HomeNalar PolitikSBY Prediksi Kejatuhan Amerika Serikat?

SBY Prediksi Kejatuhan Amerika Serikat?

Baru-baru ini, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menulis pesan terbuka yang memuat pandangannya terkait kondisi Amerika Serikat (AS) saat ini. Yang menarik adalah, mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut secara implisit seolah memprediksi akan kemungkinan kejatuhan AS.


PinterPolitik.com

Bagi mereka yang memiliki ketertarikan khusus terhadap politik demokrasi dan kebebasan berpendapat, presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu telah meninggalkan memori indah tersendiri. Bagaimana tidak, mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut dikenal sebagai presiden yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat di era kepemimpinannya. Sehingga tidak heran, prestasi tersebut disebut sebagai legacy atau warisan sang jenderal.

Tidak hanya dikenal sebagai presiden yang menjaga kebebasan berpendapat, SBY juga dikenal memiliki kepemimpinan serta analisis yang baik sebagai peramu kebijakan publik. Baru-baru ini, ketajaman analisis tersebut kembali diperhatikannya ketika memberikan pandangan perihal kondisi Amerika Serikat (AS) saat ini.

Sebagaimana diketahui, kondisi politik AS saat ini sedang tidak baik-baik saja, khususnya terkait demonstrasi dan kerusuhan yang dipicu oleh kematian George Floyd. Dalam surat terbuka yang ditulisnya, SBY menyebut bahwa terdapat tiga pukulan besar yang sedang dialami negeri Paman Sam saat ini, yakni (1) korban virus Corona (Covid-19) tertinggi di dunia, (2) ekonomi yang tidak cerah, dan (3) terjadinya kerusuhan sosial yang meluas.

Are you OK, Amerika?” Begitulah pertanyaan sang jenderal. Mengutip buku Paul Kennedy yang berjudul The Rise and Fall of the Great Powers, SBY tengah mempertanyakan dengan serius, apakah gejolak yang terjadi saat ini tengah menjadi preseden atau indikasi atas kejatuhan negara Adidaya tersebut?

Tidak seperti kebanyakan pihak, khususnya bagi mereka yang menilai AS sebagai negara yang begitu hebat. Analisis SBY, khususnya ketika menyebut ekonomi AS tidak cerah mungkin akan dipandang minor. Pasalnya, telah lama negeri Paman Sam dikenal sebagai kekuatan ekonomi dunia. Terlebih lagi, dolar AS telah menjadi mata uang utama internasional sejak akhir Perang Dunia II.

Atas poin tersebut, tentu menarik untuk dipertanyakan, mengapa SBY justru menyorot persoalan ekonomi AS, padahal negara tersebut merupakan kekuatan ekonomi dunia? Selaku sosok yang dinilai tidak sembarangan dalam memberikan pernyataan, SBY tentunya memiliki pertimbangan kuat dalam menyorot persoalan tersebut.

Lantas, mungkinkah ekonomi AS akan terjatuh di masa depan?

Kekuatan Dolar AS

Tanpa bermaksud terlalu melebihkan, AS memang layak disebut sebagai negara yang memiliki perencanaan ekonomi yang luar biasa. Kehebatan tersebut misalnya dapat dilihat dari tercapainya kesepakatan Bretton Woods – atau sistem Bretton Woods – pada Juli 1944 yang membuat emas dan mata uang lainnya ditentukan nilainya berdasarkan dolar AS.

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Sistem tersebut kemudian menandai sejarah dolar AS sebagai mata uang dominan atas aktivitas ekonomi internasional, yang bahkan disebut memiliki kekuatan dan pengaruh yang absolut. Kendati sistem tersebut telah runtuh sejak tahun 1973, nyatanya hal tersebut tidak mengubah dominasi dolar AS atas aktivitas ekonomi internasional karena adanya Special Drawing Rights (SDR) yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1969.

SDR sendiri dibuat oleh IMF untuk menjadi cadangan global yang dapat berperan dalam menyediakan likuiditas dan menambah cadangan resmi negara-negara anggota, khususnya ketika terjadi situasi krisis keuangan. SDR bukanlah mata uang, melainkan merupakan klaim potensial atas mata uang anggota IMF yang dapat digunakan secara bebas. SDR kemudian dapat ditukar dengan berbagai mata uang yang telah ditetapkan oleh IMF, seperti dolar AS.

Sebastian Dullien, Hansjorg Herr, dan Christian Kellermann dalam bukunya Decent Capitalism juga menyebutkan, dengan adanya ledakan dana internasional resmi setelah krisis Asia, terutama kelompok negara yang mematok kurs valutanya ke dolar AS, hal tersebut tidak sedikit ditafsirkan sebagai kebangkitan sistem Bretton Woods.

