Sandiaga Uno dianggap paling bersinar penampilannya dalam debat perdana Pilpres 2019.
PinterPolitik.com
“In this I am nothing, but I may be everything.”
:: John Adams, Wakil Presiden pertama dan Presiden kedua Amerika Serikat ::
[dropcap]S[/dropcap]ejak awal, banyak yang memprediksi bahwa Sandiaga Uno akan memberikan kejutan dalam kontestasi Pilpres 2019. Hal itu semakin tampak ketika Sandi berhasil mencuri perhatian saat kampanye hingga debat Pilpres.
Istilah-istilah yang sebelumnya asing didengar ia gunakan dalam kampanye, alhasil cawapres Prabowo Subianto itu mendapatkan eksposur yang cukup tinggi dalam pemberitaan. Bahkan berkat kampanyenya itu, banyak yang menilai Prabowo mendapat madu elektabilitas karena Sandi.
Tren ini terus berlanjut hingga saat debat tiba sehari yang lalu. Dari penampilan keempat kandidat, Sandi dianggap yang paling menonjol. Dirinya terlihat paling enjoy dengan mampu menarasikan pandangan-pandangannya dengan logis dan sistematik. Apalagi ketika adegan ia memijit Prabowo, terlihat mantan orang nomor dua di DKI Jakarta itu membuat seisi gedung tertawa.
Sandi dinggap menjadi man of the match dan dinilai akan memberikan keuntungan kepada Prabowo.
Semula, posisi wakil presiden memang kurang diperhatikan. Posisi ini dipandang sebelah mata. Jurnalis politik sekaligus penulis buku The American Vice Presidency: From Irrelevance to Power, Jules Witcover menyebutkan bahwa awalnya posisi wapres dianggap memberikan dampak atau faedah yang kecil dalam sebuah pemerintahan.
Pun begitu saat kampanye, publik sering kali terjebak dalam persona orang nomor satu, sementara orang nomor dua dianggap sebagai pelengkap. Preferensi memilih biasanya mengacu pada sosok sang kepala.
Namun, menurut Witcover, perlahan persepsi itu bergeser dan wapres menjadi posisi yang menentukan. Hal ini juga terjadi dalam politik Indonesia. Saat ini, posisi wapres tidak hanya dianggap sebagai pelengkap, namun bisa memengaruhi preferensi pemilih untuk menentukan pilihannya dan karenanya akan membuat elektabilitas pasangan calon tersebut naik.
Pertanyaanya apakah tren positif dalam debat Pilpres ini akan terus berlanjut dan memberikan dampak signifikan bagi pasangan dari Koalisi Adil Makmur tersebut?
Sandi Tampil Cemerlang
Banyak pihak yang menganggap penampilan Prabowo dan Sandi cukup baik pada debat perdana. Mulai dari gagasan, chemistry yang dibangun hingga manajemen waktu, semuanya terlihat dieksekusi dengan baik.
Sementara, di lain pihak, kubu petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin tampak kedodoran malam tadi, mulai dari manajemen waktu hingga chemistry yang tidak terbangun dengan baik. Keberadaan naskah contekan juga mengganggu performa Jokowi dalam menjawab berbagai pertanyaan.
Tidak adanya chemistry antara Jokowi dengan Ma’ruf Amin membuat sang presiden lebih berkutat dengan contekannya itu. Alhasil, hal itu membuat dirinya kehilangan fokus.
Lebih lanjut, Jokowi banyak memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan substansi pertanyaan. Sebab, dirinya harus bermain sendiri di lapangan karena cawapresnya, Ma’ruf Amin lebih banyak diam dalam debat perdana tersebut.
Berbeda dengan petahana, pasangan Prabowo-Sandi terlihat lebih kompak. Secara tampilan, keduanya memberi pesan bahwa mereka adalah sosok yang gagah, modern, progresif, milenial dan internasional.
Pasangan yang memiliki visi Indonesia Menang ini nampak saling mengisi dalam debat. Keduanya membagi peran untuk saling menguatkan jawaban dan pertanyaan.
Acungan jempol layak diberikan untuk Sandi, justru karena baik Prabowo maupun Jokowi dianggap tampil di bawah ekspektasi. Sandi keluar dengan penampilannya yang tenang dan elegan. Meski secara konten, pernyataan-pernyataannya masih banyak lubang dan bisa didebatkan, tapi dengan ketenangannya itu bisa memberikan perasaan yakin terhadap publik.
Ia menyampaikan gagasan dengan baik dan menambahkan argumen-argumen Prabowo yang dianggap masih kurang. Bahkan ia bisa menjawab baik pertanyaan maupun sanggahan yang dialamatkan oleh pasangan nomor 01.
Kecemerlangan Sandi ini mengingatkan pada kontestasi Pilpres di Amerika Serikat (AS) tahun 2008, saat pasangan Barack Obama-Joe Biden dari Partai Demokrat bertemu dengan John McCain-Sarah Palin dari Partai Republik.
McCain sebenarnya memiiki reputasi bagus sebagai pahlawan perang dan tokoh nasionalis, namun kredibilitasnya jatuh saat dia satu garis dengan kebijakan George W. Bush – meski kemudian ia meralatnya – yang pada saat itu tidaklah populer.
Selain itu, citra McCain makin terpuruk ketika wakilnya, Palin – bekas Gubernur Negara Bagian Alaska – kerap melakukan blunder saat tampil di layar TV. Pilihan terhadap Palin juga dinilai pragmatis sebab alasannya hanya demi merebut suara perempuan yang simpati pada Hillary Clinton, seteru Obama dalam konvensi Partai Demokrat.
