Berbagai pihak menilai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK), dan Surya Paloh akan membangun koalisi dan menyatukan kekuatan untuk melawan PDIP di Pemilu 2024. Berhasilkah ketiga kekuatan itu menaklukkan Megawati?
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya kembali. Sempat mengatakan akan berada di belakang layar politik, SBY sepertinya mengubah sikap. Akhir-akhir ini, Presiden ke-6 RI tidak lagi menunjukkan aktivitas melukisnya, melainkan safari politik ke sejumlah tokoh penting.
Dua yang paling menyorot perhatian adalah pertemuan dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di NasDem Tower, dan dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di kediaman SBY di Cikeas, Jawa Barat.
Pentingnya dua pertemuan itu dapat dilihat dari komentar berbagai elite politik. Ketika SBY mengunjungi Paloh, misalnya, Ketua Bappilu PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto menyebutnya sebagai “pertemuan langit”.
Pun demikian dengan kedatangan JK ke Cikeas, lagi-lagi politisi PDIP angkat bicara. Politisi PDIP Andreas Hugo menyebut pertemuan itu sebagai ambisi menjadi king maker di Pilpres 2024. Apalagi, pada saat yang bersamaan, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga mengunjungi Paloh di NasDem Tower.
Di kesempatan yang berbeda, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno juga menilai pertemuan SBY-JK dan Paloh-AHY demi kepentingan 2024. Lebih menarik lagi, Adi menduga ini untuk mengalahkan PDIP.
Lantas, jika dugaan Adi benar, mampukah trio SBY-JK-Paloh menaklukkan Megawati Soekarnoputri di Pemilu 2024?
Keluar dari Bayang-bayang PDIP
Sebelum menjawabnya, terlebih dahulu harus diulas bagaimana ketiga tokoh penting ini dapat bersatu. Untuk kepentingan ini, kita perlu menggunakan metode investigasi detektif fiktif Sherlock Holmes yang disebutkan dalam novel A Study in Scarlet, yakni menggunakan metode bernalar dari belakang ke depan.
Memberi sedikit konteks, dalam literasi filsafat, khususnya epistemologi, cara bernalar Sherlock Holmes telah digunakan sebagai contoh bagaimana membangun argumentasi yang dalam dan tajam.
Metode bernalar dari belakang ke depan memusatkan perhatian pada motif alias kenapa suatu fenomena terjadi. Dalam studi hukum dan kriminologi, pencarian motif menjadi aspek penting karena merupakan alasan di balik terjadinya tindak kejahatan. Dalam penjelasan umum, motif didefinisikan sebagai keinginan yang mendorong tindakan.
Nah, memetakan motif yang mungkin, ada tiga hal yang dapat menjadi alasan kuat bersatunya SBY-JK-Paloh. Pertama, ketiganya memiliki common enemy atau musuh bersama, yakni Megawati dan PDIP. Seperti bunyi pepatah kuno, “The enemy of my enemy is my friend”. Musuh dari musuh ku adalah teman ku.
Kedua, ketiganya memiliki collective grudges atau dendam bersama – setidaknya sejarah buruk yang sama. Terkait SBY, rasa-rasanya kita semua sudah mengetahuinya. Ada peristiwa Kudatuli dan “penghianatan” SBY terhadap Megawati pada Pilpres 2004.
Politikus senior PDIP Panda Nababan, dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran Kekuasaan, mengungkapkan hubungan tidak baik antara SBY-Megawati bermula pada Pilpres 2004. Salah satu alasannya karena Megawati menilai SBY sebagai pembohong karena mengatakan tidak maju di Pilpres 2004, padahal kemudian maju bersama JK.
Kemudian JK, ini kemungkinan soal jagoannya, yakni Anies Baswedan yang mendapat rintangan dari PDIP. Seperti yang diketahui, sejak Pilgub DKI Jakarta 2017, terdapat hubungan yang kurang baik antara Anies dengan partai banteng. Terbaru, gestur Anies mengundang tukang bakso juga mendapat kritik terbuka dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Sementara Paloh, ini bermula pada Pemilu 2019, di mana berbagai kader potensial PDIP berhasil ditarik NasDem. Saat pelantikan anggota DPR RI pada 1 Oktober 2019, Megawati juga terlihat tidak menyalami Paloh dan AHY.
Baru-baru ini, ada pula gestur saling sindir antara Paloh-Megawati. Pada Rakernas NasDem, Paloh sempat menyebut adanya partai sombong. Kemudian di Rakernas PDIP, seolah membalas, Megawati mempertanyakan kenapa ada yang menyebut partainya sombong.
