Setelah sebelumnya membocorkan informasi adanya perjanjian politik antara Anies Baswedan dengan Prabowo Subianto, Sandiaga Uno kembali berkicau. Kali ini soal biaya hampir Rp1 triliun yang sudah dikeluarkannya di Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Lantas, kenapa Sandi tiba-tiba berkicau seperti itu? Apakah Sandi sedang gelisah karena terancam tidak maju di Pilpres 2024?
PinterPolitik.com
“Orang-orang lebih tertarik pada apa yang Anda coba sembunyikan daripada apa yang Anda perlihatkan kepada mereka.” – Nassim Nicholas Taleb
Pada Januari 2020, publik dihebohkan dengan pemberitaan “aksi gerebek PSK” oleh anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade. Saat itu, salah satu pihak yang memberi tanggapan bijak adalah Sandiaga Uno. Ungkap Sandi, menggerebek PSK adalah tugas aparat hukum, bukannya Andre sebagai anggota DPR.
“Bang Andre ini baru di DPR jadi kita do’akan karier dia supaya lebih. Ke depan dia bisa fokus ke pelayanan masyarakat,” ungkap Sandi pada 9 Februari 2020.
Tanggapan Sandi tidak hanya memberikan saran kepada Andre, melainkan juga memberi pemakluman. Secara tidak langsung, Sandi mencoba memahami gimik politik Andre karena statusnya yang terbilang baru sebagai anggota DPR.
Menariknya, citra Sandi yang tenang dan bijak seperti itu justru tidak terlihat akhir-akhir ini. Pada 30 Januari 2023, Sandi justru membocorkan informasi internal partai soal adanya perjanjian politik antara Anies Baswedan dengan Prabowo Subianto di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017.
Pernyataan itu sampai memantik respons dari berbagai petinggi Gerindra. Sandi dinilai tidak etis untuk membuka informasi internal ke hadapan publik.
Tidak berselang lama, Sandi kembali menuai kontroversi. Pada 11 Februari 2023, Sandi membeberkan soal biaya politik yang sudah dikeluarkannya di Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Di Pilgub DKI Jakarta 2017 Sandi mengeluarkan Rp300 miliar. Sementara di Pilpres 2019 angkanya mencapai dua kali lipat, sebesar Rp600 miliar. Totalnya hampir menyentuh Rp1 triliun.
Tentu pertanyaannya, kenapa Sandi mengeluarkan kicauan-kicauan kontroversial seperti itu? Di mana ketenangan yang ditunjukkan Sandi sebelumnya?
Kenapa Sandi Berkicau?
Pengamat politik Dedi Kurnia Syah memiliki dua bacaan menarik soal gestur Sandi membocorkan perjanjian politik Anies dengan Prabowo. Pertama, Sandi kemungkinan sedang putus asa karena melihat Anies melejit dan telah dideklarasikan oleh Partai NasDem.
Kedua, melihat Anies hampir pasti mendapat tiket di Pilpres 2024, Sandi kemungkinan merasa tertinggal. “Secara khusus Sandiaga tentu merasa tertinggal karena 2019 silam ia cawapres dan kini sedang menghadapi peluang untuk tidak menjadi siapa-siapa dalam Pilpres 2024,” ungkap Dedi pada 8 Februari 2023.
Jika bacaan Dedi tepat, apa yang dialami Sandi dapat kita jelaskan melalui pisau bedah studi ekonomi perilaku (behavioral economics). Terdapat satu teori psikologi yang menjelaskan fenomena sulitnya investor melepas investasinya meskipun terbukti tidak menguntungkan atau bahkan merugikan. Teori itu dikenal dengan sunk cost fallacy.
Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, menjelaskan sunk cost fallacy sebagai tendensi psikologis ketika seseorang merasa berat hati melepas sesuatu karena sudah berinvestasi kepadanya. Investasi atau biaya ini tidak harus berbentuk materi (uang), melainkan juga bisa berbentuk waktu dan emosi.