Selama kampanye, Palin kalah bersinar dibandingkan Biden yang tampil apik semasa kampanye, terutama pada saat debat. Hal ini ditunjukkan dari perolehan polling yang beredar sesaat setelah debat berlangsung. Survei CNN menyebut sekitar 51 persen responden menganggap Biden tampil lebih baik, sementara hanya 32 persen yang memberikan dukungannya untuk Palin.
Alhasil, Biden yang merupakan senator senior dari Negara Bagian Delaware itu berhasil memberikan kontribusi suara dari golongan kerah putih dan politisi kulit putih. Keahliannya dalam bidang kebijakan luar negeri, hukum, kebebasan sipil dan yang lainnya membuat dirinya dikenal luas oleh rakyat AS.
Kontestasi antara Biden dengan Palin itu sedikit banyak menggambarkan persaingan antara Sandi dengan Ma’ruf Amin di Indonesia. Berdasarkan penampilan debat perdana malam tadi, Ma’ruf tampil kurang maksimal dengan tidak memberikan kontribusi positif untuk Jokowi.
Sikapnya yang lebih banyak diam dan mengamplifikasi argumentasi Jokowi mendapatkan ledekan dari banyak kalangan, terutama di media sosial. Pendapatnya terkait terorisme yang hanya mengacu pada doktrin agama misalnya, juga dilihat terlalu sempit.
Sementara itu, Sandi yang ahli dalam bidang ekonomi mampu menarik benang merah tema debat – HAM, korupsi, hukum dan terorisme – ke dalam perspektif ekonomi. Banyak pendapat yang menilai bahwa hampir semua persoalan mendasar dari bangsa ini adalah permasalahan perut atau ekonomi.
Sehingga, isu yang diperdebatkan di Hotel Bidakara itu tidak jauh dari masalah ekonomi. Dalam hal ini, janji Sandi yang akan membuka lapangan pekerjaan dan dapat diakses oleh segala kalangan terasa lebih masuk akal.
Penampilan cemerlang Sandi ini diamini oleh pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun yang menganggap bahwa Sandi tampil sebagai bintang.
Sandi tampil cemerlang saat debat perdana. Share on XSandi, The Second Man
Peran cawapres tidak bisa dianggap remeh saat masa kampanye. apalagi di Indonesia. Hadirnya Sandi dan Ma’ruf sebagai dua wajah baru ditunggu-tunggu penampilannya, termasuk dalam debat. Meskipun Ma’ruf sudah sering tampil di muka publik – sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kiai senior – namun dirinya belum pernah merasakan panggung debat Pilpres.
Sementara Sandi sudah pernah merasakan panggung debat, meski dalam konteks Pilkada di DKI Jakarta. Penampilannya di panggung debat Pilpres tentu tak asing akibat pengalaman tersebut dan karenanya menarik bagi masyarakat.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Ma’ruf yang tampil buruk mendapat respon kurang baik dari publik. Sementara Sandi mendapatkan tanggapan yang positif dari banyak kalangan.
Hal ini tentu berpengaruh terhadap elektabilitas kedua paslon. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi pernah mengungkap bahwa debat perdana memberikan dampak terhadap pergeseran elektabilitas kandidat. Ia mencontohkan fenomena yang terjadi pada berbagai Pilkada dan Pilpres 2014.
Dari berbagai polling setelah debat berlangsung, memang terlihat bahwa Prabowo-Sandi lebih difavoritkan. Polling di Instagram PinterPolitik.com menunjukkan dukungan untuk Prabowo-Sandi menyentuh angka 78 persen.
Hal itu tidak jauh berbeda dari polling yang dilakukan oleh beberapa pihak lain, misalnya oleh musisi Iwan Fals di akun Twitternya. Dari 52.499 voters yang berpartisipasi dalam polling Bang Iwan, 74 persennya memilih Prabowo-Sandi, dan hanya 26 persen yang memilih Jokowi. Hal itu membuat sang pelantun tembang “Bento” itu kaget, mungkin ia tidak mengira paslon 01 akan tertinggal jauh.
Nah lo 01 ketinggalan jauuuhh…
— 15042019 (@iwanfals) January 18, 2019
Memang, poling di media sosial ini tidak ilmiah, namun setidaknya hal ini bisa menjadi pembacaan tren yang ada di masyarakat. Dalam hal ini, Sandi bisa dibilang berperan dalam memberikan tren yang positif.
Berdasarkan penelitian Jules Witcover seperti disinggung di awal tulisan, orang nomor dua memang memiliki power yang cukup kuat, baik saat berada dalam pemerintahan, maupun pada masa kampanye. Witcover menyebutnya sebagai second man theory atau teori orang kedua yang menggambarkan bagaimana peran orang kedua dalam membantu mempersepsikan pandangan publik terhadap capres tertentu.
Pada titik ini, tentu pasangan Jokowi-Ma’ruf perlu berhati-hati dalam debat berikutnya. Jangan sampai kesalahan-kesalahan kembali terulang. Konteks kemampuan debat Ma’ruf – yang irit bicara – juga harus diperhatikan oleh tim kampanyenya.
Sementara bagi pasangan Prabowo-Sandi, meski secara penampilan sudah baik, namun harus memperhatikan konten-konten dan fakta-fakat yang disiapkan.
Sandi secara khusus telah cukup baik memberikan argumentasi-argumentasinya dan mampu membawa suasana debat menjadi lebih cair. Namun, ia juga harus memperkuat fakta-fakta dan konten yang disampaikannya sebab publik saat ini lebih cerdas dalam mencerna kalimat-kalimat yang diutarakan para kandidat tersebut.
Lalu, apakah akan ada kejutan pada debat berikutnya? Menarik ditunggu. (A37)