Singkat kata, adanya dominasi dolar AS terhadap aktivitas ekonomi internasional sejak akhir Perang Dunia II merupakan salah satu faktor utama yang membuat negeri Paman Sam menjadi kekuatan ekonomi dunia. Fakta tersebut kemudian dinilai sebagai jawaban atas mengapa ekonomi AS tidak kolaps kendati memiliki utang yang besar. Itu karena sebagian besar utangnya dalam bentuk mata uangnya sendiri.

Akan tetapi, meskipun dapat disimpulkan dominasi dolar merupakan kekuatan dari ekonomi AS. Dullien, Herr, dan Kellermann justru menyebutkan berkah tersebut memiliki kutukan tersendiri. Mereka bahkan tidak ragu untuk menyebut AS sebagai “Kekuasaan Hegemoni yang Tertatih-tatih.”

Lantas, mengapa ketiga ekonom Jerman tersebut sampai menyematkan istilah tersebut terhadap AS?

Sebuah Prediksi yang Mengejutkan?

Menurut ketiga profesor tersebut, kendati dominasi dolar telah membuat peningkatan konsumsi riil di AS, namun pada waktu yang sama, hal tersebut telah mengurangi pertumbuhan domestik dan lapangan pekerjaan.

Konteks yang mirip juga disorot oleh mantan diplomat sekaligus akademisi Singapura, Kishore Mahbubani yang menyebutkan AS telah menjadi satu-satunya negara maju di dunia yang pendapatan 50 persen masyarakat terbawah secara ekonomi dari total populasi, mengalami penurunan dalam periode 30 tahun.

Filsuf AS Noam Chomsky juga berulang kali menegaskan hal yang sama bahwa kekayaan AS sejatinya hanya dimiliki oleh 1 persen dari total penduduknya. Seperti halnya bunyi pepatah, “yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin”.

Baca juga :  Elon Musk, “Fahri Hamzah”-nya Trump?

Konteks tersebut, dengan tajam kemudian diungkit oleh SBY dengan menyebutkan penjarahan yang terjadi di berbagai kota di AS saat ini kemungkinan merupakan indikasi bahwa masyarakat golongan bawah AS tengah mengalami kesulitan ekonomi sehingga mendorong mereka melakukan penjarahan.

Tidak hanya menyibak mengenai fundamental ekonomi AS yang sebenarnya keropos karena terjadinya kesenjangan ekonomi yang besar, sebuah prediksi yang lebih mengerikan tentang ekonomi AS juga menyeruak.

Prediksi tersebut mengacu pada pernyataan Benjamin Cohen dalam tulisannya Towards a Leaderless Currency System yang menyebutkan di masa depan sistem mata uang tidak akan memiliki pemimpin atau mata uang dominan.

Tidak hanya karena mata uang Eropa seperti euro dan poundsterling dapat menyaingi dominasi dolar AS di masa depan. Kemungkinan dominasi mata uang Tiongkok, yakni yuan dan renminbi juga dapat menjadi ancaman besar tersendiri. Pasalnya, sama halnya dengan dolar AS, euro dan poundsterling, mata uang yuan dan renminbi juga merupakan bagian penting dari SDR IMF.

Selain itu, laporan lembaga think thank asal Jerman, Kiel Institute for the World Economy, menyebutkan bahwa selama kurun waktu 2000-2017, utang negara-negara lain kepada Tiongkok telah melonjak sampai 10 kali lipat – mulai dari US$ 500 miliar (Rp 6.964 triliun) hingga lebih dari US$ 5 triliun (Rp 69.640 triliun). Ini kemudian membuat Negeri Panda menjadi kreditor resmi terbesar melampaui IMF atau Bank Dunia. Tentunya, fakta ini akan meningkatkan ketergantungan atas mata uang Tiongkok menjadi lebih besar dari sebelumnya.

Dullien, Herr, dan Kellermann bahkan sejak jauh-jauh hari menyebutkan bahwa kebangkitan ekonomi Tiongkok merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap ketimpangan global.

Pun begitu dengan Mahbubani yang memiliki harapan besar terhadap negeri Tirai Bambu, dengan menyebutnya sebagai kekuatan yang dapat menyalip dominasi AS. Jika pandemi Covid-19 tidak menerjang, Tiongkok mungkin telah keluar sebagai pemenang Perang Dagang.

Singkat kata, poin penting yang menjadi kutukan bagi AS adalah, bagaimana jika di masa depan dolar AS sudah tidak lagi menjadi mata uang yang berpengaruh. Lantas, mungkinkah itu akan menjadi akhir bagi digdayanya ekonomi negeri Paman Sam?

Bagaimanapun juga, hal tersebut tentunya hanya prediksi belaka. Namun, seperti dalam pertanyaan SBY, mungkinkah kita akan melihat kejatuhan AS di masa depan? Who knows. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...