Ketua DPR Puan Maharani mengkritik kebijakan mudik pemerintah karena di saat yang sama justru membuka tempat wisata. Selaku sosok yang bertanggung jawab menggenjot pariwisata dan mengampanyekan pariwisata, apakah kritik Puan tengah menjepit Menparekraf Sandiaga Uno?
Selaku sosok yang telah banyak mendapat jabatan strategis, cukup menarik mempertanyakan mengapa Puan Maharani tidak mendapatkan keuntungan elektoral. Dalam artikel PinterPolitik.com sebelumnya, Nasib Puan Ditentukan Jokowi?, perkara ini juga telah dibahas.
Tesis artikel tersebut sederhana, dengan posisi Puan saat ini sebagai Ketua DPR, ia dapat memanfaatkannya sebagai pengkritik eksekutif yang sah. Pakar mitigasi isu dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga memberi penegasan serupa.
Tuturnya, “Puan mestinya bisa lebih leluasa berayun-ayun antara peran pengawasan DPR dan kepentingan partai untuk mengawal agenda pemerintah. Jabatan Ketua DPR itu memberinya legitimasi lebih kuat dan konstitusional untuk menampilkan citra diri yang tak segan menyampaikan kritik dalam dosis yang sehat pada rezim yang diusung partainya.”
Menurut Fahmi, peran sebagai pengawas dan pengkritik eksekutif dapat menarik perhatian publik dan meningkatkan elektabilitas Puan secara signifikan apabila dikelola secara konsisten dan terukur.
Seperti penegasan Fahmi, sebagai sosok yang digadang menjadi kandidat sejak Pilpres 2014, Puan seharusnya sudah sejak lama memainkan peran sebagai sosok kritis terhadap eksekutif. Selain itu, menampilkan diri dekat dengan masyarakat tentunya menjadi tidak terhindarkan agar citra di akar rumput tertanam dengan kuat.
Namun, seperti yang diketahui, kita tidak melihat itu dari gestur politik Puan. Marcus Mietzner dalam tulisannya Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System sekiranya menjawab keganjilan tersebut. Menurutnya, Puan mewarisi “karakter” elitis Megawati Soekarnoputri yang kerap menolak untuk diwawancarai dan terlihat tidak nyaman bergaul dengan orang banyak.
Baca Juga: Jokowi Mau Ngetes Puan?
Mungkin sadar atas karakter elitisnya selama ini yang tidak menguntungkan secara elektoral, akhir-akhir ini Puan mulai menampakkan diri. Mulai dari mengkritik kebijakan mudik pemerintah yang tidak konsisten karena membuka tempat wisata, hingga melakukan blusukan di beberapa tempat.
Terkhusus kritik terhadap kebijakan mudik, kritik tersebut tampaknya tengah menyudutkan sosok tertentu di Istana saat ini. Menariknya, sosok tersebut adalah salah satu kandidat potensial untuk maju di Pilpres 2024.
Siapa sosok ini? Dan mungkinkah kritik Puan memiliki motif lain sebagai serangan kepada kandidat tersebut?
Ambiguitas Tujuan?
Dalam analisisnya, Khairul Fahmi melihat, secara tidak langsung, kritik Puan berdampak kepada Sandiaga Salahudin Uno. Seperti yang diketahui, sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandi adalah sosok yang mengumumkan rencana pembukaan rute penerbangan Singapura-Bali dan getol mengampanyekan pariwisata.
Tentu cukup aneh melihat, di tengah keseriusan pemerintah dalam menangangi pandemi, Sandi justru menyiapkan lokasi-lokasi piknik, meskipun menegaskan protokol kesehatan (prokes) sangat diperhatikan.
Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 dapat memberikan penjelasan atas keganjilan tersebut. Dalam bab “Negara Lemah dan Lubang Hitam Administrasi Negara”, Fukuyama menyinggung perkara ambiguitas tujuan yang kerap mendera lembaga atau organisasi negara. Menurutnya, terdapat tiga alasan mengapa organisasi-organisasi negara mengalami ambiguitas tujuan.
Baca Juga: Pemerintahan Jokowi Alami Ambiguitas Tujuan?
Pertama, para anggota organisasi tidak berlaku rasional. Mengutip teori Herbert Simon tentang satisficing, Fukuyama menerangkan bahwa tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, namun muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi para pelaku organisasi.
Menurut Fukuyama, ini terjadi karena individu-individu dalam organisasi memiliki rasionalitas yang terbatas. Ini tidak dalam pengertian individu tersebut “bodoh”, melainkan karena individu memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa.
Kedua, organisasi-organisasi sektor negara, khususnya yang menghasilkan pelayanan publik pada dasarnya sulit diukur atau dipantau. Menurut Fukuyama, terdapat dua variabel untuk menentukan tingkat kesulitan pengukuran tersebut, yakni “kekhususan” dan “volume transaksi” pelayanan. Kedua variabel tersebut akan membentuk matriks sebagai berikut.
