HomeNalar PolitikSaudi Bakal Terseret Perang Israel-Palestina? 

Saudi Bakal Terseret Perang Israel-Palestina? 

Posisi politik Arab Saudi dalam Perang Israel-Palestina semakin disorot, terutama setelah Houthi Yaman turut menjadi kontestan perang tersebut. Kira-kira apakah Saudi juga akan ikut terseret peperangan itu? 


PinterPolitik.com 

Perang antara Israel dan Palestina pada tahun 2023 tampak semakin menegangkan dan sulit ditebak. Perseteruan panjang yang kembali tereskalasi pada tanggal 7 Oktober silam itu kini dipercaya setidaknya telah menewaskan lebih dari 10.000 orang, yang tergabung dari masing-masing pihak. 

Layaknya badai yang tak kunjung mereda, perkembangan perang tersebut pun belakangan mulai menunjukkan eskalasi yang semakin mengkhawatirkan. Yaman, salah satu negara di Teluk Arab pada tanggal 31 Oktober lalu turut melibatkan diri dalam perang Israel dan Palestina dengan meluncurkan rentetan rudal balistik ke negara yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM), Benjamin Netanyahu itu. 

Walaupun rudal-rudal tersebut dikabarkan berhasil dihalau oleh sistem pertahanan Israel sebelum meledak di teritorinya, hal ini menjadi momen yang menandakan “sahnya” Yaman sebagai musuh berbahaya Israel. 

Namun, serangan yang dilakukan Yaman kemarin menyimpan satu kisah menarik yang sepertinya belum disadari banyak orang. Sebelum tanggal 31 Oktober, sejumlah media internasional sebetulnya sudah mengabarkan bahwa Yaman meluncurkan misil-misil ke Israel, tapi misil-misil tersebut diketahui selalu dihalau oleh pertahanan udara Arab Saudi, negara yang secara geografis berada di jalur lintasan misil Yaman ke Israel. 

Akan tetapi, ketika Yaman melakukan serangan pada 31 Oktober, Saudi tiba-tiba tidak menghalau serangan misil itu. Karena hal itu, pengamat internasional dari Colorado State University, Mahad Darar dalam tulisannya di laman The Conversation, melemparkan satu pertanyaan penting, yakni mengapa Saudi tidak menghalau misil dari Yaman? 

Apakah ini hanya kesalahan? Atau justru sebuah simbol dari gestur diplomatis dari Saudi terhadap Perang Israel-Palestina? 

image 2

Saudi Sedang Dilema? 

Sejak puluhan tahun lalu dinamika politik kawasan Timur Tengah selalu menyimpan intrik-intrik yang menarik untuk dicermati. Dinamika yang terjadi pada zaman sekarang tentu bukan pengecualian.  

Dan terkait hal itu, ada dua variabel yang sepertinya perlu kita pahami terlebih dahulu agar dapat meraba alasan perbedaan sikap Saudi terhadap misil Yaman. 

Pertama, normalisasi Israel dan Saudi. Dalam beberapa tahun terakhir, Saudi diketahui tampak tengah merubah “marwah diplomasi”-nya dengan memberi sinyal membuka peluang perbaikan hubungan dengan Israel. Pembicaraan soal hal ini sebetulnya sudah terbentuk sejak tahun 2017, ketika Israel dan Saudi mulai kembali memiliki relasi yang panas dengan musuh bersama mereka Iran. 

Baca juga :  Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Semenjak itu, walaupun kabarnya masih tampak samar-samar, normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan Saudi terlihat semakin serius, khususnya setelah penandatanganan Abraham Accords yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS) pada tahun 2020. Wacana ini mengalami tantangan serius setelah Israel dan Palestina kembali berperang pada 7 Oktober lalu.  

Kedua, tekanan sebagai sesama negara Muslim. Yup, wacana normalisasi dengan Israel telah menempatkan Saudi dalam posisi diplomatis yang cukup dilematis. Meskipun normalisasi tersebut sebetulnya lebih bersifat politis dan ekonomis, citra negara yang mayoritas populasinya beragama Islam sebagai musuh Israel sudah terlalu melekat di benak orang-orang seluruh dunia.  

Hal itu yang terkadang membuat komitmen Saudi kepada Palestina kerap dipertanyakan oleh pengamat-pengamat internasional. Sebagai indikasinya, kita bisa lihat sendiri pernyataan awal Pangeran Mohammed bin Salman dalam Perang Israel-Palestina 2023, yang hanya menekankan penentangan atas hilangnya nyawa orang sipil, tetapi tidak secara spesifik menyebut mengutuk apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina.  

