Kendati disebut tidak disengaja, sapi kurban bernomor 024 Anies Baswedan banyak ditafsirkan sebagai sinyal maju di Pilpres 2024. Apakah ini menunjukkan Anies tetap memiliki panggung politik setelah purna tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Oktober 2022?
Mungkin, bukan Anies Baswedan namanya jika tidak mengundang atensi publik. Di momen perayaan Idul Adha 2022, sapi kurban Anies menjadi buah bibir publik. Ini bukan soal berat atau harganya, melainkan nomor 024 yang tersematkan di sapi tersebut. Menariknya, pada Idul Adha 2019, sapi kurban Anies juga bernomor 024.
Kendati telah diklarifikasi sebagai sebuah kebetulan, berbagai pihak nyatanya tetap melihatnya sebagai sinyal politik. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, misalnya, menyebut sapi kurban berwarna hitam itu sebagai makna Anies akan menjadi kuda hitam di Pilpres 2024.
Di kesempatan berbeda, pengamat politik Hendri Satrio menyebut angka 024 yang merupakan kebetulan itu bisa saja dimaknai sebagai tanda alam. “Kalau cuma nomor urutan sih menurut saya ya kebetulan, walaupun gelombang perubahan itu ya kadang memang suka dikasih tanda-tanda oleh alam,” ungkapnya pada 11 Juli 2022.
Di sini, tentu pertanyaannya menarik. Mengapa perkara nomor sapi kurban saja menimbulkan reaksi politik seluas ini?
Kita Suka Bergosip
Buku Jared Diamond yang berjudul The World Until Yesterday: Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Masyarakat Tradisional? sekiranya dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan itu. Dalam bukunya, Jared menceritakan pengalaman menariknya mengunjungi suku Fore di Papua.
Dalam temuannya, Jared melihat orang-orang Fore sangat gemar bergosip atau membicarakan hal-hal remeh, seperti berapa ubi yang belum dimakan. Tidak hanya orang-orang Fore, orang-orang Pigmi di Afrika juga dilihat Jared memiliki kegemaran serupa.
Melihat fenomena itu, seperti halnya orang-orang Barat, Jared awalnya memandang peyoratif kebiasaan bergosip suku Fore dan Pigmi. Namun, ketika kembali ke Amerika Serikat (AS), Jared menyadari satu hal menarik.
Menurutnya, kebiasaan bergosip suku tradisional tidak ubahnya seperti kebiasaan kita. Mereka melakukannya sebagai sarana hiburan karena tidak memiliki radio atau majalah seperti masyarakat perkotaan.
Lagipula, interaksi kita di internet saat ini juga merupakan aktivitas bergosip. Kita membahas pakaian artis, kontroversi tokoh publik, hingga hal-hal remeh seperti makan bubur harus diaduk atau tidak.
Lantas, apa bedanya kita dengan orang-orang Fore atau Pigmi?
Robin Dunbar dalam tulisannya Gossip in Evolutionary Perspective bahkan menyebut bahwa mulanya gosip merupakan mekanisme untuk mengikat kelompok sosial. Dan, kini, fungsi awal itu tampaknya masih berlaku. Banyak dari kita misalnya memiliki grup gosip sendiri.
Ini kemudian menjawab mengapa sapi kurban bernomor 024 Anies mendapat atensi luas publik meskipun telah dikonfirmasi sebagai sebuah kebetulan. Harus diakui bahwa politik merupakan salah satu objek gosip yang paling sulit untuk dihindari.
Sejarawan Yuval Noah Harari juga pernah menyebutkan bahwa masyarakat selalu lebih tertarik pada isu-isu politik daripada isu bencana alam, seperti pandemi. Kita lebih tertarik membahas makna nomor sapi kurban Anies daripada timbunan sampah plastik di Samudra Pasifik.
Dengan kata lain, sekalipun sapi kurban bernomor 024 Anies tidak disengaja, kegemaran masyarakat melakukan gosip akan membuat sapi kurban itu mendapatkan tafsiran-tafsiran politik. Diniatkan atau tidak, itu akan menjadi panggung politik.
Politik Simbol: dari Jokowi ke Anies
Ketertarikan luas masyarakat pada isu politik kemudian membuat politik simbol menjadi begitu signifikan. Kimly Ngoun dalam tulisannya What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi, misalnya, menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki kemampuan memainkan simbol politik yang sangat mumpuni. Kemampuan mengkonstruksi simbol ini bahkan disebutnya menjadi pembeda Jokowi dengan pemimpin di Asia Tenggara lainnya.
