Site icon PinterPolitik.com

SBY Terjebak “Agenda Politik” Jokowi?

SBY dan Jokowi (Foto: Detik)

Masuknya Partai Demokrat ke koalisi Prabowo Subianto memang bukan hal baru, mengingat di Pilpres 2019 lalu hal serupa juga terjadi. Namun, kali ini, situasi yang sedikit berbeda akan terjadi katakanlah jika benar adanya gosip soal dukungan Presiden Jokowi pada Prabowo. Itu artinya Demokrat dan SBY ada dalam barisan agenda politik Jokowi yang memang berkepentingan dalam suksesi kepemimpinan kali ini. Sebuah pilihan yang tak terhindarkan untuk SBY?


PinterPolitik.com

“We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are eternal and perpetual, and those interests it is our duty to follow.”

– Lord Palmerston

Dukungan Partai Demokrat kepada Prabowo Subianto merupakan salah satu peristiwa politik yang mengejutkan di tahun 2023. Pasalnya, partai yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ini sebelumnya telah berada di koalisi pemenangan Anies Baswedan. Akibat manuver-manuver dramatis yang melibatkan Muhaimin Iskandar dan PKB, Demokrat akhirnya terdepak dari koalisi.

Kini, partai yang menjadi kekuatan utama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika 2 periode menjabat presiden ini berkutat dalam pilihan-pilihan sulit. Dengan bergabung dalam koalisi Prabowo, Demokrat secara tidak langsung bisa berada dalam proyek suksesi kepemimpinan dari pemerintahan yang saat ini berkuasa.

Pasalnya, Presiden Jokowi disebut-sebut cenderung lebih besar berkeinginan agar Prabowo-lah yang melanjutkan estafet kepemimpinan. Prabowo dianggap lebih mampu menjamin keberlanjutan proyek-proyek pembangunan yang telah dikerjakan oleh Jokowi.

Artinya, secara tidak langsung SBY dan Demokrat akan ikut terlibat dalam politik kekuasaan yang menjadi bagian dari agenda Jokowi. Ini menarik karena untuk beberapa saat lamanya, Demokrat kerap menjadi salah satu partai yang vokal mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, katakanlah lewat pernyataan-pernyataan AHY.

Ini juga menjadi pembuktian pepatah yang bilang: “Enemy of my enemy is my friend”. Musuh dari musuhku adalah temanku. Demokrat memang cenderung lebih keras berada di seberang PDIP – partai yang mengusung Jokowi dulu dan kini mengusung Ganjar Pranowo – ketimbang kepada Jokowi secara personal.

Pertanyaannya adalah akankah posisi ini menguntungkan Demokrat?

Enemy of My Enemy is My Friend

Seperti disebutkan sebelumnya, hubungan Jokowi-Prabowo-SBY ini bisa kita lihat dalam bingkai ungkapan “musuh dari musuhku adalah temanku” yang merupakan prinsip yang telah ditemui dalam berbagai bentuk di berbagai tradisi dan konteks sepanjang sejarah. Tidak ada satu ahli atau tokoh tertentu yang dapat diidentifikasi sebagai pencipta atau penyusun frase ini, karena ungkapan ini mewakili hikmah dan pengalaman yang bersifat universal. Konsep ini telah muncul dalam berbagai bentuk dalam sastra, filosofi, dan agama.

Dalam tradisi kearifan lokal di berbagai budaya, kita dapat menemukan ide serupa yang menekankan pada pentingnya memahami dan bekerja sama dengan mereka yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai lawan. Hal ini tercermin dalam banyak ajaran filsafat, etika, dan spiritualitas yang menekankan pentingnya toleransi, pemahaman, dan transformasi hubungan yang terjalin melalui waktu.

Misalnya, dalam ajaran-ajaran filsafat Timur seperti Taoisme atau Konfusianisme, terdapat pemikiran tentang pentingnya keseimbangan, harmoni, dan transformasi hubungan. Pemahaman bahwa konflik dan ketegangan dapat diubah menjadi keadaan yang lebih positif mencerminkan pandangan yang mendalam tentang kehidupan dan hubungan antarmanusia.

Dalam konteks Barat, pemikiran serupa juga dapat ditemukan dalam karya-karya filsuf seperti Aristoteles, yang menekankan pada konsep kebijaksanaan (phronesis) dan pentingnya persahabatan yang berkembang melalui waktu.

Selain itu, dalam konteks agama, banyak ajaran yang menyiratkan konsep bahwa melihat melampaui perbedaan dan meresapi keunikan setiap individu dapat membawa kedamaian dan persatuan. Ajaran agama-agama seperti Kekristenan, Islam, Hinduisme, dan Buddha menekankan pada nilai-nilai toleransi, kasih sayang, dan perdamaian.

Meskipun ungkapan ini mungkin tidak dapat dikaitkan dengan satu tokoh atau ahli tertentu, tetapi ia mencerminkan hikmah yang telah tersebar di banyak tradisi budaya dan pemikiran manusia. Oleh karena itu, “musuh dari musuhku adalah temanku” dapat dianggap sebagai warisan kebijaksanaan kolektif manusia yang terus berkembang seiring waktu.

“Musuh dari musuhku adalah temanku” juga mencerminkan kompleksitas hubungan antarmanusia dan memuat banyak hikmah filosofis. Ungkapan ini secara esensial menyiratkan kemungkinan bahwa seseorang yang kita pertimbangkan sebagai musuh dapat berubah menjadi teman atau sekutu dalam situasi tertentu. Dalam refleksi mendalam tentang makna ungkapan ini, kita dapat menjelajahi aspek-aspek psikologis, sosial, dan filosofis yang terkandung di dalamnya.