Aktivitas atau pelayanan yang paling mudah dipantau atau diukur adalah Kuadran I, yakni pelayanan yang sangat khusus dan volume transaksinya rendah. Sedangkan yang paling sulit diukur adalah Kuadran IV, yakni pelayanan yang kekhususannya rendah dan tinggi volume transaksinya sangat tinggi.
Masalahnya, kinerja yang sulit dipantau akan membuat anggota organisasi berperilaku sesuai dengan keinginannya dan tidak jarang justru melenceng dari tujuan organisasi.
Ketiga, terjadinya desentralisasi kewenangan. Menurut Fukuyama, desentralisasi kewenangan, meskipun memiliki dampak positif, seperti membagi tugas, nyatanya ini berkontribusi pada terjadinya perbedaan dan kompleksitas tujuan karena adanya berbagai kewenangan.
Dari tiga poin yang dipaparkan Fukuyama, khususnya yang pertama, dengan jelas menunjukkan adanya ambiguitas tujuan dari pemerintah terkait kebijakan pariwisata di tengah pandemi Covid-19. Rasa-rasanya, kita semua tentu paham bahwa membuka pariwisata mestilah meningkatkan risiko penularan virus.
Akan tetapi, karena Sandi, dengan “rasionalitasnya”, sekiranya merasa sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menggenjot pariwisata. Apalagi, Menparekraf sebelumnya, Wishnutama Kusubandio diganti karena dinilai tidak memenuhi ekspektasi. Ini jelas menjadi beban tersendiri bagi Sandi untuk membuktikan diri, baik sebagai menteri, maupun sebagai kandidat potensial di Pilpres 2024.
Menjepit Sandi?
Seperti yang ditegaskan oleh Puan, kebijakan yang kontradiktif, antara pelarangan mudik dan membuka pariwisata, jelas memperlihatkan ambiguitas tujuan dari pemerintah. Perkara ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal pandemi.
Saat itu, kita semua dapat melihat terdapat tarikan antara keinginan untuk melawan pandemi dan menjaga laju perekonomian. Sebut saja kebijakan diskon pesawat dan tarik-ulur penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Padahal, berbagai ekonom telah menegaskan bahwa tidak mungkin ekonomi dapat tumbuh apabila pandemi tidak diselesaikan terlebih dahulu.
Kembali mengacu pada poin pertama Fukuyama, tarikan antara penanganan pandemi dan menjaga perekonomian dengan jelas menunjukkan problem of perception. Ini adalah konsep dalam epistemologi yang menjelaskan benturan terkait klaim manusia tentang realitas karena memiliki persepsi yang berbeda.
Nah, problem of perception sekiranya dengan jelas menghantui Sandi. Sebagai Menparekraf dan seorang pebisnis, Sandi tentu memiliki persepsi bahwa ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pariwisata adalah sesuatu yang sangat penting.
Persepsi tersebut kemudian membuat Sandi, secara sadar atau tidak, kemungkinan menempatkan persepsi mencegah penularan virus menjadi inferior. Ihwal ini dapat kita dijelaskan melalui teori psikologi cognitive dissonance atau disonansi kognitif. Ini adalah keadaan ketika seseorang memegang dua keyakinan, sikap, atau pendapat yang tidak konsisten dan menciptakan ketegangan mental yang tidak menyenangkan.
Ketidaknyamanan tersebut kemudian melahirkan perubahan pandangan salah satu keyakinan untuk memulihkan kondisi mental. Demi kepentingan itu, tentunya keyakinan yang mengganjal yang akan diubah atau dinegasikan.
Baca Juga: Kekhawatiran Puan Pada Wibawa Pemerintah
Sandi jelas terhimpit dua posisi. Di satu sisi, ia harus membuktikan kemampuannya dalam menggenjot pariwisata. Namun di sisi lain, ia sadar betapa pentingnya mencegah penularan virus. Ini jelas menimbulkan disonansi kognitif, yang kemungkinan besar membuat Sandi lebih memilih posisi yang pertama.
Nah, kembali pada kritik Puan. Berbeda dengan Sandi yang merupakan menteri dan memiliki tugas tertentu, Puan memiliki fleksibilitas persepsi sehingga tidak terjebak dalam disonansi kognitif. Sebagai Ketua DPR yang memiliki hak konstitusional untuk mengawasi dan mengkritik eksekutif, Puan dengan mudah dapat mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk Menparekraf Sandiaga Uno.
Kendati mungkin tidak diniatkan untuk menyerang Sandi secara spesfik, yang notabene merupakan saingannya sebagai kandidat di 2024, kritik Puan jelas memiliki konsekuensi tidak terhindarkan yang menyudutkan Sandi. Terlebih lagi, Fadli Zon yang berada di payung partai yang sama dengan Sandi juga memberikan kritik serupa.
Jika sudah begini, apa yang harus dilakukan oleh Sandi? Terkait hal ini, ini akan menjadi bukti kepiawaiannya dalam mengelola isu dan narasi. Mari kita amati. (R53)