Keputusan Amerika Serikat (AS) melanjutkan perang dengan Vietnam disebut Dobelli sebagai salah satu contohnya. Karena sudah begitu banyak investasi yang dikeluarkan, baik berupa waktu, tenaga, uang, dan nyawa, awalnya AS begitu berat untuk menyerah di Perang Vietnam.
Contoh menarik lainnya adalah pernikahan. Kendatipun diketahui tidak berjalan baik, bahkan menderita luka karena KDRT, berbagai pihak umumnya sangat berat untuk memutuskan cerai karena begitu banyak investasi yang sudah dicurahkan, khususnya biaya emosi. Kalkulasinya semakin rumit apabila telah memiliki anak.
Sandi Tagih Investasinya?
Pada kasus Sandi, terlebih sosoknya yang merupakan pengusaha, sunk cost fallacy sepertinya sangat kuat terasa. Sandi merasa sudah berinvestasi banyak di Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019. Sandi sedang ingin menagih investasi politiknya.
Tidak hanya mengeluarkan uang hampir Rp1 triliun, Sandi juga berkorban waktu dan tenaga yang bukan main banyaknya. Saking rajinnya blusukan, Sandi sampai memecahkan Rekor Muri pada April 2019 karena melakukan safari politik ke 1.500 titik di Indonesia.
Charles A. Miller dalam penelitiannya Sunk Costs and Political Decision Making, menyebut sunk cost fallacy adalah teori psikologi dan ekonomi perilaku yang paling banyak diadopsi ke dalam ilmu politik.
Menurut Miller, fenomena sunk cost fallacy lazim terjadi di politik karena begitu kompleks dan berkelindannya informasi politik. Ini membuat kalkulasi informasi rasional menjadi sulit untuk dilakukan.
Pada kasus Sandi, karena mungkin terjebak pada sunk cost fallacy sehingga merasa berhak maju di Pilpres 2024, ia dikabarkan akan pindah ke PPP untuk mendapatkan dukungan maju di Pilpres 2024. Padahal, apabila dianalisis secara tenang, PPP bukanlah partai yang dapat menjadi sekoci Sandi untuk 2024.
Ada dua alasan untuk ini. Pertama, pada Pemilu 2019 PPP hampir tidak lolos ke Senayan. Partai Ka’bah juga dihinggapi persoalan internal setelah pucuk kepemimpinan berpindah dari Suharso Monoarfa ke Mardiono.
Kedua, berbagai partai politik sepertinya tidak melihat Sandi sebagai kandidat potensial. Konteksnya dapat kita lihat pada manuver NasDem mengumumkan tiga nama capres pada Juni 2022, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Andika Perkasa.
Jika Sandi dinilai sangat potensial, bukankah namanya sudah digaungkan oleh partai lain? Manuver NasDem menggaungkan nama Anies, Ganjar, dan Andika tentu bertolak pada penilaian ketiganya begitu potensial.
Kalaupun PPP terlihat ingin menggaungkan nama Sandi sebagai capres atau cawapres, itu sekiranya sebagai trade-off atau rayuan politik agar Sandi mau berlabuh ke partai Ka’bah.
Sebagai penutup, mungkin dapat disimpulkan bahwa Sandi tengah terjebak sunk cost fallacy. Seperti bacaan Dedi Kurnia Syah, mungkin Sandi sedang putus asa dan merasa tertinggal karena ia berpotensi tidak menjadi siapa-siapa di Pilpres 2024. Sandi sepertinya sedang gelisah.
Kembali menarik pernyataan Nassim Nicholas Taleb di buku The Bed of Procrustes, orang-orang lebih tertarik pada apa yang kita sembunyikan daripada apa yang kita katakan. Terkait kicauan-kicauan Sandi, berbagai pihak sekiranya lebih tertarik pada alasan di balik kicauan Sandi daripada kicauan itu sendiri. (R53)