Isu kudeta Partai Demokrat terus bergulir. Terbaru, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan turun gunung untuk memasang badan. Namun, dengan dikenalnya SBY lihai dalam memainkan strategi, mungkinkah ada intrik lain dari manuvernya itu?
Dipo Alam dalam tulisannya Jalan Demokrasi Para Jenderal (Bagian I) memberikan refleksi menarik terkait kedewasaan berdemokrasi para elite militer. Selaku negara yang perjalanan politiknya sangat erat dengan militer, reformasi militer Indonesia terhitung sangat cepat.
Alih-alih melakukan kudeta seperti militer Myanmar baru-baru ini, elite-elite militer seperti Wiranto, Prabowo Subianto, A.M. Hendropriyono dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru memilih jalan demokrasi seperti bergabung ke dalam partai politik atau membuat partainya sendiri.
Hendropriyono pernah memimpin Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Wiranto dan Prabowo yang sebelumnya di Partai Golkar kemudian mendirikan Partai Hanura dan Partai Gerindra. Sementara SBY, berhasil merasakan kekuasaan selama sepuluh tahun bersama Partai Demokrat.
Baca Juga: Jalan Demokrasi Para Jenderal (Bagian I)
Terkhusus Partai Demokrat, saat ini partai tersebut tengah digoyang oleh isu kudeta. Menariknya, elite militer yang disebut sebagai dalangnya. Adalah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, sosok yang diangkat menjadi Panglima TNI oleh SBY yang justru disebut ingin menguasai partai mercedes.
Terlepas dari benar-tidaknya dugaan tersebut, selepas SBY memutuskan turun gunung, saat ini mungkin dapat dikatakan kita sedang meyaksikan seteru antara dua jenderal. Betapa tidak, dalam keterangannya, SBY secara spesifik menyebut nama Moeldoko.
“Secara pribadi, saya sangat yakin bahwa yang dilakukan Moeldoko adalah di luar pengetahuan Presiden Jokowi,” begitu tegas SBY pada 24 Februari.
Sehari kemudian, Moeldoko turut berkomentar dengan menyebutkan, “Saya ingin mengingatkan semuanya ya. Saya ingin mengingatkan karena saya bisa sangat mungkin melakukan apa itu langkah-langkah yang saya yakini.”
Tiba-tiba munculnya SBY ini terbilang menarik. Pasalnya, setelah isu kudeta ramai dibahas di awal Februari, ada masa di mana isu ini seperti tenggelam begitu saja. Lantas, adakah intrik lain dari SBY di balik pernyataannya ini?
Si Ahli Strategi
Jika membahas SBY, Adhi Priamarizki dalam tulisannya Military Reform and Military Maverick memberikan kita penjelasan terkait spesialnya sosok Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut. Menurutnya, sama dengan Agus Wirahadikusumah dan Agus Widjojo, SBY tergolong sebagai military maverick atau maverick militer.
Mengutip Barry Posen dalam The Source of Military Doctrine: France, Britain, and Germany between the World Wars, maverick militer adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan para perwira militer yang memiliki cara berpikir yang relatif berbeda dan dapat mengusulkan ide perubahan yang signifikan.
Secara khusus, sosok-sosok maverick militer disebut memainkan peran penting dalam membawa ide-ide demokrasi berhasil masuk ke angkatan bersenjata.
Menurut Priamarizki, ketiga sosok militer tersebut memainkan peran penting dalam upaya mereformasi militer dan mendukung agenda demokratisasi di penghujung tahun 1990-an dan di awal 2000-an.
Sosoknya sebagai maverick militer juga terlihat jelas dari kemampuan SBY dalam menyiapkan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik. Menurut Dipo Alam, persiapan ini sudah dilakukan SBY sejak 2002. Namun, ada pula yang menyebut SBY telah menyiapkan jaringannya sejak tahun 1990-an.
Baca Juga: Moeldoko Lanjutkan Estafet Prabowo?
Selama sepuluh tahun menjadi RI-1, kapasitas SBY sebagai maverick militer semakin terlihat. Menariknya, selaku sosok yang merasakan dwifungsi dan represi militer di era Orde Baru, SBY justru dikenal sebagai Presiden yang demokratis.
Mengacu pada data Economist Intelligence Unit (EIU), dari tahun 2006 ke 2015, skor indeks demokrasi Indonesia naik dari 6,41 menjadi 7,03. Uniknya, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang berlatar belakang sipil, dari tahun 2015 indeks demokrasi Indonesia justru terus menurun. Pada 2020, angkanya bahkan menyentuh 6,30. Itu adalah skor paling rendah dalam 14 tahun terakhir.
Pada 7 Februari 2017, terdapat cerita menarik dari SBY. Ia mengaku pernah mendapat saran agar berlaku lebih tegas dan keras karena dirinya dinilai terlalu demokratis. Menurutnya, tawaran itu adalah godaan politik yang sangat menggiurkan. Namun, setelah memikirkan dengan baik-baik, SBY memutuskan tidak mengambil saran tersebut.
Selain persoalan demokrasi, kemampuan SBY sebagai seorang maverick militer juga terlihat dari strategi politiknya yang kemungkinan besar mengaplikasikan strategi ahli perang asal Tiongkok, Sun Tzu. Sebagai contoh, SBY mungkin mengaplikasikan nasihat Sun Tzu, yakni “Seorang jenderal harus menyayangi setiap prajuritnya seperti anak kesayangannya sendiri.”
Konteks tersebut terlihat dari strategi SBY yang kerap merangkul lawan politik dan memberlakukannya dengan baik. Perlakuan yang baik itu kemudian melahirkan rasa hormat dan loyalitas.
Nah, setelah membahas kemampuan SBY sebagai maverick militer ataupun ahli strategi, apakah Presiden ke-6 RI ini telah memainkan langkah tertentu dengan terjun dalam pusaran isu kudeta Partai Demokrat?
Menyisir Loyalitas?
Baru-baru ini, sejumlah mantan kader dan kader Partai Demokrat mendorong dilakukannya Kongres Luar Biasa (KLB) untuk mempromosikan Moeldoko menggantikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum dan menempatkan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat.
Tanpa menunggu lama, Ibas langsung angkat suara menegaskan kekompakan Partai Demokrat di tingkat pusat dan daerah, serta meminta agar tidak ada usaha untuk mengadu domba dirinya dengan AHY.
Dalam tulisan PinterPolitik sebelumnya, Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat, telah dijelaskan bahwa operasi intelijen pihak yang ingin mengkudeta AHY tampaknya tertahan di tahap infiltrasi atau tahap penyusupan karena AHY bergerak cepat melakukan operasi kontra intelijen dengan menyampaikan pernyataan terbuka, serta mengirim surat ke Presiden Jokowi.
Namun, munculnya KLB dengan mengusung nama Moeldoko dan Ibas, tampaknya menunjukkan operasi intelijen tersebut kembali dilanjutkan menuju tahap pencerai-beraian, di mana disodorkannya nama Moeldoko dimaksudkan untuk menciptakan kesan delegitimasi terhadap kepemimpinan AHY.
Nah, sadar operasi intelijen telah menuju tahap yang lebih lanjut, SBY tampaknya memutuskan bahwa sudah saatnya untuk terlibat. Entah ini atas usulan SBY atau bukan, Partai Demokrat akhirnya memecat secara tidak hormat tujuh kadernya, yakni Darmizal, Yus Sudarso, Tri Yulianto, Jhoni Allen Marbun, Syofwatillah Mohzaib, Marzuki Alie, dan Ahmad Yahya.
Seperti yang diketahui, dari tujuh nama tersebut, Darmizal, Jhoni Allen, dan Marzuki Alie disebut sebagai dalang kudeta. Di sini, strategi Sun Tzu kembali terlihat dilakukan. Andri Wang dalam bukunya The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, menyebutkan itu adalah salah taktik berperang untuk mengurangi kekuatan musuh. Di era Sun Tzu, taktik ini digunakan dengan cara mencuri logistik musuh, seperti kuda dan bahan makanan.
Dalam buku Il Prince karya Niccolo Machiavelli, pemecatan tujuh kader tersebut juga tergolong dalam strategi mempertahankan kekuasaan, yakni setiap potensi perlawanan memang harus dimusnahkan. Selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, besar kemungkinan SBY yang memberi saran atas langkah pemecatan tersebut.
Terkait hal ini, pada 5 Agustus 2012, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana memberikan komentar menarik terkait SBY yang membiarkan kader-kadernya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, SBY bisa jadi tengah meminjam atau memanfaatkan tangan KPK untuk melakukan “bersih-bersih” kader.
Baca Juga: Di Balik Panas Lagi Mega-SBY
Jika dugaan Ari Dwipayana benar, ada kemungkinan SBY juga memanfaatkan isu kudeta untuk menyisir kader Partai Demokrat yang tidak loyal terhadap kepemimpinan AHY.
Pada akhirnya, tentu perlu digarisbawahi bahwa sekelumit analisis ini hanyalah interpretasi teoretis semata. Lagipula, isu Moeldoko yang ingin mengambil alih Partai Demokrat juga masih samar sampai saat ini. Kita lihat saja perkembangannya. (R53)