Berdasarkan Musra Relawan Jokowi, pasangan Sandiaga Uno-Ridwan Kamil (RK) berpotensi didukung oleh relawan Jokowi. Mungkinkah Sandi-RK adalah pasangan alternatif yang disiapkan oleh Jokowi?
Ada pernyataan menarik yang dikeluarkan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Desmond J Mahesa ketika merespons isu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan untuk mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Menariknya, alih-alih memberi respons positif, Desmond justru menyebut Jokowi sedang bermain aman. “Ya kalau Jokowi kan meng-endorse siapa saja. Ganjar, Erick Thohir, Pak Sandi, ke semua mungkin dia cari selamat saja. Siapa pun presidennya dia selamat dari masalah dia yang sekarang tidak beres, kan begitu,” ungkapnya pada 19 September 2022.
Pernyataan Desmond ini memberi ruang interpretasi yang begitu luas soal siapa sosok yang akan diusung Jokowi di Pilpres 2024. Jika benar RI-1 sedang bermain aman, maka segala klaim dukungan yang bertebaran saat ini tidak dapat dianggap valid.
Atas simpulan itu, kita dapat menarik hipotesis menarik. Untuk menempatkan kakinya di berbagai kandidat potensial, cukup masuk akal mengatakan Jokowi memiliki daftar kandidat 2024. Daftar itu kemungkinan terbagi dua, yakni kandidat prioritas dan kandidat alternatif.
Kandidat prioritas adalah mereka yang sudah memiliki kendaraan politik. Prabowo Subianto dan Puan Maharani masuk dalam kategori ini. Sementara kandidat alternatif adalah mereka yang belum memiliki kendaraan politik, tapi memiliki modal politik yang mumpuni.
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno sekiranya masuk kandidat alternatif. Keempatnya memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi.
Nah, di sini ruang interpretasinya menjadi menarik. Jika fokus pada kandidat prioritas, rasanya sulit bagi Jokowi untuk menjadi king maker. Alasannya sederhana, sosok besar seperti Prabowo dan Puan tentu tidak ingin berada di balik bayang-bayang Jokowi.
Oleh karenanya, sekiranya lebih menarik untuk menelaah kandidat yang dapat menjadi pilihan alternatif Jokowi. Ada dua alasan untuk ini.
Pertama, karena mereka bukan sosok berpengaruh di partai, daya tawarnya tidak sebesar Prabowo atau Puan. Jokowi dapat menggunakan poin ini untuk meningkatkan daya tawarnya, sehingga bisa menjadi king maker.
Kedua, karena mereka tidak memiliki kendaraan, Jokowi dapat memanfaatkan popularitas, pengaruh, dan pendukungnya untuk melobi partai agar mendukung kandidat alternatif yang diinginkan eks Wali Kota Solo tersebut.
Artinya, dukungan politik (political endorsement) adalah faktor penentu di poin ini.
Kenapa Jokowi Cari Aman?
Sebelum menelaah lebih jauh siapa kandidat yang potensial menjadi pilihan alternatif Jokowi, penting kiranya untuk membahas kenapa political endorsement dapat bekerja.
Psikolog dari Cornell University, Mark Travers dalam tulisannya How Valuable are Endorsements in Politics? 3 Lessons from Political Psychology, menggunakan konsep laziness dalam psikologi untuk menjelaskan bagaimana political endorsement dapat bekerja.
Laziness adalah kecenderungan psikologis ketika seseorang enggan untuk mengerahkan tenaga atau kemampuannya, meskipun pada dasarnya ia mampu. Terlebih lagi, dengan kapasitas kognitif yang terbatas dan berbeda, berbagai pihak tidak ingin membuang-buang energinya untuk memikirkan politik.
Banyak pihak cenderung mengambil jalan pintas, seperti melihat partai yang mengusung atau sosok berpengaruh yang mendukung kandidat tersebut.
Travers mencontohkan political endorsement dari Jim Clyburn kepada Joe Biden di South Carolina pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020. Sebanyak 47 persen pemilih Biden menyebut Clyburn adalah faktor penting di balik pilihan mereka. Menurut Travers, ada asumsi bahwa Biden mestilah memiliki prinsip politik yang sama dengan Clyburn.
Sejarah Pilpres AS juga memberikan data yang menakjubkan. Sejak Pilpres 1860 hingga Pilpres 2020, ternyata hanya 15 kali kandidat yang mendapatkan political endorsement menuai kekalahan.
Menariknya, kendati political endorsement adalah elemen politik yang begitu penting, terkhusus untuk presiden, political endorsement tidak boleh sembarangan diberikan.
Dalam tulisan Why Presidents Wait to Endorse Their Successors yang dimuat Time, dijelaskan bahwa presiden tidak boleh terburu-buru dalam menentukan dukungannya. Ini dilakukan untuk menghindari mendukung “kuda” yang salah.
Pasalnya, political endorsement dari presiden bermakna bahwa kandidat yang didukung dipercaya sebagai investasi politik yang meneruskan citra maupun program kerjanya. Artinya, ini bukan hanya soal mendukung kandidat yang paling berpotensi menang, melainkan memilih kandidat yang dapat meneruskan atau setidaknya menjaga citra positif sang presiden.
