahasia?

Apa yang dikemukakan Hasto tentang kekhawatiran SBY bisa saja juga merupakan bentuk kekhawatiran atau kepanikan PDIP. Mengapa demikian?

Di dalam politik, dikenal sebuah konsep menarik, yakni sirkulasi elite. Konsep ini dikemukakan oleh filsuf dan sosiolog Italia, Vilfredo Pareto.

Konsep sirkulasi elite menjelaskan dalam setiap era, akan selalu ada sirkulasi atau perputaran elite. Baik elite yang satu digantikan oleh elite yang lainnya, maupun aktor atau pihak non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa.

image 66

Pernyataan SBY soal Pilpres 2024 serta keinginannya turun gunung menjelang kontestasi elektoral, boleh jadi mengindikasikan ambisi politik personalnya dan Partai Demokrat untuk menggantikan PDIP sebagai elite penguasa.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Hal itu dikarenakan, hanya SBY-Partai Demokrat yang bisa mengganggu dominasi kekuasaan Golkar dan PDIP sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia sejak era Orde Baru hingga Reformasi.

Kemenangan di dua periode dengan mengalahkan legenda hidup PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi prestasi yang kiranya sulit disaingi pihak manapun. Ditambah, SBY berhasil mempertahankannya dengan mengalahkan kembali Mega dan PDIP pada 2009.

Kini, pernyataan terbuka SBY untuk turun gunung di 2024 kiranya bukan hanya terkait AHY, tetapi juga kemungkinan menjadi ambisi Partai Demokrat mengambil alih kekuasaan dari PDIP.

Selain itu, pernyataan SBY mengenai “capres-cawapres yang dikehendaki mereka” juga agaknya menyingkap sebuah rahasia yang tak disadari publik di Indonesia.

Itu tak lain terkait pilihan politik yang sesungguhnya sama sekali tidak dimiliki oleh pemilih dalam sebuah pesta demokrasi. Antropolog Amerika Serikat (AS) Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Negara Teater menjabarkan kecenderungan itu.

Menurutnya, pertunjukan kekuasaan di Indonesia layaknya teater yang memperlihatkan dan memainkan berbagai macam simbol. Yang menarik, Geertz mengatakan rakyat seperti tidak punya pilihan dan kehilangan daya kritis, sehingga larut begitu saja dalam pertunjukan kekuasaan.

Rakyat ibarat wayang yang menemukan dirinya mengisi peran-peran tertentu. Ada yang berkorban demi kebaikan raja (baca: penguasa), ada yang menabuh gendang agar pertunjukan menjadi ramai, dan ada pula yang sadar posisinya hanya sebagai penonton.

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang  berjudul Kita Tidak Pernah Jalankan Demokrasi?, sebuah postulat dan pertanyaan mengemuka, yakni pernahkah kita bersikap kritis atas sodoran nama-nama yang diberikan partai politik dalam sebuah pemilu? Apakah rakyat memiliki wewenang untuk menolak nama yang tertera di kertas suara?

Jawaban atas pertanyaan tersebut kiranya lebih mengarah kepada “tidak”.

Oleh karena itu, pernyataan SBY mengenai sosok capres-cawapres yang dikehendaki kiranya memang memiliki signifikansi sejak awal. Namun, itu agaknya juga tidak luput apabila Partai Demokrat yang memegang kuasa dan bisa saja mendapat sindiran serupa.

Selain itu, terdapat satu probabilitas lain dari makna pernyataan SBY, apakah itu?

image 64

PDIP Hindari Serangan Balik?

Pergiliran kekuasaan dalam demokrasi dan politik Indonesia memang selalu menarik. Termasuk di ajang Pemilu dan Pilpres 2024 yang dapat dipastikan menelurkan pemimpin baru.

Dominasi Jokowi dan PDIP dalam dua periode tampaknya memang cukup sulit untuk didongkel. Hal itu tampak dari bagaimana mantan Wali Kota Solo itu membangun kekuatan politiknya dengan merangkul seluruh elemen, mulai dari pengusaha, militer, kepolisian, hingga lawan politik.

