Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno meminta agar masyarakat mengurangi menonton drama Korea (drakor) dan K-Pop tetapi memperbanyak drama Sunda (drasun) dan Dangdut Koplo (Dekop). Mungkinkah Sandi hanya terjebak ilusi terkait keberhasilan drakor?
“You know my city like the new Korea, bustin’” – Jack Harlow, “Dua Lipa” (2022)
Mungkin, saran atau nasihat agar kita bisa lebih mencintai produk dalam negeri sendiri merupakan sebuah narasi yang kerap kita dengar. Dengan mencintai produk negeri sendiri, kita dianggap bisa lebih mencintai negara sendiri.
Gagasan-gagasan seperti ini sebenarnya masuk akal. Bagaimana pun, dengan membeli atau mengonsumsi produk dalam negeri, manfaat yang dirasakan pun akhirnya juga didapatkan oleh individu-individu lain yang sebangsa dan se-tanah air.
Semisal, ketika menonton film-film Indonesia, sebagian dari uang yang kita gunakan untuk membeli tiket akan mengalir kepada para pembuat film. Hal ini tidak terjadi apabila kita membeli tiket untuk film-film Hollywood.
Gagasan dan logika seperti inilah yang mungkin membuat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno meminta masyarakat untuk mengurangi menonton drama Korea (drakor) dan K-Pop guna lebih banyak menikmati drama Sunda (drasun) dan Dangdut Koplo (Dekop).
Mungkin, Sandiaga berharap agar uang yang masyarakat gunakan untuk mengonsumsi produk-produk budaya populer negara lain dapat dialihkan untuk para pengusaha kreatif film di Indonesia. Dengan menonton drasun, mereka yang bergerak dalam kesenian ini dapat memperoleh penghidupan lebih.
Namun, logika seperti ini tidaklah sesederhana itu. Besarnya permintaan terhadap drakor dan K-Pop bukanlah sesuatu yang begitu saja muncul di Indonesia, melainkan karena proses kultural yang cukup panjang.
Populernya serial drama Korea Selatan (Korsel) seperti Extraordinary Attorney Woo (2022), Hometown Cha-Cha-Cha (2021), Squid Game (2021), dan Vincenzo (2021) bukanlah sesuatu hal yang terjadi hanya dalam semalam. Industri kreatif Korsel sudah mengalami perkembangan sejak dekade 1990-an.
Tentunya, bila Sandiaga berharap masyarakat Indonesia bisa beralih ke drasun, Dekop, atau produk-produk budaya lokal lainnya, harapan ini bukanlah hal yang bisa terjadi seperti hanya dengan membalikkan telapak tangan. Ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang perlu diselesaikan untuk mewujudkan ini.
Dengan mimpi yang masih terlampau jauh, lantas mengapa sang Menparekraf tiba-tiba melontarkan pernyataan demikian? Apakah seruan untuk beralih ke drasun dan Dekop hanya mimpi belaka atau justru menjadi harapan yang bisa terwujud di masa depan?
Sandiaga Terjebak Ilusi?
Mengacu pada pernyataan Sandiaga, Indonesia sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang besar dalam sektor ekonomi kreatif. Sang Menparekraf menyebutkan bahwa ekonomi kreatif menyumbang sekitar 7,5 persen terhadap nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia – yakni sekitar Rp1.300 triliun.
Sandiaga juga mengklaim bahwa porsi PDB sebesar demikian menjadikan Indonesia berada di posisi ketiga dalam besaran ekonomi kreatif – setelah Amerika Serikat (AS) dan Korsel. Mungkin, memang untuk mencapai porsi demikian, Indonesia memiliki potensi besar di sektor ekonomi ini.
Boleh jadi, data yang diungkapkan oleh Sandiaga memang terdengar penuh optimisme. Namun, perlu diketahui juga bahwa ekonomi kreatif tidaklah hanya diisi oleh produk-produk budaya seperti film dan musik.
Meski porsi PDB itu terbilang cukup besar, industri film dan musik yang diandalkan oleh Sandiaga tidak masuk dalam tiga sub-sektor terbesar pada sektor ekonomi kreatif. Justru, tiga besar tersebut ditempati oleh kuliner, fesyen (fashion), dan kriya (seperti kerajinan tangan).
Menariknya, sang Menparekraf sendiri sebenarnya tahu bahwa drasun maupun Dekop tidaklah masuk dalam sub-sektor yang diandalkan. Dalam sebuah kesempatan, Sandiaga menjelaskan bahwa tiga sub-sektor itu masing-masing mengambil porsi dari sektor ekonomi kreatif sebagai berikut: (1) kuliner (42 persen), fesyen (18 persen), dan kriya (15 persen).
Bukan tidak mungkin, terdapat bias statistik (statistical bias) dalam pernyataan Sandiaga terkait drasun dan Dekop. Bias ini mungkin bisa disebut sebagai reporting bias – sebuah bias yang terjadi kala pengungkapan data dilakukan secara selektif atau informasi yang ada disembunyikan/ditekan.
Mengacu pada tulisan Jenny T. van der Steen dan rekan-rekan penulisnya yang berjudul Causes of Reporting Bias, terdapat beberapa alasan mengapa reporting bias bisa terjadi. Salah satu di antaranya adalah fokus yang berlebihan terhadap temuan yang diinginkan (preferred findings).
