HomeHeadlineSaran Agar Prabowo Menang Pilpres

Saran Agar Prabowo Menang Pilpres

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto selalu menempati posisi atas dalam setiap survei elektabilitas. Namun, apakah bekal elektabilitas saja cukup sebagai modal pemenangan Pilpres 2024? 


PinterPolitik.com 

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menjadi salah satu politisi yang paling digadangkan akan menjadi pemain kuat dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.  

Tidak heran, Prabowo memang konstan menempati peringkat pertama setiap polling survei elektabilitas kandidat calon presiden (capres). Terakhir, survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan Prabowo menduduki posisi teratas dengan suara sebesar 22,4 persen.  

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memperoleh suara sebesar 21,6 persen dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memiliki suara 17,1 persen. 

Karena selalu memiliki elektabilitas tertinggi, banyak orang yang kemudian menilai Prabowo tidak perlu banyak melakukan kampanye untuk cari pendukung.  

Direktur Eksekutif IPI Burhannudin Muhtadi mengatakan bahwa tingginya elektabilitas Prabowo telah membuktikan tanpa perlu tampil di TV pun Prabowo tetap populer di pandangan masyarakat. Prabowo juga dinilai sebagai salah satu politisi yang tidak perlu menyebar baliho dan melakukan pencitraan di media untuk memperkuat elektabilitasnya. 

Burhanuddin pun melihat elektabilitas Prabowo ibarat gelas yang setengah full dalam menuju Pilpres 2024. Sementara bagian yang setengah kosong adalah Prabowo yang masih harus lebih sering bersosialisasi dengan publik. 

Kepercayaan diri pada elektabilitas Prabowo juga muncul dari Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, yang mengatakan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut juga menjadi satu-satunya tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi yang senada dengan tingkat keterpilihan partainya.  

Menurut Dedi, kondisi itu berbeda dibandingkan nama-nama lain yang digadang-gadang ingin maju pada Pilpres 2024. 

Lantas, pertanyaan besarnya adalah, benarkah elektabilitas yang tinggi mampu menjamin jalan Prabowo untuk Pilpres 2024? 

Perangkap Elektabilitas 

Meski hasil survei elektabilitas pra-pemilu adalah hal yang penting, sejatinya itu tidak menjamin masa depan para politisi yang disurvei. Dalam sejarah pemilihan umum, banyak kasus di mana kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi justru malah kalah setelah pemungutan suara dilakukan. 

Di Indonesia, pada Pilpres 2014, elektabilitas pasangan Prabowo-Hatta sempat mengungguli pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kala itu, hasil jajak suara yang dilakukan Political Communication (Polcomm) menunjukkan elektabilitas Prabowo mencapai 46,8 persen, melampaui elektabilitas Jokowi yang berada di kisaran 45,3 persen. Tapi kemudian akhirnya Jokowi lah yang memenangkan Pilpres 2014. 

Kejadian serupa juga sempat terjadi di Amerika Serikat (AS). Pada Pilpres AS 2016, Hillary Clinton lebih diunggulkan dari Donald Trump. Terlebih lagi, Trump adalah kandidat yang tidak memiliki pengalaman sebagai pejabat pemerintah, berbeda dengan Hillary yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri (Menlu) AS. 

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Kenapa hal ini bisa terjadi? 

Well, itu adalah salah satu bukti dari apa yang disebut sebagai electability trap atau perangkap elektabilitas. Seth Ackerman dan Matt Karp dalam siniar berjudul The Electability Trap, mengungkapkan elektabilitas selalu menjadi konsep yang sulit untuk dipahami dan cenderung mempersempit kacamata politik dari politisi maupun rakyat. 

Dengan terlalu mengandalkan elektabilitas, jumlah para pemegang suara seakan-akan diberlakukan layaknya pendukung tim sepak bola, di mana mereka menunggu tim jagoannya untuk bertanding dan siap memberikan dukungan, kalah ataupun menang. Padahal dalam politik keadaannya tidak seperti itu. 

Memang benar di masyarakat terdapat klaster pemilih setia yang menanti-nantikan kandidatnya untuk unggul, tetapi mereka tidak mencakup sebagian besar pemilih. Dalam pemilihan, mayoritas pemegang suara justru adalah kelompok yang belum tahu akan memilih siapa. 

Fenomena ini dijelaskan dalam satu teori politik yang disebut Bradley effect, yang diambil dari pengalaman politik Wali Kota Los Angeles ke-38 AS bernama Tom Bradley. Ketika tahun 1982, Bradley mengikuti Pemilihan Gubernur California. Awalnya, poling elektabiltias pra-pemilihan menunjukkan Bradley lebih unggul dari oposisinya, George Deukmejian. 

