“Mengingatkan agar negara, pemerintah, aparat BIN, Polri, dan TNI bersikap netral. Saya diserang oleh partai politik tertentu, katanya SBY panik. SBY tidak panik!” ~Susilo Bambang Yudhoyono
PinterPolitik.com
[dropcap]C[/dropcap]erita tentang tidak netralnya aparat negara dalam suatu pemilihan memang tidak pernah ada habisnya. Baik aparat sipil maupun aparat keamanan kerapkali menjadi bagian tidak terpisahkan dalam Pemilu. Meski demikian, cerita-cerita semacam ini seringkali hanya tercium tanpa bisa dibuktikan, apalagi ditindak.
Teranyar, Presiden keenam republik ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti netralitas aparat itu. Ketua Umum Partai Demokrat tersebut menyebutkan bahwa ketidaknetralan itu bukan hanya isapan jempol. Secara khusus, pihaknya kerap dirugikan oleh aparat yang bersikap tidak biasa tersebut.
Beragam tanggapan muncul menjawab tudingan SBY tersebut. Sebagian besar jawaban meminta pendiri Partai Demokrat tersebut untuk membuktikan dan melaporkan sikap aparat tersebut. Menurut mereka, jangan sampai SBY membuat gaduh dengan sesuatu yang tidak bisa dibuktikan.
Lantas, benarkah apa yang diucapkan oleh SBY? Bukankah menyeramkan jika aparat bersenjata seperti TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN) ini bersikap tidak netral? Atau jangan-jangan tudingan SBY tersebut hanya sebuah isapan jempol belaka?
Cerita Ketidaknetralan Aparat
SBY menyebut bahwa bukan satu kali saja ia menjadi korban tindakan aparat keamanan yang di luar batas. Ia meyakini bahwa berbagai kekalahan dan kesulitan yang ia hadapi di Pilkada bersumber dari ketidaknetralan aparat keamanan negeri ini.
SBY mengungkit kekalahan yang diderita pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni di Pilgub DKI Jakarta 2018. Kala itu, Sylviana seringkali dikaitkan dengan kasus hukum tertentu.
Kala itu, Sylviana berkali-kali dipanggil oleh kepolisian. Padahal, masa kampanye Pilgub DKI Jakarta sudah berjalan. Tidak hanya Sylviana, suami mantan birokrat DKI Jakarta tersebut juga menjadi sasaran aparat kepolisian. Hal ini dianggap menyulitkan dan merugikan kampanye pasangan AHY-Sylviana.
SBY juga mengungkit ketidaknetralan kepolisian jelang pencalonan Lukas Enembe di Pilgub Papua. Ia menyebut bahwa ada dua perwira tinggi Polri yang meminta Lukas berpasangan dengan salah satu petinggi kepolisian. Lukas juga bahkan disebut-sebut diminta untuk tidak melaju dari Partai Demokrat, padahal ia adalah Ketua DPD Partai Demokrat Papua.
Kandidat lain asal Partai Demokrat yang dijegal pencalonannya adalah Syaharie Jaang. Beberapa saat jelang diumumkan menjadi Cagub Kaltim, Syaharie sempat dipanggil kepolisian. Demokrat menilai Syaharie menjadi korban kriminalisasi karena menolak dipasangkan dengan seorang jenderal polisi.
Secara spesifik, Partai Demokrat menuding bahwa ada salah satu partai yang menjadi dalang ketidaknetralan aparat tersebut. Politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahean menyebut bahwa PDIP sebagai partai penguasa memperalat lembaga negara demi kekuasaan.
Pernyataan itu menimbulkan saling tuding antara Demokrat dengan PDIP. PDIP melancarkan serangan balasan atas tudingan yang dilontarkan oleh Demokrat. Partai berlogo banteng tersebut mengungkit soal tidak netralnya KPU sebagai penyelenggara Pemilu di tahun 2009.
Jika diperhatikan, SBY pantas khawatir dengan netralitas aparat dalam pesta demokrasi. Rentetan kasus yang menimpa partainya seperti menunjukkan pola yang mengancam langkah partainya di Pilkada.
Sulitnya Menjaga Netralitas
Idealnya, aparat apalagi mereka yang bersenjata memang jauh dari kegiatan politik. Institusi seperti militer, polisi, dan angkatan bersenjata seharusnya tidak menjadi alat kelompok manapun dalam merengkuh kekuasaan. Akan tetapi, kondisi ideal tersebut kerapkali tidak mudah untuk diwujudkan.
Hal ini disoroti misalnya oleh Steve Corbett dan Michael J. Davidson. Dalam penelitian mereka, digambarkan bagaimana netralitas militer di Negeri Paman Sam bukanlah hal yang mudah diwujudkan. Hal ini tergolong ironis mengingat AS merupakan negara yang dicitrakan demokratis.
Corbett dan Davidson menyebutkan bahwa upaya awal untuk mencegah ketidaknetralan aparat militer AS terbukti tidak berhasil. Mereka menggambarkan hal ini melalui aktivitas tentara AS yang bersikap partisan dan mendukung kandidat presiden Andrew Jackson pada tahun 1832. Meski hal ini mulai berkurang pada era Perang Dunia II, kasus-kasus kecil ketidaknetralan militer tetap ditemukan.
Kondisi tersebut menjadi penanda bahwa sulit untuk benar-benar menjaga militer dan kepolisian tetap netral. Meski secara institusi kerap menyebut diri netral, di tingkat individu kerapkali sulit menjaga oknum-oknum aparat untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik partisan.
SBY dan Partai Demokrat meminta BIN Polri untuk netral. Tetapi yang menjawab malah PDI-P. Kami betul2 heran, ada apa dsngan PDI -P.
— andi arief (@AndiArief__) June 25, 2018
Selain militer, aparat kepolisian juga rentan menjadi alat pelancar kekuasaan kelompok tertentu. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Bruce Smith. Menurut Smith, banyak aparat penegak hukum yang kerap menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan yang bersifat partisan.
Dalam pandangan Smith, kontrol populer masyarakat terhadap aparat penegak hukum telah hilang. Kontrol populer tersebut kemudian berganti menjadi kontrol politik yang mencengkeram kuat institusi penegak hukum, terutama kepolisian. Hal ini membuat aktor-aktor politik memiliki kekuasaan untuk mengatur kepolisian, mulai dari rekrutmen hingga pembuatan keputusan.
Dalam kadar tertentu, ketidaknetralan aparat kepolisian ini bersumber dari penganggaran yang terjadi di dalam parlemen. Ada kecenderungan bahwa partai politik tertentu akan mengatur anggaran kepolisian supaya mereka bisa mengontrol korps tersebut.
Berdasarkan pandangan Smith tersebut, maka pendapat Demokrat bahwa ada parpol yang menjadi dalang ketidaknetralan aparat boleh jadi memiliki dasar. Secara teoretis, kontrol politik terhadap aparat kepolisian memang mungkin terjadi.
Mencengkeram Aparat ala Mesir
Jika diperhatikan, sikap aparat yang tidak netral ini tidak hanya terjadi di tanah air. Dekatnya angkatan bersenjata dengan kekuasaan membuat mereka rentan dimanfaatkan rezim. Hal ini terutama berlaku pada negara-negara yang memiliki riwayat panjang politik militer.
Mesir dapat menjadi salah satu bukti bahwa militer dapat menjadi alat politik penguasa. Jelang Pilpres Mesir 2018, banyak orang telah mencium ketidaknetralan aparat di bawah kendali presiden petahana Abdel Fattah El-Sisi. Para ahli dan diplomat di Kairo menyebutkan militer dan aparat keamanan lain adalah penyokong utama kekuatan El-Sisi jelang pemilu.
El-Sisi disebut-sebut mampu mengendalikan militer dan aparat keamanan agar berpihak kepadanya. Hal ini berakibat pada tersingkirnya calon lawan-lawannya di Pilpres Mesir 2018. Kandidat-kandidat yang dirumorkan akan menjadi lawannya harus tersingkir sebelum benar-benar mendaftar. Padahal, mereka sendiri adalah bekas anggota militer.
Kapuspen TNI : Prajurit TNI Tidak Netral Dalam Pilkada 2018, Laporkan…??? #NetralitasTni #NKRIHargaMati #PilkadaSerentak2018 pic.twitter.com/1kWEci7XEw
— Pusat Penerangan TNI (@Puspen_TNI) June 25, 2018
Salah satu calon yang diprediksi menjadi lawan berat El-Sisi adalah Sami Anan, salah seorang mantan petinggi militer Mesir. Beberapa saat sebelum Anan mengumumkan diri akan menjadi calon presiden, El-Sisi segera melakukan perombakan di dalam intelejen. El-Sisi mengganti kepala intelejen dengan orang yang dianggap lebih loyal padanya.
Pada akhirnya, Anan batal bertarung dengan El-Sisi di Pilpres Mesir. Anan harus berurusan dengan hukum karena dianggap melanggar peraturan militer. Beberapa orang terdekat Anan menyebut bahwa sebelum dipenjara, Anan sempat diinterogasi oleh beberapa tentara.
Hal serupa berlaku bagi bakal capres Mesir yang lain. Ahmed Shafiq misalnya disebut-sebut sempat disekap di sebuah hotel di Kairo oleh anggota militer. Calon lain, Ahmed Konsowa juga ditahan beberapa saat setelah mengumumkan diri sebagai capres.
Terlihat bahwa El-Sisi sebagai penguasa memiliki keleluasaan untuk mengarahkan kinerja aparat dari militer hingga intelejen. Langkah ini memudahkan ia untuk mengeliminasi lawan sehingga pada Pilpres lalu ia hanya menghadapi lawannya yang relatif lebih mudah.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, kisah tentang ketidaknetralan aparat bisa dianggap bukan sekadar isapan jempol. Begitu dekatnya aparat dengan kekuasaan membuat mereka cenderung dapat dikendalikan oleh pihak penguasa. Tuduhan SBY boleh jadi memiliki dasar, mengingat gejala-gejala ketidaknetralan aparat memang terjadi secara luas.
Oleh karena itu, meski masih sulit dibuktikan, sepertinya cerita tentang ketidaknetralan bukan isapan jempol belaka. Idealnya, pemerintah dan partai-partai pendukungnya tidak bersikap terlampau defensif karena ketidaknetralan aparat memang dimungkinkan secara teoretis dan terjadi di berbagai negara. (H33)