HomeNalar PolitikSBY dan Jokowi Memang Beda Kelas?

SBY dan Jokowi Memang Beda Kelas?

Perbedaan sikap atas dorongan majunya salah satu anggota keluarga dari Presiden Jokowi dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat banyak pihak menyebut jika Jokowi dan SBY memang beda kelas dalam berpolitik.


PinterPolitik.com

Isu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan usia minimum calon wakil presiden (cawapres) terus menjadi kontroversi.

Selain banyak yang menilai kejanggalan dalam putusan itu, putusan MK itu juga disinyalir banyak pihak untuk mempermulus jalan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.

Gibran kabarnya didorong untuk maju menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto.

Meskipun begitu, Gibran sendiri membantah jika putusan MK itu hanya untungkan dirinya. Menurutnya masih ada puluhan kepala daerah lain yang juga diuntungkan dengan putusan MK itu.

Selain itu, Presiden Jokowi memilih tidak mau berkomentar terkait putusan MK yang dianggap hanya menguntungkan anak sulungnya itu.

jokowi bertemu sby di istana bogor

Jokowi menegaskan jika dirinya tidak ikut campur dalam putusan MK itu, meskipun terdapat Anwar Usman, adik iparnya yang menjadi Ketua MK.

Atas berbagai kejanggalan itu, banyak pihak yang menuduh jika putusan MK itu telah diatur hanya menguntungkan keluarga Jokowi.

Menariknya, sejatinya ini bukanlah hal pertama keluarga dari presiden ataupun mantan presiden yang memiliki popularitas tinggi didorong untuk maju dalam pemilihan presiden.

Pada saat menjelang Pilpres 2014 lalu, Ani Yudhoyono yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sempat didorong untuk maju dalam pilpres.

Namun, pada saat itu Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat SBY lebih memilih untuk menjaring capres melalui mekanisme konvensi.

Jokowi Pragmatis, SBY Idealis?

Putusan MK terkait batasan usia cawapres dianggap publik menguntungkan keluarga Jokowi. Atas dasar itu, banyak yang menilai Jokowi adalah pemimpin yang pragmatis.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Pragmatisme dalam politik adalah pandangan atau pendekatan terhadap politik yang menekankan pada kebijaksanaan, utilitas, dan kemanfaatan praktis sebagai faktor penentu tindakan politik, daripada mengikuti ideologi atau prinsip moral yang ketat.

Dalam konteks ini, pragmatisme politik menekankan pentingnya mencapai tujuan politik dengan menggunakan metode yang dianggap paling efektif, terlepas dari pertimbangan etika atau prinsip yang mungkin menghambat pencapaian tujuan tersebut.

Berkaca dari penjelasan itu, tampaknya putusan MK dinilai sebagai bentuk pragmatisme politik Jokowi untuk memajukan Gibran sebagai cawapres karena dianggap metode paling efektif mencapai tujuan politiknya.

Meskipun banyak pihak yang menilai Jokowi tak mempertimbangkan etika politik tentang anggapan membangun sebuah dinasti politik yang kiranya akan menciderai iklim demokrasi.

Sikap pragmatisme Jokowi tampaknya juga terlihat dengan mempertimbangkan popularitas Gibran sebagai kepala daerah muda yang sedang naik dan berpeluang untuk melanjutkan legacy politiknya.

Sedangkan terkait dengan sikap SBY yang memilih untuk tetap menyaring capres lewat mekanisme konvensi Partai Demokrat, meskipun sang istri Ani Yudhoyono didorong untuk maju dalam Pilpres 2014, bisa dikatakan SBY adalah seorang idealis.

Idealisme dalam politik adalah suatu pandangan atau filsafat politik yang menekankan pentingnya prinsip-prinsip moral, nilai-nilai etika, dan tujuan yang dianggap sebagai yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat dan negara.

Idealisme dalam politik berfokus pada keyakinan bahwa tindakan politik harus diilhami oleh nilai-nilai tinggi, seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan kebaikan bersama.

Atas dasar itu, SBY kiranya lebih mementingkan etika untuk tidak ikut mendorong istrinya menjadi kontestan dalam Pilpres 2014 meskipun saat itu popularitas Ani Yudhoyono juga sedang tinggi dan banyak dorongan untuk maju dalam pilpres.

sby nothings wrong with jokowi 01

Beda Kelas Berpolitik

Perbedaan sikap dan pandangan Jokowi-SBY terkait dorongan maju dalam kontestasi pilpres terhadap keluarganya menggambarkan perbedaan gaya kepemimpinan dalam menyikapi suatu kejadian politik.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Selain menggambarkan perbedaan gaya kepemimpinan, ini juga menggambarkan bagaimana keduanya dalam memandang keuntungan politik.

Jokowi tampaknya berpandangan pencalonan Gibran adalah langkah yang cerdas dan strategis dalam politik.

Di sisi lain, SBY tampaknya menilai pencalonan Ani saat itu sebagai langkah yang melanggar etika politik.

Perbedaan pandangan antara Jokowi dan SBY mencerminkan perdebatan yang sedang berlangsung di kalangan elit politik Indonesia mengenai etika dan transparansi dalam proses pemilihan umum.

Sementara Jokowi yang tampaknya melihat pencalonan Gibran sebagai peluang untuk mencapai tujuan politiknya, SBY berpendapat bahwa etika dan prinsip-prinsip moral harus menjadi landasan dalam politik.

Namun demikian, hal ini juga menggarisbawahi pentingnya transparansi, integritas, dan penerapan etika dalam politik.

Keputusan tentang pencalonan seorang individu seharusnya didasarkan pada kemampuan, integritas, dan komitmen mereka untuk melayani masyarakat, bukan sekadar hubungan keluarga atau pertimbangan politik. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?