HomeNalar PolitikSapu Bersih Koalisi Ala Gerindra

Sapu Bersih Koalisi Ala Gerindra

Capres, Cawapres, hingga nominasi Ketua Timses, semua berada di tangan Gerindra.


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]anyak orang bertanya-tanya tentang kondisi terkini di koalisi pendukung pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Beberapa pengamat dan politisi menduga-duga ada nuansa ketidaksolidan di kubu pendukung kelompok oposisi tersebut.

Jika diperhatikan, terlihat bahwa di dalam koalisi tersebut, ada satu partai yang amat dominan: Partai Gerindra. Partai berlogo burung garuda ini tampak menyapu bersih posisi-posisi penting dalam koalisi oposisi.

Gerindra tidak hanya menempatkan kader terbaiknya, Prabowo sebagai capres dari koalisi tersebut, tetapi juga ada nama Sandiaga, orang yang lahir dari didikan politik Gerindra. Seolah belum cukup, jatah posisi ketua tim sukses juga berpotensi diisi oleh kader partai tersebut, yaitu oleh anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Djoko Santoso.

Spekulasi pun mengemuka di balik dominasi Gerindra tersebut. Anggota koalisi sepeti PAN dan PKS tampak seperti tenang-tengah saja dengan aksi sapu bersih Gerindra ini. Akan tetapi, Demokrat justru memberikan pernyataan bahwa partai tersebut tidak bisa dibiarkan besar sendirian. Jika sudah begini, apa yang akan terjadi jika dominasi Gerindra berlanjut?

Dominasi Partai dalam Koalisi

Pandangan umum dalam pembentukan koalisi adalah menggaet seminim mungkin partai untuk dapat membentuk koalisi yang efektif. Pandangan ini dikemukakan misalnya oleh William Riker dalam teorinya tentang koalisi. Menurut Riker, koalisi yang mudah untuk menang adalah koalisi dengan anggota paling sedikit.

Dalam kasus koalisi Prabowo-Sandiaga, tampaknya pernyataan tersebut tidak bisa sepenuhnya berjalan. Memang, koalisi ini bukan raksasa, akan tetapi dengan jumlah empat partai menggambarkan bahwa koalisi ini juga tidak bisa dibilang minimalis.

Di luar itu, ada pula satu kondisi yang menyebabkan pandangan Riker mengenai koalisi ini tidak bisa sepenuhnya digunakan untuk koalisi Prabowo-Sandiaga. Kondisi tersebut adalah dominasi Gerindra sebagai pentolan utama.

Menurut Giora Goldberg, dalam koalisi yang digawangi oleh partai yang dominan, terjadi pencegahan terhadap proses bargaining bagi partai-partai lain. Dalam konteks ini, partai dominan ini akan mampu mendikte tiga kondisi mendasar dari mitra-mitranya, yaitu mayoritas absolut di dalam kabinet, kontrol terhadap lima kementerian utama, dan juga mencegah partai terkuat kedua untuk memiliki akses besar pada pengambilan keputusan pemerintah.

Berdasarkan pandangan tersebut, melalui dominasi Gerindra, partai-partai lain berpotensi kehilangan posisi penting di pemerintahan nanti. Demokrat, PAN, dan PKS boleh jadi tetap akan mendapat jatah menteri, akan tetapi, bisa saja jatah menteri yang diterima bukanlah jatah menteri yang cukup signifikan.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Kehilangan Posisi Tawar

Jika merujuk pandangan Goldberg di atas, terlihat bahwa dominasi Gerindra bisa membahayakan partai-partai lainnya di dalam koalisi. Secara logika, sulit membayangkan partai ini mau memberikan bargaining besar kepada partai-partai koalisinya jika saat membentuk tim pemenangan saja partai lain tidak memiliki porsi yang besar.

Yang menarik, jika merujuk pada Goldberg, koalisi dengan satu partai dominan ini memiliki sejumlah syarat. Gerindra, dalam konteks ini, dapat dikatakan sebagai partai dominan hanya karena keunggulan suara terhadap mitra-mitra koalisinya.

Keunggulan suara Gerindra ini sendiri bukanlah sesuatu yang telah mereka raup sejak lama. Gerindra tentu saja lebih junior jika dibandingkan dengan Demokrat, PAN, dan PKS. Oleh karena itu, lonjakan suara signifikan baru diperoleh pada Pilpres 2014 lalu. Padahal, menurut Goldberg, partai dominan dalam koalisi umumnya terjadi jika mereka mampu unggul dalam tiga Pemilu secara berurutan.

Hal ini membuat banyak pihak bertanya-tanya mengapa partai-partai di dalam koalisinya mau begitu saja merelakan posisi-posisi penting kepada Gerindra. Padahal, mereka bisa saja meminta posisi lebih baik karena Gerindra sendiri tidak dapat maju tanpa dukungan mereka.