Dari sudut pandang psikologis, paradoks ini mengungkapkan kemampuan manusia untuk berubah dan berkembang. Kita cenderung mengelompokkan orang ke dalam kategori teman atau musuh sebagai cara untuk menyederhanakan kompleksitas dunia di sekitar kita. Namun, manusia memiliki kemampuan untuk melihat melampaui label dan mengubah persepsi mereka terhadap orang lain.

Ini mencerminkan kedalaman psikologis yang terlibat dalam dinamika hubungan, di mana pengalaman, pertumbuhan pribadi, dan pemahaman yang lebih dalam dapat mengubah persepsi seseorang terhadap individu tertentu.

Dalam kaitannya dengan dimensi sosial, ungkapan ini menyoroti potensi transformasi dalam skala yang lebih besar, termasuk tingkat masyarakat. Konflik sosial seringkali menciptakan kedalaman perpecahan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.

Namun, ide bahwa musuh bersama dapat menjadi teman menciptakan peluang untuk rekonsiliasi dan penyembuhan. Sejarah mencatat transformasi besar dalam hubungan antarnegara atau kelompok etnis yang sebelumnya berseteru, di mana pergeseran politik atau perubahan konteks dapat membuka jalan menuju kerja sama yang tidak terduga.

Aspek filosofis ungkapan ini memperkenalkan unsur ketidakpastian ke dalam perspektif hidup. Hidup dipandang sebagai perjalanan yang terus berubah, di mana teman dan musuh mungkin saling bertukar peran. Ini mendorong kita untuk merenung tentang sifat relatif dari konsep-konsep tersebut dan mengakui kompleksitas setiap individu dan situasi. Filosofi ini menawarkan pemahaman bahwa hubungan manusia tidak statis, melainkan selalu dalam perubahan dan evolusi.

Penting untuk menekankan bahwa transformasi musuh menjadi teman bukanlah proses yang sederhana atau otomatis. Ini melibatkan upaya nyata dari kedua belah pihak. Kesediaan untuk mendengarkan, belajar, dan memberikan kesempatan bagi perubahan adalah elemen kunci dari proses ini. Terdapat kebutuhan untuk mengembangkan empati yang mendalam, yang dapat membantu kita memahami perspektif dan pengalaman orang lain.

Adalah penting juga untuk memahami bahwa gagasan ini bukanlah undangan untuk mengabaikan atau melupakan konflik dan perbedaan. Sebaliknya, itu menyerukan untuk mendekati konflik dengan pandangan yang lebih terbuka dan untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam. Dalam hal ini, konflik bukanlah akhir dari hubungan, tetapi justru dapat menjadi awal dari pertumbuhan dan pemahaman yang lebih baik.

Ungkapan ini juga memberikan pandangan yang lebih luas tentang konsep persahabatan. Sebuah persahabatan yang muncul dari konflik mungkin memiliki kekuatan yang lebih besar karena telah mengalami ujian ketidakpastian. Hubungan semacam itu dapat memperkuat pemahaman dan menghasilkan hubungan yang lebih dalam.

Psikologis, sosial, dan filosofis, konsep ini mengajak kita untuk melihat melampaui label dan kategori, memahami bahwa manusia memiliki potensi untuk perubahan dan pertumbuhan. Ungkapan ini memberikan kita kesempatan untuk merenung tentang bagaimana kita memandang dan merespons orang lain, membuka pintu untuk pemahaman yang lebih dalam, rekonsiliasi, dan hubungan yang lebih berarti.

Dalam konteks Prabowo-SBY-Jokowi, ini adalah makna filosofis yang paling menarik untuk dilihat. Jokowi sebelumnya adalah “musuh” Prabowo di dua gelaran Pilpres. Kini keduanya bisa menjadi satu kubu. Demikianpun dengan SBY.

SBY Kunci Menang Prabowo

Ada banyak alasan mengapa SBY bisa saja menjadi kunci kemenangan Prabowo di 2024, sekaligus kunci Jokowi mengamankan suksesi kekuasaan. Alasan pertama tentu saja adalah soal pengaruh politik SBY. SBY, sebagai mantan Presiden Indonesia dan tokoh politik yang memiliki pengaruh cukup besar. Jejak rekam kepemimpinan SBY dan pengalamannya juga dapat memberikan kepercayaan kepada pemilih tentang kapabilitas Prabowo sebagai pemimpin.

Alasan lain adalah pengaruh SBY terhadap massa mengambang atau swing voters. Jika SBY dapat meyakinkan pemilih bahwa Prabowo adalah pilihan yang baik, terutama dengan menonjolkan pencapaian dan visi yang serupa dengan masa pemerintahan SBY, itu dapat memberikan keuntungan signifikan.

Selain itu, dukungan SBY dapat membuka pintu bagi Prabowo untuk mendapatkan dukungan dari elite politik yang memiliki keterkaitan dengan sang mantan Presiden. Ini bisa mencakup dukungan dari tokoh-tokoh politik, pebisnis, dan kelompok kepentingan lainnya yang memiliki hubungan erat dengan SBY.

Pengalaman SBY dan pemahamannya soal kompleksitas isu politik di Indonesia juga akan punya dampak yang positif bagi Prabowo. Pertanyaannya tinggal akankah kohesivitas koalisi ini berjalan dengan baik atau tidak. Sebab, pada akhirnya, koalisi itu bukan soal cocok atau tak cocok saja, malain juga soal kalkulasi peluang kemenangan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version