Site icon PinterPolitik.com

Sandi vs Ma’ruf Soal Ekonomi Perempuan

Sandi vs Ma’ruf Soal Ekonomi Perempuan

Foto : Tempo

Sejauh ini, Sandiaga setidaknya dua langkah di depan Ma’ruf Amin dalam upaya mewujudkan cita-cita pemberdayaan ekonomi perempuan. Hal ini karena narasi pemberdayaan ekonomi perempuan ala Sandiaga dianggap lebih konkret, visioner dan detail dibandingkan rivalnya.


 PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ada debat kelima Pilpres 2019 beberapa hari lalu, ada narasi unik yang menjadi pembahasan dalam salah satu sesi.

Isu tentang pemberdayaan ekonomi perempuan yang tak pernah disinggung dalam debat-debat sebelumnya akhirnya menjadi pembahasan bagi kedua kubu yang akan bertarung.

Mana yang lebih pro kesetaraan ekonomi perempuan? Share on X

Narasi ekonomi yang ditawarkan keduanya, meskipun masih terbilang normatif, seolah membawa optimisme terkait keadilan ekonomi bagi perempuan di Indonesia. Adu kebijakan ini dilontarkan oleh masing-masing cawapres, yakni Sandiaga Uno dan Ma’ruf Amin.

Dalam retorikanya, Sandiaga mengedepankan program yang mendukung perkembangan iklim bisnis bagi perempuan di Indonesia. Ia menyiapkan tujuh langkah strategis dalam membantu perempuan memulai bisnis.

Program-program tersebut antara lain pendataan perempuan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi, pelatihan kerja berjenjang bagi perempuan, melakukan pendampingan usaha, mempermudah perizinan bisnis melalui  One Kecamatan One Center of Entrepreneurship (OK OCE), mendukung adanya administrasi keuangan, memberi akses permodalan bagi perempuan, hingga membantu pemasaran barang yang dihasilkan dari para pelaku usaha perempuan.

Sementara itu, di kubu petahana, Ma’ruf Amin mengingatkan pentingnya kesetaraan gender bagi perempuan, utamanya dalam hal ekonomi. Oleh karenanya, ia menawarkan program Dewi (Desa Wisata) dan Dedi (Desa Digital) untuk menggali dan meningkatkan potensi ekonomi perempuan.

Selain itu, sang kiai juga menawaran akses keuangan bagi perempuan melalui program kredit Umi (ultra mikro) dan  Bank Wakaf Mikro bagi perempuan di pesantren-pesantren. Ia juga mengklaim bahwa nasabah Bank Wakaf Mikro adalah 100 persen perempuan.

Sebagai jargon politik, tentu menarik untu mengupas gagasan-gagasan yang disampaikan baik oleh Sandiaga maupun Ma’ruf Amin. Lalu, siapa yang lebih baik dalam adu narasi pemberdayaan ekonomi perempuan ini?

Beban Perempuan, Jebakan Jargon Ma’ruf

Persoalan serius perempuan di Indonesia tentang adanya ketimpangan ekonomi memang tak bisa dianggap remeh.

Salah satu analisis yang menarik datang dari aktivis sekaligus penulis Kate Walton dalam ulasannya untuk Al-Jazeera beberapa waktu lalu. Ia menyinggung tentang perempuan Indonesia yang kini mengalami double burden atau beban ganda dalam hal ekonomi.

Banyak perempuan harus bekerja untuk mencari nafkah di samping juga harus mengerjakan segudang pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci dan mengurus anak. Namun, meskipun perempuan memiliki beban ganda, sayangnya realitas tersebut tak didukung peningkatan kesejahteraannya di ranah ekonomi, utamanya menyoal adanya fenomena pay gap atau kesenjangan jumlah upah dibandingkan kaum pria.

Beberapa ekonom feminis juga mengkritik masih adanya kompetisi yang tak menempatkan perempuan dalam aktivitas-aktivitas ekonomi prioritas.

Data tenaga kerja dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2017 menyebut sektor pertambangan, listrik, gas, air dan jasa keuangan masih menjadi pekerjaan dengan upah terbesar di Indonesia. Sayangnya pada sektor-sektor tersebut, jumlah tenaga kerja perempuan masih relatif rendah dibandingkan tenaga kerja laki-laki.

Kondisi ini yang pada akhirnya membuat banyak pekerja perempuan ditempatkan pada sektor unskilled job atau pekerjaan yang tidak mengandalkan kemampuan khusus yang rentan mendapat perlakuan tidak adil.

Perlu diketahui, sekitar 80 persen perempuan di Indonesia bekerja di sektor unskilled job seperti petani, nelayan, penjahit, pekerja harian, buruh pabrik, menjalankan kios atau berjualan makanan.

Contoh lainnya adalah praktik feminisasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang merugikan perempuan. Menurut laporan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), sebesar 62 persen dari total TKI adalah kaum perempuan. Para perempuan ini bekerja di 152 negara, mulai dari Arab Saudi hingga ke negara tetangga seperti Malaysia.

Ironinya, mayoritas dari mereka bekerja dengan keterampilan yang rendah dan hanya menempati sektor jasa, seperti menjadi penjaga orang lanjut usia (lansia) dan pembantu rumah tangga (PRT).

Realitas tersebut semakin menunjukkan bahwa terdapat diskriminasi perempuan melalui sistem kerja yang tidak adil yang menyebabkan perempuan kehilangan kesempatan untuk berdikari secara ekonomi. Hal ini juga diperkuat oleh konteks budaya patriarkal  yang masih kuat di Indonesia dengan laki-laki sebagai pusat hampir semua bidang kehidupan.

Namun sayangnya, apa yang disampaikan oleh Ma’ruf Amin dengan berbagai jargon-jargonnya tak lebih dari sekedar gimmick belaka, utamanya bagi masa depan kemadirian ekonomi bagi perempuan.