Salah satu teori yang mengemuka adalah soal keterlibatan rupiah. Hal ini sempat diungkapkan oleh Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief. Andi sempat menuduh Sandiaga membayar Rp 500 miliar kepada PAN dan PKS agar dirinya bisa berpasangan dengan Prabowo atas restu mereka. Boleh jadi, Gerindra memang memiliki andil lebih dalam pemodalan kampanye ketimbang partai-partai lain sehingga mereka menjadi begitu dominan.

Di luar dugaan aliran rupiah tersebut, alasan rasional lain adalah soal peraturan yang mewajibkan partai mendukung salah satu calon jika ingin bertarung lagi di Pilpres 2024. Hal ini membuat partai-partai tidak punya banyak pilihan selain merapat ke salah satu kubu capres. Kondisi tersebut membuat partai yang memiliki proyeksi panjang untuk 2024 seperti Demokrat harus mendukung Prabowo-Sandiaga.

Gerindra All Out Sendiri?

Kondisi ini membuat koalisi Prabowo-Sandi boleh jadi berada dalam ancaman. Tidak ada insentif yang cukup jelas dan pasti bagi partai-partai lain selain Gerindra. Jangankan di pemerintahan nanti, di tim pemenangan saja mereka tidak mendapat porsi yang cukup signifikan.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka langkah partai Demokrat  yang belakangan disebut bermain di dua kaki seperti ada benarnya. Dengan komposisi tim yang tengah dibicarakan, secara rasional Demokrat tentu lebih untung jika memberi perhatian besar pada langkah Pileg mereka, dan mendukung Jokowi yang jauh lebih populer dibanding Prabowo akan menguntungkan suara kader di daerah.

Baca juga :  Kok Megawati Gak Turun Gunung?
Hebat juga Gerindra bisa memborong capres, cawapres, sampai ketua timses sekaligus. Share on X

Kondisi serupa bisa saja terjadi pada dua rekan koalisi Gerindra yang lain, yaitu PAN dan PKS. Di atas kertas, kedua partai ini dianggap sebagai sahabat Gerindra yang paling setia. Akan tetapi, kedua partai ini telah lama dipinggirkan dari posisi penting dalam koalisi. Apalagi, kedua partai – terutama PAN – memiliki riwayat panjang bermain politik di dua kaki.

Hal-hal tersebut membuat kemungkinan Gerindra hanya akan sendirian dalam mendukung Prabowo-Sandiaga secara all-out. Di satu sisi, langkah ini terlihat seperti hal yang biasa saja. Akan tetapi ada sejumlah kerugian yang bisa melemahkan peluang kemenangan Prabowo-Sandiaga.

Meski sempat meraup suara signifikan pada Pilpres 2014, sejatinya Gerindra bukanlah partai yang memiliki core voters – pemilih inti – yang terspesifikasi secara khusus. Sulit untuk mendeskripsikan demografi pemilih Gerindra itu seperti apa, termasuk untuk mengetahui seberapa loyal pemilih partai tersebut. Hal ini berbeda dengan demografi pemilih partai lain seperti PAN dan PKS.

dominasi Gerindra

Jika  PAN dan PKS memutuskan bermain dua kaki, maka ada kemungkinan massa pemilih loyal kedua partai ini dilanda kegamangan. Padahal, kedua partai ini memiliki massa yang lebih riil ketimbang Gerindra.  PAN misalnya tergolong amat dekat dengan aspirasi pemilih yang berafiliasi dengan ormas Muhammadiyah. Sementara itu, PKS dikenal sebagai partai pilihan masyarakat Muslim kelas menengah perkotaan.

Situasi bertambah pelik dengan posisi Demokrat yang sudah terang-terangan bermain dua kaki. Mesin politik Demokrat terlampau mewah jika tidak bergerak untuk Prabowo-Sandiaga. Pada Pilgub Jateng lalu misalnya, suara Demokrat disebut-sebut menjadi pembeda sehingga pasangan Ganjar-Yasin mampu memenangi pertarungan.

Sejauh ini, kader Demokrat yang terindikasi akan mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin juga tergolong berbahaya. Gubernur Papua Lukas Enembe misalnya siap mengamankan suara di seluruh Papua untuk Jokowi. Ada pula nama mantan Gubernur Jatim dua periode Soekarwo yang memimpin provinsi dengan jumlah DPT kedua terbesar itu.

Kondisi-kondisi tersebut membuat dominasi Gerindra seperti melemahkan koalisi mereka sendiri.  Idealnya, dalam koalisi Prabowo-Sandiaga komposisinya dibuat agar lebih seimbang, sehingga Demokrat, PAN, dan PKS memiliki bargaining yang cukup kuat.

Di titik itu, partai-partai tersebut perlu mendapatkan insentif signifikan agar mau all-out mendukung Prabowo. Posisi penting di tim pemenangan boleh jadi harga mati agar mereka tak setengah hati. Jika tidak, dominasi Gerindra boleh jadi hanya akan bikin gigit jari Prabowo karena gagal lagi di Pilpres mendatang. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...