HomeNalar PolitikSandi Untung Dengan Dumbing Down

Sandi Untung Dengan Dumbing Down

“The paranoia is in bloom, the P-R; transmissions will resume. They’ll try to push drugs, that keep us all dumbed down and hope that, we will never see the truth around”. – Muse


Pinterpolitik.com 

[dropcap]D[/dropcap]alam sebuah arena pertarungan politik, komunikasi adalah hal yang penting. Pergeseran pola komunikasi kini menjadi semakin cair dan beragam. Hal tersebut juga tercermin dalam kontestasi politik Indonesia saat ini.

Masa Pemilihan Presiden adalah masa yang menarik. Dalam masyarakat demokratis modern seperti Indonesia, ini adalah masa yang amat menentukan bentuk dan masa depan bangsa. Tak berlebihan jika masa-masa ini juga dikenal sebagai pesta demokrasi, di mana rakyat mengunakan kekuasaannya untuk memilih para pemimpin bangsa.

Dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden membentuk citra diri masing-masing agar mendapatkan presepsi publik yang positif dan dapat diterima. Salah satu dari kandidat yang mendapatkan perhatian terkait dengan gaya komunikasinya adalah Sandiaga Uno. Sandiaga sebagai “pemain baru” dalam panggung politik nasional cukup mendapatkan perhatian akhir-akhir ini, khususnya ketika kick off Pilpres dimulai.

Sebagai penantang dalam kontestasi Pilpres, Sandi lebih diuntungkan dengan menggunakan komunikasi dumbing down tersebut karena ia lebih leluasa dalam hal membangun narasi yang lebih kasual. Share on X

Belakangan, Sandi kerap mengucapkan kata-kata yang “tak wajar”. Mulai dari menyebut tempe yang beredar di pasaran sekarang setipis kartu ATM, hingga mengatakan politik Teletubbies kepada Bambang Soesatyo ketika kedua orang tersebut berjumpa beberapa waktu lalu.

Banyak kalangan yang menganggap ucapan-ucapan Sandi tersebut sebagai bagian dari strategi kampanye. Semakin masyarakat dan media memberitakan tentang trademark Sandi itu, maka semakin tujuan dari komunikasi politik dirinya berhasil.

Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Sandi membangun komunikasi politik dan apakah gaya komunikasi dirinya tersebut cenderung mengarah pada politik dumbing down?

Komunikasi Politik Dumbing Down

Komunikasi politik sebagai bagian penting antara aktor politik dan konstituen agar mendapatkan hubungan timbal balik yang setara. Namun, di tengah kondisi spectacle society atau masyarakat penonton seperti saat ini, hal tersebut melahirkan sebuah pola relasi kekuasaan vertikal atau top-down.

Untuk memahami komunikasi politik perlu dipahami dengan mengurai terlebih dahulu tentang politik keseharian (vernacular politics) karena konsep tersebut merupakan awal mula bagaimana dunia politik dihadirkan oleh para aktornya, baik keberadaannya sebagai individu maupun representasi institusi politik.

Oxford Advanced Learner’s Dictionary mendefinisikan vernacular sebagai bahasa yang biasa diucapkan dalam bidang kehidupan tertentu oleh kelompok tertentu yang tidak bersifat tertulis atau bersifat resmi. Faktanya bahasa dan ucapan berkembang seiring dengan latar belakang agama, budaya dan kelas sosial masyarakat.

Ucapan keseharian ini pada akhirnya akan melahirkan makna personal dan makna sosial di kalangan para penuturnya, atau dalam hal ini adalah aktor politik, sehingga membentuk konstruksi sosial atas realitas yang didefinisikan termasuk terhadap realitas politik keseharian yang mereka hadapi.

Dalam vernacular politic, substansi dan asal muasal dari demokrasi merupakan politik dalam kehidupan keseharian yang bersumber dari pola penggunaan kata dan bahasa serta pesan-pesan yang disampaikan dalam proses interaksi antar individu dalam kelompok-kelompok sosial.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Dalam konteks Pilpres di Indonesia, hal tersebut yang kemudian melahirkan komunikasi politik dumbing down. Dalam Cambridge Dictionary kata dumbing down diartikan sebagai suatu sikap untuk menyederhanakan dan memudahkan sesuatu agar dimengerti oleh orang lain, terutama agar hal itu bisa menjadi lebih populer.