Bukan tidak mungkin, Sandiaga ingin masyarakat berfokus pada temuan terkait porsi sumbangsih sektor ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia yang cukup besar. Dengan begitu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) terlihat memiliki kinerja yang baik.
Namun, reporting bias ini bisa menjadi blunder apabila Sandiaga menganggap bahwa kontribusi ekonomi kreatif Indonesia bisa membalap Korsel dengan hanya menonton drasun atau mendengarkan Dekop. Persoalan industri film dan musik sebenarnya lebih dari hanya sekadar narasi “perlu mencintai produk dalam negeri”.
Lantas, sejumlah pertanyaan lanjutan pun muncul. Mengapa kemudian Sandiaga menjadikan drasun dan Dekop sebagai produk-produk budaya yang “ditandingkan” dengan drakor dan K-Pop? Mengapa Korsel yang kerap dijadikan contoh oleh banyak pihak – termasuk oleh sang Menparekraf?
Angan dan Bayang Drasun dkk?
Fokus Sandiaga terhadap produk-produk budaya film dan musik – seperti drasun dan Dekop – sebenarnya bisa jadi berangkat dari sebuah ilusi yang tertanam dalam benak terhadap kesuksesan Gelombang Korea (biasa disebut sebagai Korean Wave atau Hallyu). Banyak pihak justru hanya berfokus pada popularitas yang dimiliki oleh produk-produk kreatif Korsel.
Wajar saja apabila Sandiaga lebih berfokus pada besarnya penonton dan penikmat drakor dan K-Pop. Cara berpikir yang sama juga terlihat ada pada orang-orang lain.
Penyanyi rap (rapper) bernama Jack Harlow asal AS yang dikutip di awal tulisan, misalnya, menganalogikan Gelombang Korea sebagai sesuatu yang identik dengan popularitas dan keberhasilan. Ini membuat Harlow menyamakan Korean Wave dengan kota asalnya, Louisville, Kentucky, sebagai tempat yang mulai ramai dengan kesuksesan industri kreatifnya.
Namun, cara berpikir demikian bisa jadi merupakan sebuah ilusi, yakni ilusi yang disebut sebagai ilusi badan perenang (swimmer’s body illusion). Rolf Dobelli dalam bukunya yang berjudul The Art of Thinking Clearly menjelaskan bahwa ilusi ini adalah bias yang terjadi karena kita menganggap sebuah karakteristik sebagai hasil (outcome) dari sebuah aktivitas.
Dengan menggunakan perenang sebagai contoh, Dobelli menyebutkan bahwa perenang dianggap memiliki badan yang bagus dan fit karena aktivitasnya, yakni berenang. Padahal, kondisi badan demikian bukanlah hasil dari aktivitas berenang, melainkan karakteristik yang harus dimiliki sebelum bisa menjadi perenang yang andal.
Hal yang sama juga terjadi dalam kasus Gelombang Korea. Produk-produk musik dan film Korsel tidaklah begitu saja menjadi sukses hanya karena populer di banyak negara, melainkan karena karakteristik yang telah dimiliki oleh film, serial, dan musik asal Korsel.
Selain peran pemerintah Korsel yang besar dalam mendukung industri kreatif Korean Wave – melalui rangkaian kebijakan, strategi, dan pendanaan, ada satu sifat yang telah dimiliki oleh produk-produk budaya Korsel, yakni universalitas dan kedekatan transnasional (transnational proximity).
Dal Yong Jin dalam tulisannya berjudul Transnational Proximity and Universality in Korean Culture menjelaskan bahwa produk-produk film dan musik seperti Squid Game dan lagu-lagu Bangtan Boys (BTS) memiliki nilai-nilai yang dekat secara sosio-kultural dengan masyarakat-masyarakat di luar Korea, seperti isu ekonomi, ketidakadilan sosial, dan kesulitan-kesulitan umum yang dihadapi banyak orang.
Karakteristik inilah yang bisa jadi tidak dimiliki oleh drasun – atau drama-drama lokal lainnya. Sebagian besar sinetron atau drama asal Indonesia masih berfokus pada nilai-nilai lokal yang belum tentu bisa dipahami oleh pasar secara lebih luas – bahkan bagi kelompok domestik yang memiliki perbedaan nilai dengan nilai lokal tersebut.
Drasun, misalnya, bisa jadi menonjolkan nilai dan budaya Sunda dalam produk-produk budayanya. Namun, nilai dan budaya yang terkandung di dalamnya belum tentu bisa dipahami oleh kelompok-kelompok suku bangsa lainnya di Indonesia.
Selain drasun, kita bisa ambil contoh dari fenomena populernya Farel Prayoga dengan lagu “Ojo Dibandingke”. Dengan lirik yang kental berbahasa Jawa, belum tentu kelompok-kelompok lainnya merasa terhubung (relate) dengan lagu-lagu Farel.
Ini membuat produk-produk film dan musik Indonesia sendiri memiliki pasar yang hanya berfokus pada kelompok tertentu (segmented). Pada akhirnya, bukan tidak mungkin, drasun dan Dekop akan kesulitan bila dipaksa mengejar kesuksesan drakor dan K-Pop yang justru telah disukai oleh berbagai masyarakat – mulai dari Asia sendiri hingga orang-orang di AS dan Eropa. (A43)