Dengan elektabilitas yang rendah, banyak pihak menyebut PDIP tidak rasional karena ingin mengusung Puan Maharani di Pilpres 2024. Namun, benarkah anggapan itu?
PinterPolitik.com
Banyak pihak bertanya, kenapa PDIP terkesan ngotot mengusung Puan Maharani di Pilpres 2024. Alasannya tentu soal elektabilitas Puan yang tak kunjung melesat alias berada di papan bawah. Rilis terbaru SMRC, misalnya, menunjukkan elektabilitas Puan pada Desember hanya 1,2 persen. Angkanya bahkan turun dari November yang sebesar 2,1 persen.
“Puan merupakan tokoh dari PDIP, partai terbesar. Kemudian Airlangga juga partai nomor dua atau nomor tiga terbesar. Ternyata dua tokoh ini belum kompetitif dibanding Prabowo, Ganjar, dan Anies,” ungkap Direktur Riset SMRC Deni Irvani pada 20 Desember 2022.
Melihat rilis berbagai survei, tidak heran kemudian berbagai pihak menyebut langkah PDIP mengusung Puan tidak rasional. “Enggak rasional,” ungkap peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Firman Noor pada 23 Desember 2022.
Dengan sederat hasil survei dan tanggapan berbagai pihak, kenapa PDIP tetap ngotot ingin mengusung Puan Maharani di Pilpres 2024? Apakah benar itu adalah langkah yang tidak rasional?
Well, pertama-tama perlu dipertegas, apa yang kita sebut “rasional” itu bersifat relatif. Rasionalitas adalah cara kita meramu pikiran untuk mencapai suatu tujuan.
Mengutip penjelasan Tshilidzi Marwala dalam tulisannya Relative rationality: Is machine rationality subjective?, rasionalitas adalah mesin subjektif. Ramuan tentang apa yang kita sebut rasional bergantung atas jumlah informasi dan cara otak kita memprosesnya.
Dengan kata lain, ini bergantung pada informasi yang dimiliki dan tujuan yang hendak dicapai.
Kembali pada PDIP. Jika tujuannya menang di Pilpres 2024, mungkin benar PDIP tidak rasional mengusung Puan. Namun, bagaimana jika Pilpres 2024 bukan tujuan PDIP?
Pertimbangan Usia
Yang harus dipahami adalah, ini adalah prime momentum atau momentum prima bagi PDIP. Dengan memiliki 128 kursi DPR RI, partai banteng dapat mengusung capres-cawapres sendiri. PDIP juga memiliki kekuatan logistik dan menempati pos-pos strategis kekuasaan.
Kesimpulan itu juga dikemukakan oleh Menko Polhukam Mahfud MD ketika mengisi materi di Sekolah Partai PDIP pada 13 Oktober 2022.
“Mau mengaku atau tidak mau mengaku, PDIP itu terbesar dan terkuat dalam politik. Apa? Partai politiknya, suaranya, DPR menguasai, gerbong besar, kemudian lokomotifnya juga kuat, kepemimpinannya sangat solid, sehingga ini kuat sekali,” ungkap Mahfud.
Dengan besarnya kekuatan politik itu, ini adalah momentum PDIP untuk mengusung Puan Maharani. Jika bukan sekarang kapan lagi.
Di titik ini, mungkin ada yang mengatakan, bukankah bisa di gelaran pilpres selanjutnya? Iya, mungkin itu benar. Namun, mereka yang berpandangan demikian sepertinya melupakan faktor usia.
Saat ini usia Puan sudah 49 tahun. Jika Ganjar Pranowo yang diusung PDIP, dan katakanlah menang, Ganjar pasti ingin dimajukan untuk periode kedua. Seperti yang kita lihat pada Pilpres 2009 dan Pilpres 2019, capres petahana yang menjadi pemenang.
Artinya, Puan perlu menunggu 10 tahun lagi jika Ganjar yang diusung. Saat itu, pada Pilpres 2034 usia Puan sudah menginjak 61 tahun. Ini krusial, karena belum tentu kondisi kesehatan Puan seperti sekarang.
Kasusnya akan sama jika Ganjar ternyata kalah. Lawan tanding PDIP di Pilpres 2024 tentu juga ingin dua periode. Sekali lagi, ini soal usia.
Sebagai komparasi kita bisa melihat kasus Megawati Soekarnoputri di Pilpres 2014. Dalam acara Total Politik, politisi senior PDIP Panda Nababan menceritakan pujian Jusuf Kalla (JK) terhadap Ketua Umum PDIP tersebut.
JK mengaku takjub dengan Megawati karena memilih tidak maju di Pilpres 2014, meskipun PDIP memperoleh 18,95 persen suara di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014.
Sikap itu kontras dengan ketua umum partai lainnya yang berani maju, meskipun hanya memperoleh 5 persen suara. Menurut Panda, Megawati sadar kondisinya sudah tua dan telah kalah berulang kali. Pada Pilpres 2014, usia Megawati sudah menyentuh 67 tahun.
Dengan kata lain, jika Puan baru berkesempatan maju di Pilpres 2034 ketika berusia 61 tahun, keputusan Megawati mungkin akan diulangi. Alih-alih memilih maju, Puan mungkin akan memberikan kesempatan kepada yang lebih muda.
Pilpres Bukan Harga Mati
Kemudian, seperti yang disebutkan sebelumnya, bagaimana jika Pilpres 2024 bukan tujuan final? Hattrick yang dimaksud PDIP sebenarnya adalah hattrick pemilu alias pemenang di Senayan.
Seperti dijelaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul PDIP Sadar Puan akan Kalah? pada 25 Juli 2022, sekalipun Puan kalah di Pilpres 2024, PDIP masih bisa mendapatkan kursi menteri dengan bergabung ke kabinet.
Kita tentu ingat kasus Prabowo Subianto dan Partai Gerindra yang bergabung ke koalisi pemerintahan Jokowi. Keputusan itu membuat Gerindra mendapatkan dua kursi menteri. Selain itu, PDIP juga masih bisa mengamankan pos-pos strategis lain, khususnya di DPR RI.
Pada konteks ini, kita perlu ingat bahwa politik itu bukan zero-sum game, melainkan non-zero-sum game. Politik bukan menang atau hancur, melainkan mencari win-win solution. Jika gagal di Pilpres 2024, masih ada kamar-kamar kekuasaan lainnya.
Terakhir, ini soal trah Soekarno. Banyak pihak menyebut terdapat banyak faksi dalam tubuh PDIP. Nah, trah Soekarno berfungsi sebagai simbol persatuan.
Simbol persatuan itu vital karena banyak yang memprediksi PDIP akan tenggelam dalam perpecahan tanpa adanya trah Soekarno. Ini juga alasan kuat lainnya kenapa Puan harus diusung PDIP di Pilpres 2024.
Well, pada akhirnya, jika kita mengatakan langkah PDIP mengusung Puan adalah tidak rasional, itu mungkin karena kita memaksakan rasionalitas atau tujuan yang kita bayangkan terhadap PDIP. (R53)