Politikus senior PDIP Panda Nababan dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran kekuasaan, juga banyak menceritakan kehebatan Jokowi dalam memainkan politik simbol. Salah satu yang paling menarik adalah gestur Jokowi naik andong ketika memenangkan Pilpres 2014.
Menurut Panda, gestur itu sebenarnya adalah sindiran kepada Prabowo Subianto yang pernah menyebut Jokowi sebagai “si tukang andong”. Di sebuah acara makan malam sebelum pengumuman hasil Pilpres 2014, Prabowo bertanya kepada Luhut Binsar Pandjaitan mengapa justru mendukung Jokowi si tukang andong. Luhut kemudian membalas dengan menyebut Jokowi lebih hebat dari Prabowo.
Ketika Panda bertanya kepada Jokowi apakah sudah mendengar cerita itu dari Luhut, Jokowi merespons bahwa ia telah memesan andong dari Solo untuk dikirim ke Jakarta. Dan terbukti, setelah pelantikannya, Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) berpindah kendaraan dan naik andong selama berjam-jam.
Menurut Panda, itu adalah balasan politik yang hebat. Alih-alih merespons Prabowo dengan kata-kata atau perbuatan, Jokowi justru menampilkan politik simbol yang begitu menyindir.
Menariknya, keterampilan memainkan politik simbol juga ditunjukkan oleh Anies. Kemampuan ini, misalnya, ditunjukkan ketika mengunggah foto sedang membaca buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt pada November 2020. Menurut banyak pihak, unggahan foto itu adalah kritik simbolis Anies terhadap pemerintah yang dinilai bertendensi otoriter.
Anies Pertahankan Panggung?
Nah, kemampuan Anies memainkan politik simbol seperti Jokowi, dapat menjadi bantahan atas analisis pengamat politik Refly Harun. Menurutnya, panggung politik Anies akan selesai setelah purna tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Oktober 2022. “Dia tidak punya lagi panggung, dia tidak punya lagi apa-apa,” ungkap Refly pada 2 Juli 2022.
Refly sangat pesimis bahwa media masih menyorot Anies ketika sudah tidak menjadi pejabat publik. Ada pula kekhawatiran bahwa penguasa akan membeli slot-slot TV agar tidak menampilkan Anies.
Lantas, apakah kekhawatiran Refly ini akan menjadi kenyataan? Sayangnya, besar kemungkinan tidak.
Jawaban itu mengacu pada penjelasan Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise. Menurut Nichols, saat ini media lebih mencari rating dan klik daripada melahirkan produk berita yang berkualitas.
Bahkan getirnya, kualitas berita telah menjadi begitu kuantitatif karena dinilai dari banyaknya klik yang didapatkan. “Kini ada sumber berita untuk setiap selera dan pandangan politik, dengan batas antara jurnalisme dan hiburan yang sengaja dikaburkan untuk mendapatkan rating dan klik,” tulis Nichols.
Artinya apa? Dengan habituasi industri media yang mencari klik dan sensasi, keterampilan Anies dalam memainkan politik simbol akan menjadi objek pemberitaan yang menarik. Anies juga dikenal memiliki kemampuan komunikasi dan perpustakaan diksi yang luas.
Media tentu tidak ingin melewatkan klik dari massa yang telah menjadi pendukung Anies sejak Pilgub DKI Jakarta 2017.
Selain itu, dengan habituasi berbagai partai untuk mengusung capres-cawapres di akhir waktu, pemberitaan terhadap Anies selaku salah satu capres potensial tentu tidak akan berhenti. Selain konsisten memiliki elektabilitas yang tinggi, berbagai partai politik seperti NasDem juga telah menunjukkan ketertarikan terbuka.
Dengan status Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh sebagai pengusaha media, tentu mudah memberi panggung bagi Anies.
Well, sebagai penutup, ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari fenomena luasnya atensi terhadap sapi kurban Anies. Pertama, ini kembali menegaskan bahwa politik adalah objek gosip yang sangat menarik. Kedua, Anies memiliki kemampuan memainkan politik simbol yang baik seperti Jokowi.
Ketiga, kemampuan memainkan politik simbol merupakan modal Anies untuk tetap mempertahankan panggung politik setelah purna tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. (R53)