Tapi setelah pemilihan dilakukan, Bradley kalah. Di dalam dunia politik, perbedaan pemerolehan suara seperti itu sangat umum terjadi akibat adanya kelompok pemilih silent majority

Silent majority sendiri  adalah sekelompok besar orang atau kelompok yang tidak mengekspresikan pendapat atau pilihan politik mereka secara terbuka. Mereka adalah kelompok pemilih yang sulit dideteksi bahkan melalui survei pemetaan suara sekalipun. 

Daniel J. Hopkins dalam tulisannya No More Wilder Effect, Never a Whitman Effect, menilai salah satu faktor yang menyebabkan perubahan angka adalah akibat dinamika diskusi tentang isu-isu politik di masyarakat dari hari ke hari, di luar waktu survei elektabilitas. 

Oleh karena itu, pengamat politik dari Universitas Houston, Elizabeth Simas dalam artikel Why Voter Enthusiasm Is More Important Than Electability in the 2020 Election, menilai survei elektabilitas sesungguhnya menutupi satu faktor penting dalam pemungutan suara, yakni antusiasme masyarakat.  

Berbeda dengan pendukung tim sepak bola, “penonton politik” tidak menunggu tim favoritnya untuk bermain, tetapi lebih mengantisipasi momentum di mana seorang tokoh politik maju ke publik untuk memposisikan dirinya terhadap suatu isu.  

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Karena itu, Simas menilai, alih-alih bersantai di balik gembar-gembor elektabilitas, politisi seharusnya mengaktivasi antusiasme masyarakat, karena hal itu sesungguhnya akan lebih efektif ketimbang persuasi politik yang biasa seperti penyebaran baliho. 

Lantas, jika aktivasi antusiasme publik begitu penting, apa yang perlu dilakukan Prabowo? 

Harus Sering Komunikasi Publik 

Pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro mengatakan elektabilitas saja tidak cukup, karena kepopuleran tidak bisa diandalkan. Capres, menurutnya, mau tidak mau harus berani menunjukkan diri ke publik. 

Namun seperti yang kita tahu, Prabowo jarang sekali menunjukkan diri ke publik, berbeda dengan menteri-menteri lain seperti Menparekraf Sandiaga Uno, dan Menteri BUMN Erick Thohir.  

Dengan demikian, jika Prabowo ingin mengamankan faktor silent majority, ia harus membenahi komunikasi publiknya, dengan lebih sering tampil di hadapan publik.  

Tidak ada salahnya bila Prabowo kembali mengemban jiwa gemar pidatonya seperti ketika Pilpres 2019, karena sesungguhnya di Kemhan pun banyak isu-isu yang bisa ditanggapi secara cantik oleh mantan Pangkostrad tersebut. Sebut saja isu keamanan siber, Laut Tiongkok Selatan, urgensi alutsista, dan banyak hal lain. 

Kemudian, Prabowo pun sepertinya perlu mengikuti gaya komunikasi politik mantan Presiden AS Donald Trump. Shari Graydon dan Sarah Neville dalam artikel berjudul Trump’s Terrifying Communication Effectiveness, menyampaikan 4 poin menarik mengapa komunikasi Trump selalu mengesankan. 

Pertama, menghindari kata-kata rumit dan buat pernyataan secara singkat namun sederhana. Kedua, perkuat pesan-pesan kunci pernyataan dengan berulang-ulang menyinggungnya. 

Ketiga, hadapi audiens secara langsung, dalam artian pernyataan yang disampaikan Prabowo tidak perlu berupa jawaban dari pernyataan wartawan. Keempat, ambil perhatian publik dengan memainkan perasaan, contohnya dengan memainkan narasi yang dapat meningkatkan rasa nasionalisme. 

Tentunya, ini semua perlu dilakukan dengan sarana yang apik juga. Seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik, Prabowo Harus Lebih Sering Nongol?, Prabowo sesungguhnya memiliki platform yang bisa digunakan untuk kampanye politik di Kemhan, yakni dengan ikut acara-acara konferensi pers yang dilaksanakan bagian hubungan masyarakatnya. 

Akhir kata, jika Prabowo mantap maju di Pemilu 2024, maka dia harus melakukan aktivasi dukungan masyarakat, dengan melakukan beberapa pendekatan publik demi membangun rasa antusiasme dan kepercayaan dari masyarakat. 

Yang perlu juga diingat adalah, Prabowo dan partainya jangan terlalu merasa di atas angin hanya karena selalu unggul dalam survei elektabilitas. (D74) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan?