HomeNalar PolitikSatire Sujiwo Tejo untuk Jokowi-Luhut

Satire Sujiwo Tejo untuk Jokowi-Luhut

Budayawan Sujiwo Tejo melontarkan satire dengan menyebutkan bahwa mereka yang ragu kapan pandemi berakhir sehingga tetap melanjutkan Pilkada 2020 sejatinya ragu dengan kemampuan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dalam menangani pandemi Covid-19. Lantas, di era demokrasi Indonesia saat ini, apakah penggunaan satire semacam itu efektif?


PinterPolitik.com

“Satire is traditionally the weapon of the powerless against the powerful.” – Molly Ivins,
kolumnis asal Amerika Serikat

Mendengar kata satire, mungkin akan banyak yang mengaitkannya dengan pengamat politik Rocky Gerung. Sosok yang memiliki aksentuasi yang khas ini, selalu menggunakan satire sebagai cara dalam menyampaikan kritiknya terhadap kekuasaan. Menurut Rocky, untuk mengeluarkan satire dibutuhkan kecerdasan tersendiri karena teknik komunikasi ini membutuhkan kemampuan abstraksi dan imajinasi.

Rocky misalnya mencontohkan KH Agus Salim sebagai sosok yang memiliki kemampuan penggunaan satire yang mumpuni. Dalam sebuah forum di tahun 1923, olokan “mbek” terdengar ketika Agus Salim hendak berbicara di forum. Namun menariknya, sang pahlawan nasional justru merespons ledekan tersebut dengan satire. Ia mempertanyakan mengapa terdapat kambing yang menghadiri pidatonya, padahal forum tersebut adalah forum manusia.

Jika pihak lain yang berada di posisi Agus Salim, mungkin akan direspons dengan amarah sampai pengusiran pihak terkait. Akan tetapi, karena kemampuannya dalam merespons situasi tersebut menggunakan satire, Rocky begitu memuji kecerdasan Agus Salim.

Kemampuan komunikasi cerdas semacam itu tampaknya telah ditunjukkan oleh budayawan Sujiwo Tejo baru-baru ini. Menanggapi polemik perihal Pilkada 2020 yang tetap dilaksanakan di tengah memburuknya situasi pandemi Covid-19, alih-alih direspons dengan kritik keras dan pedas seperti berbagai pihak lainnya, Sujiwo Tejo justru memberikan satire menohok.

Tegasnya, mereka yang beralasan melanjutkan Pilkada 2020 karena menilai pandemi tidak diketahui kapan berakhir, sejatinya seperti meragukan kemampuan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dalam menangani pandemi Covid-19.

Seperti yang diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk Menko Marves Luhut untuk menekan penyebaran Covid-19 di sembilan provinsi prioritas, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Papua, dan Bali.

Kesembilan daerah tersebut menjadi sorotan Presiden Jokowi karena menyumbang 75 persen dari kasus Covid-19 di Tanah Air.

Pernyataan Sujiwo Tejo tersebut jelas merupakan satire yang ditujukan kepada pemerintah yang tetap melanjutkan Pilkada 2020 di tengah kritik berbagai pihak. Lantas pertanyaannya, seberapa efektifkah penggunaan satire dalam memberikan kritik?

Satire dan Politik

Dalam peradaban manusia, penggunaan satire sebagai ekspresi politik bukanlah barang baru. Leonard Feinberg dalam bukunya Introduction to Satire menyebutkan bahwa satire telah digunakan oleh masyarakat Yunani Kuno pada abad ke-7 SM. Pada zaman Yunani Kuno, masyarakat demokrasi di Athena banyak menggunakan satire dalam mengekspresikan kritiknya terhadap pemerintah ataupun terhadap situasi sosial tertentu.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Dalam catatan Plato atau Platon, seorang dramawan dan komika Yunani Kuno, Aristhopanes kerap kali menggunakan satire untuk menggambarkan masyarakat polis Athena. Dalam berbagai kesempatan, Aristhopanes bahkan kerap kali memberikan kritik terhadap pihak tertentu, namun tersamar dalam komedi dan gelak tawa.

Ralph M. Rosen dalam tulisannya Efficacy and Meaning in Ancient and Modern Political Satire: Aristophanes, Lenny Bruce, and Jon Stewart, menyebutkan bahwa satire Aristophanes memiliki maksud untuk membuat penonton tertawa dengan mengorbankan target kritiknya. Satire tersebut juga mencoba untuk memperbesar perhatian pada persoalan-persoalan substantif karena penonton ikut hanyut dalam komedi-komedi yang dibawa.

Christopher Beanland dalam tulisannya Laughing at Power: Satire and Democracy menyebutkan bahwa satire dapat dimaknai sebagai “balas dendam” dari orang-orang cerdas terhadap mereka yang memiliki hak istimewa dan kekuasaan. Mengutip pernyataan kolumnis Amerika Serikat (AS) Molly Ivins, “Satire secara tradisional adalah senjata (mereka) yang tidak berdaya melawan yang berkuasa.”