Apa yang disampaikan Ma’ruf Amin sesungguhnya tak terlalu menyentuh berbagai persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sangat disayangkan bahwa dalam konteks pemberdayaan perempuan Ma’ruf Amin hanya terbatas pada jargon Dewi dan Dedi serta kredit Umi dan Bank Wakaf sebagai solusi.

Apalagi, program-program tersebut juga tidak dijelaskan secara garis besar terkait pelaksanaannya dan target-target apa yang dicapai, pun bagaimana hal-hal tersebut berdampak pada pemberdayaan ekonomi perempuan. Akibatnya, gagasan tersebut menjadi abu-abu dan tidak begitu jelas. Ini seolah mengulang jargon ten years challenge yang pernah diungkapkan Ma’ruf dalam debat sebelumnya, tanpa pernah dijelaskan apa maksudnya.

Terlebih, program Dewi pun sesungguhnya telah dilaksanakan sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Hal ini membuat beberapa pihak meragukan  pengetahuan sang kiai tentang persoalan perempuan di bidang ekonomi.

Memang, dalam sebuah sesi debat Pemilu, cukup wajar bagi para kandidatnya untuk saling mengeluarkan retorika dalam menarik pemilih. Namun populisme saja tentu tak cukup bagi Ma’ruf untuk mewujudkan cita-cita keadilan gender dalam konteks ekonomi.

Sandiaga dan Optimisme Grameen Bank

Di Indonesia, jumlah penduduk perempuan memang hampir seimbang dengan penduduk laki-laki. Data BPS mencatat bahwa pada tahun 2018 jumlah penduduk Indonesia terdiri dari laki-laki sebanyak 133,1 juta jiwa dan perempuan sebanyak 131,88 juta jiwa.

Sehingga, sangat beralasan bahwa potensi yang besar dalam tenaga kerja perempuan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Jika Ma’ruf Amin lebih banyak menekankan pada jargon-jargo semata, maka kubu oposisi boleh berbangga hati menyoal penampilan Sandiaga yang cukup jelas menyorot persoalan ekonomi perempuan ini.

Apa yang diampaikan Sandiaga melalui tujuh langkah bisnis bagi perempuan dalam sesi debat tersebut seolah membawa secercah harapan bagi terwujudnya cita-cita kemandirian ekonomi perempuan. Terlebih lagi menyoal poin pendampingan kewirausahaan, pemberian akses kredit, membuka pasar dan pendataan perempuan tulang punggung di Indonesia.

Program OK OCE juga tak boleh diremehkan sebagai wadah bagi pengembangan sektor bisnis bagi perempuan.

Apa yang ditawarkan Sandi ini sesungguhnya mengingatkan pada program Grameen Bank yang diinisiasi oleh peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, tentang cara memberdayakan perempuan melalui pinjaman berkelanjutan di Bangladesh.

Dalam konteks Bangladesh, hal yang menjadi inspirasi Yunus tentang adanya Grameen Bank ini adalah bencana kelaparan dan kemiskinan ekstrem yang melanda Bangladesh di era 1970-an. Dengan kondisi tersebut, ia kemudian mencetuskan sistem microfinancing melalui sistem ini agar mudah dijangkau oleh orang-orang miskin di negara tersebut, utamanya bagi perempuan.

Yunus setidaknya meyakini 6 prinsip dalam mengembangakan Grameen Bank. Salah satu yang menarik adalah pandangan bahwa bantuan sosial bukanlah solusi untuk kemiskinan sebab hal ini akan menyebabkan adanya ketergantungan. Oleh karenanya, sistem Grameen Bank juga berfokus pada pembinaan penerima kredit untuk memulai dan mengembangkan usaha bagi para perempuan .

Selain itu sistem Grameen Bank tidak percaya bahwa terdapat perbedaan antara kemampuan orang miskin dan kaya. Hanya saja, orang miskin dianggap tidak mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi dirinya. Sehingga, sistem ini cukup membantu bagi pengembangan dan eksplorasi ekonomi si miskin, terkhusus bagi kaum perempuan.

Selain itu, kelompok perempuan juga lebih diprioritaskan oleh sistem ini karena dianggap memiliki long-term vision dan siap membawa perubahan kondisi ekonomi keluarga.

Dari upaya sederhana ini kemudian munculah industri baru dan menjadi alat yang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Selain terwujudnya kesejahteraan, program ini juga berhasil meningkatkan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik bagi penduduk Bangladesh.

Dalam konteks visi Sandiaga, meskipun program OK OCE sebelumnya banyak mendapat kritikan karena dianggap tak berjalan dengan baik, namun paling tidak narasi pemberdayaan ekonomi perempuan ala Sandiaga paling konkret dibandingkan dengan rivalnya. Ide tersebut terlihat lebih visioner dan detail.

Selain itu, hal ini juga sesuai dengan konsep  Triple Helix model yang menyatakan bahwa untuk membentuk perempuan yang kreatif dan produktif, dibutuhkan kolaborasi tiga aktor utama, yakni kelompok intelektual,  pemerintah, serta pelaku bisnis perempuan  bagi berkembangnya perekonomian mengedepankan kesetaraan gender.

Oleh karena itu, penting adanya strategi pemberdayaan yang melibatkan tiga pihak utama tersebut guna meningkatkan posisi tawar perempuan dalam konteks ekonomi.  Peluang itulah yang coba dibaca oleh Sandiaga melalui optimismenya dalam melihat potensi ekonomi perempuan.

Dan sejauh ini, Sandiaga telah meninggalkan Ma’ruf Amin dua langkah di depan secara konsep sebagai upaya mewujudkan cita-cita tersebut. (M39)

Exit mobile version