Sandi Untung Dengan Dumbing Down

Ungkapan dumbing down sendiri sebenarnya digunakan jauh sebelum tahun 1930-an dalam esai dan artikel kebudayaan yang menggugat bahwa pendidikan, karya sastra, film, kesenian dan karya-karya budaya umumnya makin mempertontonkan kedangkalan dan menghindari kompleksitas isu yang berkaitan dengan permasalahan masyarakat, yang semuanya menurunkan kadar intelektualitas karya-karya tersebut.

Sebenarnya, fenomena dumbing down tidak hanya terjadi dalam dimensi politik, namun juga terjadi dalam ranah yang lainnya seperti pendidikan, budaya, bahkan agama.

Dalam arena politik, dumbing down bisa diartikan secara sederhana sebagai bentuk komunikasi politik untuk menjelaskan sesuatu dengan cara yang sederhana. Hal ini biasa terjadi di negara-negara demokratis, ketika seseorang – biasanya pejabat publik – hendak menyampaikan suatu maksud, namun terkendala dengan cara penyampaian yang terbatas. Biasanya hal ini terkait dengan konteks materi dan juga audiens atau pendengar yang dihadapi.

Politik dumbing down biasanya digunakan ketika seseorang berhadapan dengan pendengar  dari kalangan menengah ke bawah, terutama dalam konteks Indonesia. Professor Mick Temple dari Staffordshire University menulis bahwa dumbing down adalah usaha untuk mensimplifikasi komunikasi politik di ruang publik. Hal ini berkaitan dengan penurunan kualitas dari diskursus dan pencarian jalan tengah agar pesan komunikasi mudah ditangkap dan dipahami.

Politik dumbing down ini terjadi karena dua arah. Yang pertama karena masyarakat yang cenderung kurang bisa menangkap narasi yang berkembang, dan yang kedua karena aktor politik cenderung gagap dalam membangun sebuah diskursus yang lebih komprehensif untuk dihadirkan ke hadapan publik.

Kelemahan-kelebihan Dumbing Down

Karena adanya dominasi arus kekuasaan tertentu dan seiring dengan menguatnya media penyiaran televisi dalam arena politik dan komunikasi politik modern, maka lahirlah masyarakat penonton atau spectacle society – hal yang disinggung di awal.

Masyarakat dengan ruang publik seperti ini oleh pengajar senior Fakultas Industri Kreatif di Universitas Teknologi Queensland Alan McKee dicirikan dengan beberapa indikator. Pertama, dalam arena komunikasi politik, simbol-simbol visual persuasif lebih mendominasi dibandingkan argumen-argumen pemikiran politik yang substantif.

Kedua, proses komunikasi politik juga didominasi oleh pesan-pesan komunikasi politik yang cenderung menghibur, menempatkan masyarakat sebagai konsumen, dan makin menjauhkan kesadaran dirinya sebagai warga negara yang memiliki hak dan akses yang setara dalam beragam diskusi publik dan perumusan kebijakan publik.

Ketiga, masyarakat juga sekedar menjadi penonton pasif terhadap ragam perdebatan dan diskusi publik dalam arena publik. Menguatnya peran media televisi kian menjadikan masyarakat sebagai warga negara pasif yang memiliki bentuk keterlibatan semu terhadap berbagai diskusi publik. Bahkan mereka pun cenderung pasif dalam memahami dan menempatkan dirinya dalam kehidupan sosial.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Dalam hal komunkasi dumbing down, indikasi tersebut membawa kejelekan pada gaya komunikasi jenis ini. Dengan konsep dumbing down, secara gradual masyarakat cenderung akan kehilangan kemauan dan kemampuan untuk memahami nuansa dan permasalahan yang sebenarnya terjadi sebab topik yang disampaikan disimplifikasi atau disederhanakan. Sehingga masyarakat tidak dapat mengerti persoalan secara utuh dengan penyederhanaan tersebut.

Namun, untuk jangka pendek, komunikasi politik dumbing down dapat menguntungkan aktor politik. Sebab narasi yang disampaikan cenderung sederhana dan mudah dipahami oleh publik, terutama dengan bahasa keseharian yang melekat dalam benak masyarakat. Jika komunikasi ini bisa dikemas secara apik, maka persepsi publik terhadap aktor politik terkait akan meningkat.

Selain itu, nampaknya dalam arus demokrasi seperti saat ini, politik dumbing down sudah menjadi sesuatu yang biasa saja. Hal itu juga bisa dilihat dalam ranah yang lainnya, misalnya saja pada media. Media kerap memberitakan persoalan yang disederhanakan, sehingga tak ada diskusi yang komprehensif.

Sandi Untung?

Seperti yang sudah disampaikan di awal, bahwa konteks politik Indonesia cenderung melahirkan pergeseran komunikasi politik. Jokowi misalnya beberapa kali menggunakan pendekatan yang lebih milenial agar bisa lebih dekat dengan kelompok tersebut.

Begitu pun dengan Sandi, ia sadar bahwa porsi kelompok ibu-ibu dan kalangan menengah ke bawah cukup besar, sehingga dirinya kerap menggunakan kosa kata yang mewakili dua kelompok tersebut.

Akhir-akhir ini Sandi mendapatkan perhatian karena komentarnya terkait dengan kondisi ekonomi nasional. Hal itu ia sampaikan dengan menyebut bahwa sekarang tempe yang beredar di pasaran setebal kartu ATM.

Begitu pun ketika kunjugannya di salah satu pasar beberapa waktu lalu, ia mendapati seorang pedagang yang mengemas tempe dalam bungkusan kertas yang menyerupai kemasan sachet. Sontak ia menamai tempe tersebut dengan tempe sachet.

Dalam pernyataannya itu, Sandi menjelaskan jika tempe sachet bisa untuk menyiasati di tengah persoalan ekonomi yang semakin buruk. Dari dua narasi yang dibangun Sandi tersebut, terdapat dua konteks permasalahan yang coba disederhanakan olehnya untuk menjelaskan persoalan yang ada.

Alih-alih menjelaskan persoalan ekonomi yang lebih kompleks, katakanlah dengan menjelaskan kondisi ekonomi pada tataran kebijakan, Sandi justru lebih memilih untuk menggunakan kosa kata yang tidak biasa dan memparafrasekan konteks makro ekonomi lewat tempe yang setipis kartu ATM.

Penyederhanaan persoalan oleh Sandi ini bisa disebut sebagai bagian dari komuikasi politik dumbing down. Sandi memilih untuk menggeser istilah dalam politik ekonomi yang rigid dan formal dengan istilah yang mudah dipahami. Istilah ini, seperti yang diketahui, pada akhirnya mendatangkan atensi publik.

Sebagai penantang dalam kontestasi Pilpres, Sandi lebih diuntungkan dengan menggunakan komunikasi dumbing down tersebut karena ia lebih leluasa dalam hal membangun narasi yang lebih kasual. Hal itu berbeda dengan Jokowi sebagai petahana karena ia dibatasi dengan protokoler, di mana ada batasan-batasan formal dalam melakukan komunikasi publik.

Jika Sandi bisa mengemas pola komunikasi ini dengan baik, maka hal itu bisa menguntungkan dirinya, dilihat dari persepsi publik juga dampaknya terhadap elektabilitas dirinya. (A37)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Unikop Sandi Menantang Unicorn

Di tengah perbincangan tentang unicorn, Sandi melawannya dengan konsep Unikop, unit koperasi yang memiliki valuasi di atas Rp 1 triliun. Bisakah ia mewujudkannya? PinterPolitik.com  Dalam sebuah...

Emak-Emak Rumour-Mongering Jokowi?

Viralnya video emak-emak yang melakukan kampanye hitam kepada Jokowi mendiskreditkan Prabowo. Strategi rumour-mongering itu juga dinilai merugikan paslon nomor urut 02 tersebut. PinterPolitik.com Aristhopanes – seorang...

Di Balik Tirai PDIP-Partai Asing

Pertemuan antara PDIP dengan Partai Konservatif Inggris dan Partai Liberal Australia membuat penafsiran tertentu, apakah ada motif politik Pilpres? PinterPolitik.com  Ternyata partai politik tidak hanya bermain...