Ketiga, berangkat dari dua hal sebelumnya, ketiganya memiliki common interest atau kepentingan bersama, yakni terlepas dari bayang-bayang kekuasaan Megawati dan PDIP. Julie Beck dalam tulisannya People Want Power Because They Want Autonomy, menyebutkan bahwa hasrat atas kekuasaan (power) ternyata lebih terpuaskan dengan kondisi berotonomi daripada kondisi mengontrol orang lain.
Dengan kata lain, jika benar SBY-JK-Paloh tengah membangun kekuatan bersama, itu merupakan bentuk keseganan mereka untuk berada di bawah kekuasaan PDIP. Terkhusus SBY, selama partai banteng berkuasa, Partai Demokrat tidak akan mendapatkan kursi kabinet.
Secara tersirat, konteks itu juga bisa dibaca dari pernyataan Deputi Bappilu DPP Demokrat Kamhar Lakumani. Ketika mengomentari pernyataan Andreas Hugo, Kamhar mengatakan pertemuan itu bukan perkara menang kalah, melainkan lebih substantif, yakni semangat perubahan dan perbaikan bangsa.
Jika ada perubahan dan perbaikan, bukankah kondisi saat ini dinilai bermasalah? Dan jika membahas kondisi saat ini, yang berkuasa sekarang adalah PDIP. Jika benar demikian makna pernyataan Kamhar, maka itu adalah doublespeak atau pernyataan ganda.
Siapa yang Menang?
Setelah membahas motif atau apa yang menyatukan ketiganya, sekarang kita akan membuat kalkulasi politik kekuatan. Pertama, tentu saja soal akumulasi suara, apakah trio ini sudah memenuhi presidential threshold (preshold) 20 persen atau tidak.
Sayangnya, akumulasi suara NasDem (9,05 persen) dan Demokrat (7,77 persen) hanya 16,82 persen. Mereka butuh partai tambahan untuk menggenapi 20 persen.
Mengacu pada status JK sebagai mantan Ketua Umum Golkar, partai beringin tentunya menjadi jawaban. Namun, dengan sikap tegas Golkar yang ingin mengusung Airlangga Hartarto sebagai capres, pilihan yang paling masuk akal sepertinya adalah PKS.
Dengan PKS memiliki 8,21 persen, ketiga partai ini akan memiliki 25,03 persen suara alias sudah memenuhi preshold 20 persen. Selain itu, PKS juga akan diuntungkan jika mengusung Anies Baswedan. Keduanya memiliki basis massa yang sama, PKS akan mendapatkan efek ekor jas dari Anies.
Di sisi NasDem, nama Anies masuk sebagai capres rekomendasi Rakernas. Surya Paloh juga telah mengusulkan duet Anies-Ganjar Pranowo ke Presiden Jokowi.
Kedua, logistik pemenangan. Terkait ini, rasa-rasanya bukan masalah. JK dan Paloh merupakan pengusaha besar. Kemudian SBY, dengan absennya Demokrat di dua gelaran pilpres, besar kemungkinan partai mercedes menyimpan cadangan logistik yang besar.
Ketiga, ini yang terpenting, seberapa kuat pasangan yang diusung. Pada kekuatan pertama dan kedua, trio SBY-JK-Paloh dapat dikatakan sejajar dengan Megawati. Kedua poros ini sudah mampu mengusung calon dan memiliki logistik pemenangan yang besar.
Yang membedakan adalah kekuatan ketiga. Trio SBY-JK-Paloh sudah mengerucutkan nama, yakni antara Anies-Ganjar atau Anies-AHY. Sementara poros Megawati bersama PDIP terlihat masih berhitung. Selain itu, berbeda dengan duet Anies-Ganjar atau Anies-AHY yang dinilai sangat potensial, Puan Maharani yang akan diusung PDIP mendapatkan banyak penilaian pesimis.
Tidak hanya soal elektabilitas Puan yang rendah, komunikasi dan gestur politiknya juga mendapat banyak kritik publik. Jika nantinya Puan maju di Pilpres 2024, berbagai blunder itu akan dengan mudah diekspos untuk menjatuhkannya.
Well, sebagai penutup, penentuan kemenangan antara trio SBY-JK-Paloh melawan Megawati ada pada sosok yang akan mereka usung. Jika Anies-Ganjar atau Anies-AHY akan melawan Puan Maharani, kemungkinan besar Megawati akan ditaklukkan.
Puzzle terakhir kalkulasi adalah sosok pilihan Megawati. Apakah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto? Apakah Panglima TNI Andika Perkasa? Ataukah sosok kejutan? Kita lihat saja. (R53)