Christian Fong, Neil Malhotra, dan Yotam Margalit dalam Political Legacies: Understanding Their Significance to Contemporary Political Debates, menjelaskan bahwa politisi memiliki minat yang kuat untuk meninggalkan warisan politik (legacy) yang positif, luas, dan bertahan lama.
Menurut mereka, itu karena ingatan masyarakat tentang legacy tersebut akan mempengaruhi perdebatan terkait kebijakan di masa depan.
Temuan Fong dan kawan-kawan dapat kita lihat dalam perdebatan di lini media sosial maupun media massa saat ini. Kebijakan dan capaian presiden sebelumnya kerap dibanding-bandingkan dengan Presiden Jokowi.
Sandi-RK?
Penjelasan ini sekiranya menjawab pernyataan Desmond J Mahesa. Untuk menghindari mendukung kuda yang salah, Jokowi memang harus bermain aman saat ini.
Situasi politik masih sangat cair dan dinamis, Jokowi tidak boleh terburu-buru dalam menentukan pilihan. Seperti yang berulang kali disebutkannya, “ojo kesusu” – jangan terburu-buru.
Secara tersirat, pernyataan itu tampaknya merujuk pada Ganjar Pranowo yang telah lama mulai bergerak. Ada berbagai kelompok relawan yang muncul. Terkhusus Ganjarist, berbagai relawan Jokowi justru telah tergabung ke dalamnya.
Variabel itu tampaknya menjadi bantahan tersendiri bagi banyak pihak yang menduga kuat Jokowi akan memberikan political endorsement ke Ganjar. Terlebih lagi, mendukung Gubernur Jateng itu sama saja dengan membuka perang psikologis dengan PDIP. Sebagai sosok yang ingin soft landing di 2024, Jokowi tentu menghindari persoalan semacam ini.
Untuk menjawab siapa pasangan alternatif Jokowi di 2024, tampaknya kita bisa melihat hasil Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia yang diselenggarakan relawan Jokowi pada Agustus 2022. Musra ini diikuti oleh 5.721 peserta.
Berikut daftar calon presiden hasil Musra relawan Jokowi:
- Joko Widodo (29,79 persen)
- Sandiaga Uno (16,92 persen)
- Ganjar Pranowo (16,1 persen)
- Prabowo Subianto (11,1 persen)
- Anies Baswedan (9,02 persen)
- Ridwan Kamil (5,17 persen)
- Puan Maharani (4,16 persen)
- Dedi Mulyadi (2,87 persen)
- Moeldoko (2,57 persen)
- Andika Perkasa (1,42 persen)
- Lainnya (0,89 persen)
Berikut daftar calon wakil presiden hasil Musra relawan Jokowi:
- Ridwan Kamil (38,89 persen)
- Airlangga Hartarto (13,25 persen)
- Erick Thohir (12,81 persen)
- Arsjad Rasjid (10,33 persen)
- Puan Maharani (9,49 persen)
- Anies Baswedan (4,88 persen)
- Sandiaga Uno (4,06 persen)
- Ganjar Pranowo (2,76 persen)
- Moeldoko (1,54 persen)
- Dedi Mulyadi (0,68 persen)
- Lainnya 0,56 persen
Hasil Musra ini sekali lagi menjadi bantahan bahwa relawan Jokowi pasti mendukung Ganjar sebagai capres. Faktanya, nama teratas capres yang diharapkan adalah Jokowi dan Sandi. Namun, karena RI-1 sudah berulang kali memberikan bantahan terbuka untuk maju kembali, nama teratas dapat dikatakan adalah Sandiaga Uno.
Sinyal dukungan kepada Sandi sebenarnya sudah tercium baunya sejak 15 Januari 2020. Ketika menghadiri pelantikan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia masa bakti 2019-2022, Jokowi menyapa Sandi dengan mengatakan, “Hati-hati 2024,”.
Sebagai pasangan Sandi, berdasarkan Musra, nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sepertinya sangat tepat. Perolehan suara RK terlihat begitu tinggi dan terlampau jauh dari peringkat nomor dua.
Setidaknya ada tiga keunggulan dari duet Sandi-RK.
Pertama, keduanya adalah tokoh muda dan baru. Ini dapat memberikan contrast effect atau efek kontras. Masyarakat yang jenuh dengan sosok lama dapat melihat duet ini sebagai harapan baru.
Kedua, dua nama ini tidak memiliki beban masa lalu. Berbeda dengan sosok lain seperti Prabowo, Puan, atau Ganjar, ketiganya memiliki kasus masa lalu yang mudah diekspos.
Ketiga, jika Jokowi mampu membuat duet ini mendapatkan dukungan gabungan partai politik, Sandi-RK akan memiliki utang politik untuk melanjutkan visi dan program Jokowi.
Selain itu, dukungan Jokowi juga dapat memberikan efek ekor jas (coattail effect), baik bagi keterpilihan Sandi-RK, maupun gabungan partai politik yang mengusung duet ini di pemilihan legislatif 2024.
Well, sebagai penutup, jika berkaca pada hasil Musra relawan Jokowi, pasangan Sandi-RK sepertinya merupakan kandidat alternatif yang tengah disiapkan oleh Presiden Jokowi. Kita lihat saja apakah hasil Musra itu teraktualisasi di realitas politik nasional nantinya. (R53)