Nah, dua variabel ini menjadi bagian penting dalam memahami mengapa Saudi memiliki perbedaan sikap terhadap misil Yaman yang dikirim ke Israel. Sangat mungkin sekali sebetulnya Saudi saat ini sedang mengalami apa yang disebut sebagai dilema diplomatis. Bila Saudi terus-terusan menghalau serangan dari negara yang ingin melawan Israel, lama kelamaan akan semakin banyak orang yang mempertanyakan kejelasan posisi diplomatis Saudi terhadap Palestina. 

Atas dasar itu, mungkin saja alasan Saudi tidak menghalau serangan dari Yaman pada 31 Oktober silam adalah untuk pembuktian tidak langsung bahwa dirinya tidak berada dalam spektrum yang sama dengan Israel. Namun, tentu pertanyaan selanjutnya adalah, kira-kira akan sejauh apa Saudi akan berusaha membuktikan itu? 

Kita tidak boleh lupa bahwa Israel adalah negara yang bisa disebut sebagai perpanjangan tangan dari AS di Timur Tengah, sementara, tidak dipungkiri Saudi hingga saat ini masih bergantung pada jasa-jasa dari Paman Sam untuk mempertahankan eksistensi dirinya di Timur Tengah, khususnya dalam aspek pertahanan dan ekonomi.  

Atas dasar itu, apakah mungkin Saudi akan terus membiarkan misil dari Yaman ke Israel? Bagaimana jika Yaman terus meningkatkan serangannya? Skenario apa yang akan terjadi? 

Baca juga :  Zaken Kabinet atau Titan Kabinet?
image 3

Saudi Akan Halau Kembali? 

Bila kita ingin memahami hubungan antara Israel dan Saudi, salah satu kacamata yang bisa membuat kita mampu memahaminya adalah dengan melihat konteks hubungan Saudi dengan AS, mitra terdekat dan terkuat Israel. 

 
Dan jujur saja, hubungan antara AS dan Saudi mungkin pada akhirnya bisa membuat Saudi akan memilih “berpihak” pada proses normalisasi hubungannya dengan Israel. Kalau menurut pernyataan dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS, Saudi adalah pelanggan terbesar Amerika Serikat dalam penjualan militer kepada negara asing/foreign military sales (FMS), dengan nilai lebih dari US$100 miliar dalam kontrak-kontrak FMS mereka yang masih aktif.  

Perjanjian Kerjasama Teknik antara AS dan Saudi, yang ditandatangani di Jeddah pada 8 Mei 2023, yang bertujuan mengembangkan kemampuan Saudi dalam melindungi infrastruktur kritis dan masyarakatnya dari ancaman terorisme jadi iterasi terbaru tentang eratnya hubungan kedua negara tersebut. Tentunya, perjanjian semacam ini hanya salah satu contoh saja dari banyaknya perjanjian lain antara Saudi dan AS yang begitu menguntungkan. 

Apakah Saudi kira-kira rela melempar keuntungan-keuntungan ini bila mereka terlihat totalitas mendukung Palestina? Well, secara rasional mungkin tidak. 

Atas dasar itu, bisa kita spekulasikan bahwa kemungkinan besar di masa-masa mendatang Saudi secara bertahap akan melakukan kembali intervensi-intervensi yang dilakukan Yaman kepada Israel. Hal tersebut mungkin akan disampaikan dalam pernyataan-pernyataan normatif, seperti untuk keamanan air traffic di langit Saudi, misalnya, karena toh kenyataannya wilayah udara Saudi memang harus dilewati misil dari Yaman untuk mencapai Israel. 

Jika Saudi tidak mengambil tindakan ini, AS dan Israel mungkin akan mengajukan pertanyaan kepada Saudi, yang bisa mempengaruhi hubungan diplomatik mereka, karena secara geografis Saudi memang sebetulnya berperan sebagai tempat “bantalan” atas serangan Yaman ke Israel. 

Secara keseluruhan, perlu diingat bahwa ini hanyalah asumsi belaka. Sebagai negara mayoritas Muslim, Saudi pasti akan terus mendukung Palestina. Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana Saudi akan mempertahankan pandangan ini jika dihadapkan pada potensi dampak negatif terhadap hubungan ekonomi mereka dengan AS dan Israel. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?