Karakteristik semacam itu dikenal sebagai strategi big tent atau tenda besar yang sempat dikemukakan pakar politik AS Fareed Zakaria. Dalam sebuah kolom publikasi di The Washington Post berjudul Biden Understands What Twitter Doesn’t: Democrats Need a Big Tent, Zakaria menyebutkan frasa big tent yang sedang dibangun oleh Joe Biden, capres Partai Demokrat pada Pilpres AS 2020 lalu.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Biden tampak serupa dengan Jokowi. Dia menghimpun berbagai kekuatan yang dapat menyokong posisi politiknya. Formulasi strategi itu yang kemudian jamak dianggap membuat Biden berhasil merebut Gedung Putih dari Donald Trump.

Dalam konteks Jokowi dan PDIP, presumsi maupun informasi legit yang disampaikan SBY mengenai “capres-cawapres yang dikehendaki mereka” kiranya bisa saja berakar dari strategi big tent.

SBY dan Partai Demokrat yang tidak mendapat tempat di kekuasaan saat ini, mungkin melihat cukup sulit untuk mendongkel dominasi itu di 2024 dan berupaya semaksimal mungkin menyingkap “rahasia politik” Jokowi-PDIP.

Namun, andai kata benar bahwa capres-cawapres memang telah dikehendaki pihak tertentu, itu agaknya bermuara pada kelanggengan kekuasaan koalisi politik saat ini jika diinterpretasikan lebih lanjut.

Pertanyaan berikutnya lantas muncul, yaitu apakah Presiden Jokowi dan PDIP sedang “menunggangi kuda” atau “menunggangi harimau”?

Jika mengendarai kuda, tentu sang penunggang tidak akan khawatir dan tetap aman saat turun dari pelana. Sementara jika mengendarai harimau, dapat dipastikan kecemasan, bahkan ketakutan, akan muncul dari potensi serangan kucing besar tersebut.

Dengan kata lain, pihak-pihak yang selama ini mendorong keberlanjutan kekuasaan politik PDIP c.s. bisa saja merasa tak lagi mendapat keuntungan atau bahkan terancam jika gabungan kekuatan politik saat ini turun takhta.

Satu hipotesis menarik datang dari mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Dia menyebut jika Presiden Jokowi tak lagi berkuasa, sang putra Kaesang Pangarep bisa saja dipenjara atas dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Jika dimaknai lebih dalam, apa yang disebut Rizal Ramli mungkin juga menggambarkan relasi politik terdekat Jokowi dan PDIP akan terancam apabila kombinasi kekuasaan dalam big tent lengser dan berganti.

Hal itu kiranya selaras dengan apa yang dikatakan filsuf Italia Niccolò Machiavelli dalam karyanya yang berjudul Il Principe.

Dalam pembahasan di bagian “Mixed” Princedoms, Machiavelli menyebut penguasa baru yang berhasil menduduki daerah-daerah jajahan dan berharap mempertahankan kekuasaannya, maka ia harus memusnahkan semua darah keturunan sang penguasa lama.

Surutnya suatu kekuasaan politik memang kerap kali diiringi dengan potensi serangan balik dari rival politik, terutama dalam sebuah sirkulasi elite sebagaimana dijelaskan Pareto sebelumnya.

Itu misalnya terjadi belum lama ini di AS saat Trump tengah dibidik di bawah kekuasaan Biden dalam kasus pidana spionase.

Di Malaysia, tendensi itu juga terlihat saat Mahathir Muhammad “memenjarakan” Najib Razak setelah pergiliran kekuasaan di Malaysia pada tahun 2018 silam.

Di dalam negeri pun demikian, ada sejumlah kroni-kroni Soeharto yang akhirnya diseret ke pengadilan setelah Reformasi.

Kendati demikian, penjabaran di atas masih berupa penafsiran dengan sejumlah variabel teoretis semata. Benar atau tidaknya apa yang dikatakan SBY mengenai kandidat di Pilpres 2024 nanti, tentu akan terjawab oleh waktu. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?