Lanjut Beanland, satire menyajikan fiksi lucu yang didasarkan pada kegagalan di dunia nyata. Artinya, satire sebenarnya adalah refleksi atas fenomena sosial. Sebagai bentuk dari refleksi, satire jelas memiliki pesan atau kritik yang ditujukan kepada penonton dan pendengarnya.

Penghalus Kritik?

Kembali pada kasus Agus Salim, secara spesifik, satire yang dilakukannya disebut dengan satire Horatian. Satire ini berasal dari nama satiris Romawi, Horace. Jenis satire ini mengangkat dengan lembut absurditas dan kebodohan manusia, agar pendengar tidak merespons dengan amarah, melainkan dengan senyum masam. Untuk tujuan tersebut, satire ini dibawakan dengan cara-cara seperti memanjakan suara, dan lebih condong ke arah komedi.

Pada kasus Sujiwo Tejo, jenis satire tersebut yang tampaknya juga tengah dilakukan. Budayawan tersebut ingin menampilkan absurditas kebijakan, di mana pemerintah tetap ingin melanjutkan Pilkada 2020, padahal pandemi Covid-19 belum ditangani dengan baik.

Kemudian, ini juga dapat dibaca sebagai kritik atas penunjukan Menko Marves Luhut yang justru ditugasi untuk menurunkan angka penularan di sembilan provinsi prioritas.

Keabsurdan kemudian dipertontonkan dengan menyebutkan bahwa itu menunjukkan bahwa Presiden Jokowi seperti meragukan putusannya sendiri yang telah memberi mandat kepada Luhut untuk menangani pandemi Covid-19 karena alasan Pilkada 2020 dilanjutkan karena pandemi tidak diketahui kapan berakhir.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dalam kesempatan yang lain, Sujiwo Tejo juga menyampaikan jenis satire Ironi, yakni satire yang dilakukan dengan cara menyampaikan hal yang sebaliknya. Masih dalam rangka menanggapi debat Pilkada 2020 antara ditunda atau tetap dilanjutkan, Sujiwo Tejo justru memberi saran agar Pilkada dimajukan. Menurutnya, itu lebih konsisten dengan nama Kabinet Maju dan tema 75 tahun Indonesia Maju.

Tentu sekarang pertanyaannya, efektifkah kritik melalui satire, seperti yang ditunjukkan oleh Sujiwo Tejo?

Kendati satire dibawakan sebagai komedi dan berselimut gelak tawa, dengan mengutip Helen Lewis, Beanland menyebutkan bahwa otoritas sebenarnya membenci satire karena itu membuat mereka terlihat konyol dan ditertawakan.

Pada tahun 1941 misalnya, Nazi begitu marah karena parodi salam hormat khas mereka yang dilakukan dengan mengangkat kaki depan seekor anjing. Pun begitu pada 2008, ketika pemerintah Burma mengurung kartunis dan komedian bernama Zarganar karena tidak menyukai permainan kata-katanya.

Di Indonesia, konteks tersebut bisa kita lihat pada kasus Rocky Gerung. Dalam wawancaranya di kanal YouTube Deddy Corbuzier pada 29 Oktober 2019 lalu, Rocky menyebut mungkin masih terdapat tujuh tuntutan di kepolisian terhadap dirinya, namun sulit diproses karena itu merupakan satire.

Akan tetapi, apabila kita membandingkan satire Rocky dengan Sujiwo Tejo, terlihat terdapat perbedaan jenis satire yang digunakan. Dengan kerap kali melontarkan kata-kata yang mudah dimaknai negatif, seperti “dungu” ataupun “IQ sekolam”, Rocky tampaknya telah menggunakan satire Juvenalian.

Ini diambil dari nama satiris Romawi, Juvenal. Satire ini adalah kebalikan dari satire Hotarian, karena satire ini secara frontal menyerang keburukan dan kesalahan dengan penghinaan ataupun kemarahan.

Namun hebatnya, untuk menimimalisir dampak negatif dari satire Juvenalian, Rocky tidak memberikan rujukan objek yang jelas. Ini yang kemudian membuat tuntutan terhadapnya menjadi sulit untuk diproses.

Di sini, Sujiwo Tejo yang lebih memilih menggunakan satire Hotarian, tampaknya ditujukan untuk memperhalus kritiknya. Pun begitu ketika menggunakan satire Ironi. Seperti yang dilakukan oleh Aristophanes, Sujiwo Tejo hendak menghadirkan situasi sosial-politik di Indonesia, namun dibawakan secara lembut.

Sebagaimana Rocky memuji Agus Salim, kita tampaknya juga harus memuji kecerdasan Sujiwo Tejo karena Ia mampu mengabstraksikan dan merefleksikan fenomena dalam bentuk satire yang tidak mengundang amarah.

Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan Pilkada 2020 ke depannya. Semoga pesta demokrasi tersebut tidak menjadi klaster jumbo Covid-19 seperti yang ditakutkan oleh banyak pihak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...